Minggu, 20 Desember 2009

Selayang Pandang Mengenai Advokat

Advokat merupakan salah satu unsur dari catur wangsa proses peradilan karena merupakan integral justice system. Oleh karena itu, penegakan hukum tak bisa berdiri di atas satu kaki. Peran negara polisi, jaksa, dan hakim hanyalah satu kaki penyangga. Satu kaki lainnya adalah peran masyarakat, terutama advokat. Dalam konteks penegakan hukum, kehadiran advokat bukan semata-mata membela hak-hak terdakwa. Justru urgensinya terletak pada terciptanya peradilan yang adil dan keadilan yang merata. Maka advokat merupakan salah satu elemen terpenting dalam penegakan hukum. Merekalah yang memperantarai kepentingan hukum masyarakat berhadapan dengan negara. Karena itu, institusi advokat yang bersih dan berintegritas tinggi akan berkorelasi positif dengan tegaknya hukum di negeri ini. Undang-Undang Advokat Nomor 18 Tahun 2003 menegaskan bahwa peradilan yang jujur, adil, dan berkepastian hukum "memerlukan profesi advokat yang bebas, mandiri, dan bertanggung jawab".

Sayangnya, cita-cita itu belum sepenuhnya terwujud. Hari-hari ini masyarakat masih melihat profesi advokat lebih sebagai profesi bayaran untuk membebaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum. Sementara itu, jati diri advokat sebagai warga negara Indonesia yang bersikap kesatria serta jujur dalam mempertahankan keadilan dan kebenaran dilandasi moral yang tinggi dan mulia demi tegaknya hukum--seperti termaktub dalam kode etik advokat nyaris tak terlihat. Yang tampak kini adalah kiprah para advokat yang berkhidmat pada materi dan ketenaran, bukan pada kebenaran. Modusnya: memburu kasus-kasus yang bakal mendatangkan popularitas atau imbalan besar, tak peduli pada substansi hukum dan kebenarannya. Padahal dalam Pasal 4 ayat (3) Kode Etik Advokat disebutkan bahwa advokat bekerja bukan semata-mata demi bayaran materi, melainkan terutama bertujuan untuk menegakkan hukum, keadilan, dan kebenaran dengan cara yang jujur dan bertanggung jawab.

Advokat yang setia menjaga profesinya sebagai officium nobile, profesi yang mulia dan terhormat. Melihat kondisi advokat kini yang tak lagi sesuai dengan khitah tersebut, revitalisasi idealisme dan kepribadian advokat harus dilakukan. Di sinilah pentingnya sebuah organisasi tunggal advokat (single bar association) yang berwibawa, bertanggung jawab, dan demokratis. Organisasi inilah yang bertugas penuh menegakkan kode etik advokat.

Persoalannya, sejumlah konflik justru mewarnai dunia advokat di Indonesia, yang membuatnya terpecah belah ke dalam banyak organisasi. Pada masa Orde Lama pernah berdiri Persatuan Advokat Indonesia (PAI), Persatuan Advokat Indonesia (Peradin), serta Pusat Bantuan dan Pengabdi Hukum Indonesia (Pusbadhi). Adapun pada masa Orde Baru berdiri lebih banyak lagi organisasi: Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin), Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Serikat Pengacara Indonesia (SPI), Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM), Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI), Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI), Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI), serta Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI).

Pada 5 April 2003, disahkan UU Advokat Nomor 18 Tahun 2003, yang mengamanatkan pembentukan organisasi tunggal advokat paling lambat dua tahun setelah UU Advokat diundangkan. Untuk memenuhi ketentuan tersebut, pada Desember 2004 dideklarasikan Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi). Namun, pembentukan Peradi menimbulkan polemik karena dinilai tidak transparan, tidak demokratis, dan tidak akuntabel.

Maka empat organisasi advokat, IPHI, Ikadin, HAPI, dan APSI, menyuarakan ketidakpuasan itu dengan mendeklarasikan Kongres Advokat Indonesia (KAI) pada Mei 2008. Selesaikah persoalan? Nyatanya kehadiran KAI hanya menambah jumlah organisasi advokat yang telah banyak itu. Pembentukan wadah tunggal advokat Indonesia gagal.

Tiadanya satu organisasi tunggal advokat membuat cita-cita mulia advokat Indonesia nyaris menguap begitu saja. Karena itu, yang bisa diharapkan saat ini adalah munculnya kesadaran pribadi masing-masing advokat: bahwa mereka bukan seperti "tukang" yang bekerja tergantung bayaran. Ada idealisme yang melatari dibentuknya profesi advokat.

Selain itu, harus muncul kesadaran dalam diri semua advokat bahwa perang melawan mafia peradilan--perselingkuhan dengan oknum polisi, jaksa, dan hakim--adalah bagian tanggung jawab advokat. Adanya mafia peradilan karena ada oknum advokat yang memperantarainya. Akhirnya tanggung jawab penegakan hukum dan reformasi hukum di Indonesia juga berada pada pundak para advokat. Kita berharap idealisme advokat yang terpatri dalam UU Advokat, kode etik, dan sumpah advokat dapat mewujud nyata dalam sikap dan perilaku para advokat Indonesia.



0 komentar: