POKOK MASALAH
Belum diaturnya pelaksanaan Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat.
TUJUAN KEBIJAKAN
Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 35 ayat (3) Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat.
MATERI KEBIJAKAN:
I. PP No. 3 Tahun 2002 memiliki kesesuaian antara isi pasal-pasal dengan pokok masalah dari tujuan kebijakan yang pada akhirnya dapat menyelesaikan setiap permasalahan dalam tuntutan ganti kerugian yang dialami korban pelanggaran HAM yang berat yang dilaksanakan berdasarkan UU No. 26 Tahun 2000.
PP No. 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat mengamanatkan kepada setiap korban (victim) pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) Berat untuk mendapatkan penggatian seluruh biaya yang telah dikeluarkan akibat peristiwa yang di kategorikan sebagai pelanggatan HAM Berat sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang menyatakan bahwa Pelanggaran HAM yang berat meliputi :
a. kejahatan genosida;
b. kejahatan terhadap kemanusian;
Lebih lanjut dalam Pasal 8 UU No. 26 Tahun 2000 menyatakan “Kejahatan genosida sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara :
- membunuh anggota kelompok;
- mengakibatkan penderitaan fisik dan mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok;
- menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya;
- memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok; atau
- memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.”
Sedangkan Pasal 9 UU No. 26 Tahun 2006 mengatur mengenai “Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematlk yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa :
- pembunuhan;
- pemusnahan;
- perbudakan;
- pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
- perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum intemasional;
- penyiksaan;
- perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasaan seksual lain yang setara;
- penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, efnls, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah di,akui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional;
- penghilangan orang secara paksa; atau
- kejahatan apartheid;”
Berangkat dari pengaturan hal diatas maka sesuai dengan konsiderans atau pertimbangan PP No. 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat serta mengacu pada Pasal 35 UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang menyatakan:
“(1) Setiap korban dan saksi dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan atau ahli warisnya dapat memperoleh kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi.
(2) Kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dicantumkan dalam amar putusan Pengadilan HAM.
(3) Ketentuan mengenai kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.”
Dari PP No. 3 Tahun 2002 tersebut telah jelas bahwa yang diamanatkan dalam UU No, 26 Tahun 2000 telah sesuai dengan pengaturan (regeling) untuk para korban mendapatkan perlindungan bahkan suatu kepastian agar dapat mendapat ganti kerugian yang tepat, cepat, dan layak. Tuntutan ganti kerugian sebagaimana diatur dalam PP No. 3 Tahun 2002 meliputi:
1. Kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh negara karena pelaku tidak mampu memberikanganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya.
2. Restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga, dapat berupa pengembalian harta milik, pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan, atau penggantian biaya untuk tindakan tertentu.
3. Rehabilitasi adalah pemulihan pada kedudukan semula, misalnya kehormatan, nama baik, jabatan, atau hak-hak lain.
Bahwa pengaturan PP No. 3 Tahun 2002 telah sesuai dengan pokok masalah yaitu belum diaturnya pelaksanaan Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat, sehingga dari tahun 2000 hingga tahun 2002 belum ada pengaturan bahkan pelaksanaan dari Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi dari UU No, 26 Tahun 2000 bagi setiap korban yang terkena dampak dari Pelanggaran HAM yang Berat, sehingga perlu adanya daya penggerak dari UU No, 26 Tahun 2000 sehingga tepat dengan apa yang dikatakan Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H. yang megatakan bahwa peristiwa konkrit (das sein) untuk menjadi peristiwa hukum memerlukan das sollen.[1] Artinya, agar undang-undang dapat dilaksanakan maka perlu semacam alat penggerak atau alat pelaksana, dimana perlu diatur lebih lanjut mengenai teknis di lapangan agar hakikat hukum sesungguhnya yaitu kedamaian dalam kehidupan masyarakat dapat tercapai.
Selain itu, pelanggaran hak asasi manusia yang berat merupakan "extra ordinary crimes” (kejahatan luar biasa) dan berdampak secara luas baik pada tingkat nasional maupun internasional dan bukan merupakan tindak pidana yang diatur di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana serta menimbulkan kerugian baik materiil maupun immateriil yang mengakibatkan perasaan tidak aman baik terhadap perseorangan maupun masyarakat, sehingga perlu segera dipulihkan dalam mewujudkan supremasi hukum untuk mencapai kedamaian, ketertiban, ketenteraman, keadilan, dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Indonesia terutama bagi korban yang telah mengalami trauma dan stigma yang berkepanjangan sehingga perlu perhatian yang lebih serta pengobatan dalam jangka waktu yang cukup yang berdampak pada adanya biaya-biaya yang ditanggung oleh para korban untuk dapat bertahan hidup terlebih lagi biaya penyembuhan atas pelanggaran HAM yang terjadi.
Dengan demikian, dengan adanya pengaturan mengenai kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi hakikan dari Hak Asasi Manusia (HAM) yang merupakan hak dasar secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun. Dalam hal terjadi pengabaian, pengurangan dan perampasan hak asasi manusia, terutama terjadi pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan oleh perseorangan, kelompok orang baik sipil, militer, maupun polisi, maka pihak korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya berhak memperoleh kompensasi, restitusi dan atau rehabilitasi secara tepat, cepat, dan layak dalam arti bahwa pihak korban atau ahli warisnya berhak memperoleh ganti kerugian atau pengembalian hak-hak dasarnya yang dilakukan sesuai dengan sasaran yakni korban dan penggantian kerugiannya, pelaksanaannya segera diwujudkan, dan pengembalian haknya harus patut sesuai dengan rasa keadilan.
Lebih lanjut dalam penjelasan Pasal 2 ayat (2) PP No. 3 Tahun 2002 dijelaskan sebagai berikut:
1. Yang dimaksud dengan "tepat" adalah bahwa penggantian kerugian dan atau pemulihan hak-hak lainnya diberikan kepada korban yang memang mengalami penderitaan sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat.
2. Yang dimaksud dengan "cepat" adalah bahwa penggantian kerugian dan atau pemulihan hak-hak lainnya diberikan kepada korban sesegera mungkin dalam rangka secepatnya mengurangi penderitaan korban.
3. Yang dimaksud dengan "layak" adalah bahwa penggantian kerugian dan atau pemulihan hak-hak lainnya diberikan kepada korban secara patut berdasarkan rasa keadilan.
Ganti kerugian atau pengembalian hak, misalnya pengembalian kebutuhan dasar yang meliputi kebutuhan fisik dan kebutuhan non fisik, yang masuk dalam lingkup kompensasi, restitusi dan rehabilitasi diputus oleh Pengadilan HAM di setiap tingkatan pengadilan. Mengenai besarnya ganti kerugian atau pemulihan kebutuhan dasar tersebut diserahkan sepenuhnya kepada hakim yang memutus perkara yang dicantumkan dalam amar putusannya. Dengan demikian, hakim diberikan kebebasan sepenuhnya secara adil, layak, dan cepat mengenai besarnya ganti kerugian tersebut berdasarkan hasil penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, serta pemeriksaan di sidang pengadilan beserta bukti-bukti yang mendukungnya.
Demikian juga, Peraturan Pemerintah ini mengatur mengenai kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi yang diberikan kepada korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat. Kompensasi dan rehabilitasi yang menyangkut pembiayaan dan perhitungan keuangan negara dilaksanakan oleh Departemen Keuangan. Sedangkan mengenai kompensasi, dan rehabilitasi di luar pembiayaan dan perhitungan keuangan negara dilaksanakan oleh Instansi Pemerintah Terkait. Di samping itu, Peraturan Pemerintah ini mengatur mengenai tata cara pelaksanaan kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi kepada pihak korban, dari mulai proses diterimanya salinan putusan kepada Instansi Pemerintah Terkait dan korban sampai dengan pelaksanaan pengumuman pengadilan dan pelaksanaan laporan.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa PP No. 3 Tahun 2002 dapat menjawab semua permasalahan ganti kerugian bahkan dapat menyelesaikan masalah sehingga dapat mewujudkan tercapainya tujuan kebijakan dari PP No. 3 Tahun 2002 yaitu untuk melaksanakan ketentuan Pasal 35 ayat (3) Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat.
II. PP No. 3 Tahun 2002 dapat dilaksanakan (applicable)
Materi dari kebijakan PP No. 3 Tahun 2002 dapat dilaksanakan dengan mudah, karena dalam kebijakan ini diatur secara sederhana tanpa mengurangi substansi yang diatur dalam PP No. 3 Tahun 2002.
Dalam pengaturan Pasal 3 PP No. 3 Tahun 2002 dinyatakan dengan jelas bahwa Instansi Pemerintah yaitu Departemen Keuangan bertugas melaksanakan pemberian kompensasi dan rehabilitasi berdasarkan putusan Pengadilan HAM yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, sehingga semuanya di dasarkan atas produk hakim di Pengadilan HAM. Apabila terdakwa terbukti bersalah, maka permohonan untuk kompensasi akan diterima oleh pihak korban. Sejalan dengan pengaturan hal diatas, berdasarkan Pasal 4 PP No. 3 Tahun 2002 pemberian restitusi dilaksanakan oleh pelaku atau pihak ketiga berdasarkan perintah yang tercantum dalam amar putusan Pengadilan HAM. Dengan demikian, pengaturan ini sangat jelas bahwa untuk dapat dilaksanakan kebijakan ini (dalam hal ini PP No. 3 Tahun 2002) maka semuanya harus di dasarkan pada putusan Pengadilan HAM yang menyatakan adanya restitusi atau kompensasi ataupun rehabilitasi.
Pengaturan dalam PP No. 3 Tahun 2002 begitu aplikatif, yang dapat dilihat bahwa terdapat prosedur dan mekanisme untuk mengajukan ganti kerugian apabila telah ada putusan pengadilan HAM yaitu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal putusan dilaksanakan, Departemen Keuangan wajib melaporkan kepada Pengadilan HAM yang mengadili perkara yang bersangkutan dan Jaksa Agung, sehingga jelas jangka waktu yang diatur untuk pelaksanaan atau eksekusinya. Selanjutnya berdasarkan Pasal 6 jo. Pasal 7 PP No. 3 Tahun 2002 menyebutkan Jaksa Agung membuat berita acara pelaksanaan putusan pengadilan kepada Departemen Keuangan yang diikuti dengan pemberian kompensasi dan atau rehabilitasi serta pelaku atau pihak ketiga melaksanakan pemberian restitusi, paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak berita acara diterima oleh korban serta Departemen Keuangan melaporkan kepada Pengadilan HAM pemberian ganti kerugian beserta tanda bukti dan korban bisa melaporkan kepada Jaksa Agung apabila mengalami keterlambatan dalam hal pelaksanaan penggantian kerugian tersebut.
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa kebijakan dari PP No. 3 Tahun 2002 dapat dilaksanakan dengan efektif dan efisien karena diatur mengenai jangka waktu untuk mendapatkan ganti kerugian tersebut sehingga pelaksanaan PP No. 3 Tahun 2002 tidak hanya menjadi “macan kertas” saja, akan tetapi juga dapat dilaksanakan dengan baik, sebagaimana berdaya guna dan berdaya laku.
III. PP No. 3 Tahun 2002 telah sesuai antara isi pasal dengan stratanya
PP No. 3 Tahun 2002 telah sesuai pengaturannya antara isi pasal yang mengatur mengenai pemberian ganti kerugian kepada korban dengan strata atau tingkatan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pertama, muatan kebijakan berjenis Peraturan Pemerintah, artinya kebijakan tersebut dibuat untuk “menggerakan” atau melaksanakan lebih lanjut sesuatu hal yang belum diatur dengan jelas dalam undang-undang, dimana Pasal 35 ayat (3) UU No. 26 Tahun 2000 telah mengamanatkan untuk mengatur lebih lanjut mengenai kompensasi, restitusi, maupun rehabilitasi sehingga Peraturan Pemerintah telah sesuai dengan strata karena telah mengatur mekanisme berikut prosedur mengenai hal yang belum diatur secara jelas dalam UU No. 26 Tahun 2000. Hal ini ditegaskan pula dalam Pasal 10 Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menyatakan “materi muatan Peraturan Pemerintah berisi materi untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya.” Dengan demikian, pengaturan dalam PP No. 3 Tahun 2002 telah tepat antara isi-isinya dengan stratanya.
Kedua, materi muatan Peraturan Pemerintah dibuat berdasarkan pada konsiderans atau bagian pembukaan PP No. 3 Tahun 2002 yang mengingat pengaturan dari Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang merupakan peraturan makro dan meso yang berada di atasnya. PP No. 3 Tahun 2002 mendasarkan pada UUD 1945 karena merupakan peraturan perundang-undangan yang makro, hal ini di dasarkan pada Pasal 7 Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menyatakan “Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut:
- Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
- Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
- Peraturan Pemerintah;
- Peraturan Presiden;
- Peraturan Daerah.”
Sedangkan Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 merupakan produk meso yang menjadi delegasi secara langsung yang diberikan oleh UUD 1945 dalam membentuk pengaturan sebagaimana kewenangan dari Presiden dalam Pasal 5 ayat (2) UUD 1945. Dengan demikian, pengaturan dalam PP No. 3 Tahun 2002 tidak menyalahi aturan dan sudah tepat antara isi pasal-pasal yang diatur dengan stratanya.
IV. Hal-hal yang belum diatur dalam PP No. 3 Tahun 2002
Dalam perumusan kebijakan hendaknya melihat pada hal-hal yang mempunyai indikasi tidak terlaksananya dalam keadaan tertentu, setidaknya ada beberapa pengecualian agar hukum tidak terkesan kaku dalam pelaksanaannya. Begitu juga dengan PP No. 3 Tahun 2002 yang perlu penambahan sebagai pelengkap pelaksanaan kebijakan ini, antara lain:
Pertama, perlu diaturnya jumlah minimum untuk mendapatkan ganti kerugian sehingga ada jaminan yang pasti bagi korban sehingga Hakim yang memeriksa perkara dapat dengan bijak dapat mendasarkan keadilan menurut hati nurani dengan kepantasan yang harus diterima oleh korban.
Kedua, belum ada sanksi yang memaksa terhadap kelalaian pelaksanaan restitusi, kompensasi maupun rehabilitasi yang melibatkan instansi Departemen Keuangan dan Pengadilan HAM, karena dalam pengaturan tersebut apabila terjadi keterlambatan untuk pelaksanaan PP No. 3 Tahun 2002 hanya sebatas di laporkan kepada Jaksa Agung tanpa adanya sanksi yang dapat memaksa Departemen Keuangan dan Pengadilan HAM maupun Kejaksaan Agung untuk dapat melaksanakan restitusi, kompensasi dan/atau rehabilitasi dengan cepat. Hal ini juga berkaitan dengan urgensi dari korban yang sudah mengalami trauma dan stigma dari keganasan kejahatan HAM.
Ketiga, belum ada penerapan sanksi yang pantas bagi pelaku tindak pidana pelanggaran HAM yang berat dalam mengganti setiap kerugian yang timbul apabila pelaku tidak bisa membayarnya kepada korban. Walaupun telah digantikan oleh pemerintah untuk memberikan restitusi kepada korban, tetapi dalam hal ini tidak ada hukuman badan atau fiisk dengan menambah vonis apabila tidak sanggup untuk membayar restitusi.
Dari hal diatas, maka secara garis besar materi muatan kebijakan yaitu PP No. 3 Tahun 2002 telah mengakomdasi semua aspek-aspek dan ada beberapa rekomendasi yang perlu ditambahkan agar dapat berjalan dengan efektif dan efisien.
STRATA KEBIJAKAN
PP No. 3 Tahun 2002 memiliki strata terkecil (mikro) dalam kebijakan yang tidak perlu ada pengaturan lebih lanjut ataupun pengaturan untuk memberikan wewenang atribusi maupun delegasi tertentu. Hal ini dapat dilihat dari Pasal 7 Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menyatakan “Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut:
- Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
- Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
- Peraturan Pemerintah;
- Peraturan Presiden;
- Peraturan Daerah.”
Apabila dilihat dari konsiderans PP No. 3 Tahun 2002 dapat terlihat bahwa Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia merupakan dasar pengaturan lebih lanjut untuk membuat PP No. 3 Tahun 2002. Dari pengaturan tersebut dapat disimpulkan bahwa:
- UUD 1945 merupakan peraturan Makro
- UU No. 26 Tahun 2000 merupakan peraturan Meso
- PP No. 3 Tahun 2002 merupakan peraturan Mikro
Perlu dijelaskan juga bahwa PP No. 3 Tahun 2002 tidak memiliki peraturan yang lebih kecil lagi yang mengatur lebih detail tentang Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat. Dengan demikian, strata dari PP No. 3 Tahun 2002 telah jelas menempati kedudukan terkecil atau mikro dari UU No. 26 Tahun 2000.
Selain itu, Pasal 35 UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang menyatakan:
“(1) Setiap korban dan saksi dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan atau ahli warisnya dapat memperoleh kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi.
(2) Kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dicantumkan dalam amar putusan Pengadilan HAM.
(3) Ketentuan mengenai kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.”
Apabila dilihat dari konsiderans UU No. 26 Tahun 2000, maka memiliki undang-undang tersebut memiliki dasar, antara lain:
- Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945
- Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan2 Pokok Kekuasaan Kehakiman
- Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum
- Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Artinya, UU No. 26 Tahun 2000 memiliki kedudukan yang berada di tengah-tengah (meso) antara UUD 1945 dengan PP No. 3 Tahun 2002, sehingga perumusan dari Pasal 2 hingga Pasal 10 PP No. 3 Tahun 2002 merupakan hal yang diatur secara khusus dan detail dalam melaksanakan Pasal 35 UU No, 26 Tahun 2000, sehingga jelas sekali bahwa strata kebijakan PP No. 3 Tahun 2002 berada pada strata terrendah (mikro) dari pengaturan mengenai kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi akibat pelanggaran HAM yang Berat.
PROSES
PP No. 3 Tahun 2002 telah tepat mengatur mengenai kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi atas pelanggaran HAM yang Berat. Hal ini di dasarkan pada Pasal 10 Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menyatakan “materi muatan Peraturan Pemerintah berisi materi untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya.” Dalam PP No. 3 Tahun 2002 hanya ditujukan kepada pelaksanaan mekanisme pemberian kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi atas pelanggaran HAM yang Berat sebagaimana ditegaskan dalam pertimbangan konsiderans PP No. 3 Tahun 2002 yang menyatakan “bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 35 ayat (3) Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat.” Pengaturan PP No. 3 Tahun 2002 hanya mendasarkan pada Pasal 35 UU No. 26 Tahun 2000 mengenai pemberian kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi atas pelanggaran HAM yang Berat.
Selain itu, PP No. 3 Tahun 2002 yang dibuat lembaga eksekutif yaitu Presiden, dalam hal ini adalah Presiden Megawati Soekarnoputri telah tepat sebagaimana kewenangannya yang diatur dalam Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 dinyatakan bahwa “Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan Undang-undang sebagaimana mestinya.” Artinya kewenangn dari Presiden Megawati Soekarnoputri sesuai dengan apa yang diamanatkan dalam UUD 1945 sehingga tidak bertentangan dengan UUD 1945 yang merupakan norma yang tertinggi dalam hirarki perundang-undangan.
HUKUM
PP No. 3 Tahun 2002 telah sesuai dengan isi kebijakan secara vertikal yaitu:
A. PP No. 3 Tahun 2002 telah sesuai dengan UUD 1945 sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 mengenai kewenangan dari pembuatan PP No. 3 Tahun 2002 yaitu Presiden Republik Indonesia.
B. PP No. 3 Tahun 2002 telah sesuai dengan amanat dari Pasal 35 UU No. 26 Tahun 2000 sebagai pelaksana lebih lanjut kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi atas pelanggaran HAM yang Berat.
PP No. 3 Tahun 2002 tidak memiliki kebijakan yang sifatnya horisontal dengan peraturan lain yang diatur dalam konsiderans PP No. 3 Tahun 2002.
Dengan adanya pengaturan sedemikian rupa, menurut saya tidak perlu adanya pengaturan secara horisontal, karena kebutuhan dari UU No. 26 Tahun 2000 hanya di dasarkan pada 4 peraturan perundang-undangan yang masing-masing memiliki karakteristik berbeda-beda. Adapun yang mengatur UU No. 26 Tahun 2000, antara lain:
- Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945
- Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan2 Pokok Kekuasaan Kehakiman
- Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum
- Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Oleh karena itu, menurut saya sudah tepat apabila peraturan perundang-undangan yang berisi kebijakan Peraturan Pemerintah sebagai pelaksana Undang-Undang tidak perlu diatur lebih kecil lagi terutama mengenai pengaturan kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi atas pelanggaran HAM Berat yang sudah diatur dengan sistematis dan mendetail.
BAHASA
Rumusan bahwa yang digunakan dalam PP No. 3 Tahun 2002 telah secara jelas, sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1) yang menyatakan “Instansi Pemerintah Terkait bertugas melaksanakan pemberian kompensasi dan rehabilitasi berdasarkan putusan Pengadilan HAM yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.” Kata Instansi Pemerintah mengacu pada Pasal 1 ayat (7) mengenai Ketentuan Umum yang menyatakan Instansi Pemerintah Terkait bertugas melaksanakan pemberian kompensasi dan rehabilitasi berdasarkan putusan Pengadilan HAM yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Selain itu, Pasal 2 ayat (1) menyatakan “Kompensasi, restitusi, dan atau rehabilitasi diberikan kepada korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya.” Hal ini berkaitan dengan penjelasan dari ketentuan umum Pasal 1 ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) yang menjelaskan sebagai berikut:
1. Kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh negara karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya.
2. Restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga, dapat berupa pengembalian harta milik, pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan, atau penggantian biaya untuk tindakan tertentu.
3. Rehabilitasi adalah pemulihan pada kedudukan semula, misalnya kehormatan, nama baik, jabatan, atau hak-hak lain.
Dengan demikian, pengaturan mengenai segi bahasa dapat dilihat sangat jelas dan begitu berkesinambungan antara pasal awal dengan pasal selanjutnya. Dengan penjelasan yang sistematis menciptakan pengaturan yang konsekuen sehingga bahasa yang digunakan begitu konsisten dan mudah dimengerti serta tidak membingungkan bagi para korban untuk memahami isi pasal dalam PP No. 3 Tahun 2002.
[1] Prof. DR. Sudikno Mertokusumo, S.H., Mengenal Hukum Suatu Pengantar, ed. Kelima, (Yogyakarta: Liberty , 2003), hal. 18.
0 komentar:
Posting Komentar