BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Adakalanya seseorang melakukan beberapa perbuatan sekaligus sehingga menimbulkan masalah tentang penerapannya. Kejadian yang sekaligus atau serentak tersebut disebut samenloop yang dalam bahasa Belanda juga disebut samenloop van strafbaar feit atau concursus. Perbarengan merupakan terjemahan dari samenloop atau concursus. Ada juga yang menerjemahkannya dengan gabungan. Dalam pembahasan kali ini yang menjadi sorotan adalah perbarengan dua atau lebih tindak pidana yang dipertanggungjawabkan kepada satu orang atau beberapa orang dalam rangka penyertaan. Tindak pidana-tindak pidana yang telah terjadi itu sesuai dengan yang dirumuskan dalam perundang-undangan. Sedangkan kejadiannya sendiri dapat merupakan hanya satu tindakan saja, dua/lebih tindakan atau beberapa tindakan secara berlanjut. Dalam hal dua/lebih tindakan tersebut masing-masing merupakan delik tersendiri, dipersyaratkan bahwa salah satu di antaranya belum pernah diadili.
Ajaran mengenai samenloop ini merupakan salah satu ajaran yang tersulit di dalam ilmu pengetahuan hukum pidana, sehingga orang tidak akan dapat memahami apa yang sebenarnya dimaksud dengan samenloop van strafbaar feit itu sendiri, maupun permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam ajaran tersebut, apabila orang itu tidak mengikuti perkembangan paham-paham mengenai perkataan feit yang terdapat di dalam rumusan pasal-pasal yang mengatur masalah samenloop itu sendiri.
Perkembangan paham-paham mengenai perkataan feit yang terdapat di dalam rumusan pasal-pasal yang mengatur masalah samenloop itu sendiri, khususnya yang terdapat didalam rumusan pasal 63 ayat (1) KUHP, terjemahan perkataan feit di pasal ini dengan perkataan perbuatan menunjukkan bahwa team penerjemah Departemen Kehakiman R.I. (sekarang Departemen Hukum dan HAM) Secara resmi telah menafsirkan perkataan feit di dalam rumusan pasal 63 ayat (1) KUHP itu sebagai suatu perbuatan yang nyata, yakni suatu penafsiran yang oleh Hoge Raad (HR) sendiri telah ditinggalkan sejak lebih dari setengah abad yang lalu. Kiranya tim penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman itu juga tidak akan menerjemahkan perkataan feit di dalam rumusan pasal 63 ayat (1) KUHP itu dengan perkataan perbuatan, seandainya tim tersebut mengetahui bahwa sudah sejak setengah abad yang lalu terdapat keberatan-keberatan terhadap penggunaan perkataan perbuatan itu sendiri.
Sebelum kita membicarakan apa yang disebut samenloop van strafbare feiten itu sendiri, perlu diketahui bahwa orang hanya dapat berbicara mengenai adanya suatu samenloop van strafbare feiten, apabila di dalam suatu jangka waktu yang tertentu, seseorang telah melakukan lebih daripada satu tindak pidana dan di dalam jangka waktu tersebut orang yang bersangkutan belum pernah dijatuhi hukuman oleh pengadilan, karena salah satu dari tindakan-tindakan yang telah ia lakukan.
Apa yang disebut samenloop van strafbare feiten atau gabungan tindak-tindak pidana itu, oleh pembentuk undang-undang telah diatur di dalam Bab ke-VI dari Buku ke-1 KUHP atau tegasnya di dalam pasal 63 sampai dengan pasal 71 KUHP, yaitu berkenaan dengan pengaturan mengenai berat ringannya hukuman yang dapat dijatuhkan oleh seorang hakim terhadap seorang tertuduh yang telah melakukan lebih daripada satu tindak pidana, yang perkaranya telah diserahkan kepadanya untuk diadili secara bersama-sama.
Dalam suatu samenloop itu, hakim harus memperhatikan kenyataan-kenyataan apakah tertuduh itu hanya melakukan satu tindak pidana, atau ia telah melakukan lebih daripada satu tindak pidana. Prof. Simons berpendapat, bahwa apabila tertuduh itu hanya melakukan satu tindak pidana dan dengan melakukan tindakan tersebut, tindakannya itu ternyata telah memenuhi rumusan-rumusan dari beberapa ketentuan pidana, atau dengan perkataan lain apabila dengan melakukan satu tindak pidana itu, tertuduh ternyata telah melakukan beberapa tindak pidana, maka di situ terdapat apa yang disebut eendaadse samenloop atau concursus idealis ataupun apa yang oleh Prof. Van Hamel juga telah disebut sebagai samenloop van strafbepalingen atau gabungan ketentuan-ketentuan pidana.
Ukuran Pidana yang dapat dijatuhkan atas diri seseorang dalam tindak pidana Concursus.
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa perlunya studi kasus berupa suatu gabungan tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang secara sadar maupun tidak sadar serta pembedaan yang sangat mendasar untuk mengetahui sebatas mana gabungan tindak pidana dapat ditafsirkan menjadi sebuah eendaadse samenloop ataukah meerdaadse samenloop.
B. Perumusan Masalah
Dari pembahasan diatas, penulis ingin menyampaikan beberapa inti permasalahan, antara lain:
1. Apakah dalam kasus benturan truk dan kereta api dapat digolongkan tindakan satu perbuatan (eendaadse samenloop) ataukah beberapa perbuatan (meerdaadse samenloop)?
2. Apakah Putusan Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, ataupun Mahkamah Agung sudah tepat?
BAB II
KASUS
Paulus Arisman Bin Suripto (PA) adalah seorang pengemudi truk AB 2282 D, yang memiliki SIM B1 Umum, dengan pengalaman kerja selama sepuluh tahun sebagai sopir truk. Pada suatu hari, pada April 1988 PA mengemudikan truk dibantu dengan keneknya, mengangkut bahan bangunan berupa 4000 genteng, karena bak truk masih ada ruangan yang kosong, maka PA bermaksud mengambil lagi genteng di tempat lain untuk diangkutnya.
Dalam perjalanannya, truk yang dikemudikan PA tersebut harus melewati rel kereta api yang tidak ada pintu pengamannya, melainkan hanya dipasang beberapa rambu, yang menunjukan adanya Rel Kereta Api tanpa pintu. Beberapa puluh meter sebelum truk melintasi rel kereta api, PA kurang memperhatikan situasi kanan kiri dari rel tersebut. PA baru sadar ketika kereta api akan melintasi rel tersebut, setelah kenek truk berteriak-teriak ada kereta api akan lewat.
Mendengar teriakan kenek tersebut, maka PA berusaha mempercepat jalannya truk yang akan melintasi kereta api tersebut. Akan tetapi, karena truk sarat muatannya, maka truk tidak bisa lari lebih cepat seperti yang dikehendaki oleh PA. Dari jarak ± 200 meter, masinis kereta api telah melihat ada truk akan melintasi rel kereta api, ia telah membunyikan tanda semboyan 35 dan berusaha mengurangi kecepatan lokomotifnya.
Tabrakan dan benturan antara kereta api dengan truk yang dikemudikan PA tidak dapat dihindarkan. Truk terbelah menjadi 2 (dua), cabin dengan baknya. PA dengan keneknya terlempar keluar dari truk dan menderita luka-luka. Demikian pula masinis lokomotif menderita luka-luka terkena genteng yang dimuat truk yang jatuh berterbangan dan berhamburan, sedangkan tutup mesin lokomotifnya menjadi rusak berat.
DAKWAAN
Dakwaan Pertama: Pasal 360 ayat (2) KUHP, yaitu
“Barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain luka sedemikian rupa sehingga orang itu menjadi sakit sementara atau tidak dapat menjalankan jabatan atau pekerjaannya sementara, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana kurungan paling lama enam bulan atau pidana denda paling tinggi empat ribu lima ratus rupiah.”
Dakwaan Kedua: Pasal 409 KUHP, yaitu
“Barangsiapa yang karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan bangunan-bangunan tersebut dalam pasal di atas dihancurkan, dirusakkan atau dibuat tak dapat dipakai, diancam dengan pidana kurungan paling lama satu bulan atau pidana denda paling banyak seribu lima ratus rupiah.”
PUTUSAN
Pengadilan Negeri No. Register Perkara 60/Pid.S/1987/PN.KBM
- Menyatakan Terdakwa PA terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan kejahatan:
I. Karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka-luka;
II. Karena kealpaannya menyebabkan kereta api rusak.
- Menghukum Terdakwa PA dengan hukuman Penjara selama 2 bulan dan 15 hari.
- ..........
Pengadilan Tinggi No. Register Perkara 762/Pid/1987/PN.SMG
- Menyatakan Terdakwa PA terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan kejahatan:
I. Karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka-luka;
II. Karena kealpaannya menyebabkan kereta api rusak.
- Menghukum Terdakwa PA dengan hukuman Penjara selama 10 bulan.
- ..........
Mahkamah Agung No. Register Perkara 1286 K/Pid/1988
- Menyatakan Terdakwa PA terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan kejahatan:
I. Karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka-luka;
II. Karena kealpaannya menyebabkan kereta api rusak.
- Menghukum Terdakwa PA dengan hukuman
a. Untuk kejahatan ke-1 dengan pidana Penjara selama 3 bulan;
b. Untuk kejahatan ke-2 dengan pidana Kurungan selama 15 hari.
- ..........
BAB III
LANDASAN TEORI
Samenloop / concursus dapat diterjemahkan gabungan atau perbarengan. Dalam makalah ini akan digunakan istilah “gabungan”. Gabungan tindak pidana yaitu apabila seseorang atau lebih melakukan satu perbuatan dan dengan melakukan satu perbuatan, ia melanggar beberapa peraturan pidana atau apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan, dan itu belum dijatuhi putusan hakim atas diri orang tersebut dan terhadap beberapa pelanggaran dari beberapa peraturan pidana itu diadili sekaligus.
Dengan demikian maka syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk dapat menyatakan adanya gabungan adalah:
1. Ada dua/ lebih tindak pidana dilakukan;
2. Bahwa dua/ lebih tindak pidana tersebut dilakukan oleh satu orang (atau dua orang dalam hal penyertaan);
3. Bahwa dua/ lebih tindak pidana tersebut belum ada yang diadili; dan
4. Bahwa dua/ lebih tindak pidana tersebut akan diadili sekaligus.
A. Sistem Pemidanaan
Pada dasarnya teori gabungan tindak pidana dimaksudkan untuk menentukan pidana apa dan berapa ancaman maksimum pidana yang dapat dijatuhkan terhadap seseorang yang telah melakukan lebih dari satu tindak pidana.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengenal 4 (empat) sistem atau stelsel pemidanaan, yaitu:
1. Sistem Absorpsi
Apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan yang merupakan beberapa delik yang masing-masing diancam dengan pidana yang berbeda, maka menurut sistem ini hanya dijatuhkan satu pidana saja, yaitu pidana yang terberat walaupun orang tersebut melakukan beberapa delik.
2. Sistem Kumulasi
Apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan yang merupakan beberapa delik yang diancam dengan pidana sendiri-sendiri, maka menurut sistem ini tiap-tiap pidana yang diancamkan terhadap delik-delik yang dilakukan oleh orang itu semuanya dijatuhkan.
3. Sistem Absorpsi Diperberat
Apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan yang merupakan beberapa jenis delik yang masing-masing diancam dengan pidana sendiri-sendiri, menurut stelsel ini pada hakikatnya hanya dapat dijatuhkan 1 (satu) pidana saja yakni yang terberat, akan tetapi dalam hal ini diperberat dengan menambah 1/3 (sepertiga).
4. Sistem Kumulasi Terbatas
Apabila seeorang melakukan beberapa jenis perbuatan yang menimbulkan beberapa jenis delik yang masing-masing diancam dengan pidana sendiri-sendiri, maka menurut stelsel ini, semua pidana yang diancamkan terhadap masing-masing delik dijatuhkan semuanya. Akan tetapi, jumlah pidana itu harus dibatasi, yaitu jumlahnya tidak boleh melebihi dari pidana terberat ditambah 1/3 (sepertiga).
B. Bentuk-Bentuk Gabungan Tindak Pidana
Gabungan memiliki beberapa bentuk, yaitu:
1. Gabungan dalam satu perbuatan (Eendaadse Samenloop/Concursus Idealis)
Eendaadse Samenloop terjadi apabila seseorang melakukan satu perbuatan, tetapi dengan satu perbuatan itu ia melanggar beberapa peraturan pidana yang berarti ia telah melakukan beberapa tindak pidana.Hal ini diatur dalam pasal 63 KUHP yang bunyinya sebagai berikut:
(1) Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang dikenakan hanya salah satu di antara aturan-aturan itu, jika berbeda-beda yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat.
(2) Jika suatu perbuatan, yang masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang dikenakan.
Di antara para sarjana terdapat perbedaan pendapat mengenai apa yang dimaksud dengan satu tindakan. Sebelum tahun 1932, Hoge Raad barpendirian yang ternyata dalam putusannya, bahwa yang dimaksud dengan satu tindakan dalam pasal 63 ayat (1) KUHP adalah tindakan nyata atau tindakan materiil.
Taverne bertolak pangkal dari pandangan hukum pidana bahwa tindakan itu terdiri dari dua/lebih tindakan yang terdiri sendiri yang mempunyai sifat yang berbeda yang tak ada kaitannya satu sama lain dapat dibayangkan keterpisahan masing-masing. Akibat dari pendirian Hoge Raad ini, makna dari pasal 63 ayat (1) menjadi sempit. Hanya dalam hal-hal terbatas masih apat dibayangkan kemanfaatan dari ketentuan pasal tersebut.
Pendirian Hoge Raad bersandar kepada sifat atau ciri yang terdapat pada tindakan tersebut, namun belum secara tegas dapat diketahui apa yang dimaksud dengan satu tindakan dan beberapa perbuatan. Maka dapat disimpulkan bahwa dalam prakterknya Hoge Raad menyelesaikan perkara secara kasuistis.
Modderman mengatakan bahwa dilihat dari sudut badaniah tindakan itu hanyalah satu saja akan tetapi dari sudut rohani ia merupakan pluralitas (ganda). Sedangkan Pompe mengutarakan bahwa apabila seseorang melakukan satu tindakan pada suatu tempat dan saat, namun harus dipandang merupakan beberapa tindakan apabila tindakan itu mempunyai lebih dari satu tujuan atau cukupan.
Ketentuan dalam pasal 63 ayat (2) sesuai dengan asas lex spesialis derogat lex general, yang artinya ketentuan khusus mengenyampingkan ketentuan yang umum. Yang dimaksud dengan ketentuan pidana khusus adalah jika pada tindak pidana khusus itu termuat atau tercakup semua unsur-unsur yang ada pada tindak pidana umum, akan tetapi padanya masih ada unsur lainnya atau suatu kekhususan. Pemidanaan dalam hal concursus idealis menggunakan stelsel absorpsi murni yaitu dengan salah satu pidana yang terberat.
2. Gabungan dalam beberapa perbuatan (Meerdaadse Samenloop/concursus realis)
Meerdaadse Samenloop terjadi apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan, dan tiap-tiap perbuatan tindak pidana sendiri-sendiri dan terhadap perbuatan-perbuatan tadi diadili sekaligus. Hal ini diatur dalam pasal 65, 66, 70 dan 70 bis KUHP. Menurut ketentuan yang termuat dalam KUHP, concursus realis dibedakan antara jenis tindak pidana yang dilakukan. Tindak pidana kejahatan termuat dalam pasal 65 dan 66 KUHP. Sedangkan tindak pidana pelanggaran termuat dalam pasal 70 dan 70 bis.
Pasal 65 KUHP mengatur gabungan dalam beberapa perbuatan yang diancam dengan pidana pokok sejenis dan sistem pemidanaan menggunakan sistem absorpsi diperberat. Pasal 66 KUHP mengatur gabungan dalam beberapa perbuatan yang diancam dengan pidana pokok yang tidak sejenis dan sistem pemidanaanya juga menggunakan absorpsi diperberat.
Perbedaan antara pasal 65 dan 66 KUHP terletak pada pidana pokok yang diancamkan terhadap kejahatan-kejahatan yang timbul karena perbuatan-perbuatannya itu yaitu apakah pidana pokok yang diancamkannya itu sejenis atau tidak. Sedangkan pasal 70 KUHP mengatur apabila seseorang melakukan beberapa pelanggaran atau apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan yang merupakan kejahatan dan pelanggaran.
Jika pasal 65 dan 66 menyebutkan tentang gabungan kejahatan dengan kejahatan, pasal 70 memberi ketentuan tentang gabungan kejahatan dengan pelanggaran atau pelanggaran dengan pelanggaran. Dalam hal ini maka kejahatannya dijatuhkan hukumannya sendiri, sedangkan bagi masing-masing pelanggarannya pun dikenakan hukuman sendiri-sendiri dengan pengertian bahwa jumlah semuanya dari hukuman kurungan yang dijatuhkan bagi pelanggaran-pelanggaran itu tidak boleh lebih dari satu tahun empat bulan dan mengenai hukuman kurungan pengganti denda tidak lebih dari delapan bulan. Pasal 70 bis menentukan kejahatan-kajahatan ringan dianggap sebagai pelanggaran. Bagi masing-masing kejahatan ringan tersebut harus dijatuhkan hukuman sendiri-sendiri dengan ketentuan bahwa jika dijatuhkan hukuman penjara maka jumlah semua hukuman tidak boleh lebih dari delapan bulan.
3. Perbuatan berlanjut (Voorgezette Handeling)
Apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan dan beberapa perbuatan itu merupakan tindak pidana sendriri. Tetapi di antara perbuatan itu ada yang hubungan sedemikian eratnya satu sama lain sehingga beberapa perbuatan itu harus dianggap sebagai satu peruatan lanjutan. Hal ini diatur dalam pasal 64 KUHP dan pemidanaannya menggunakan sistem absorpsi.
Apa yang dimaksud dengan perbuatan berlanjut? Terdapat beberapa pendapat mengenai perbuatan berlanjut tersebut. Ada sarjana yang memberikan pengertian bahwa perbuatan berlanjut adalah apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan yang masing-masing merupakan delik, tetapi beberapa perbuatan yang masing-masing delik itu seolah-olah digabungkan menjadi satu delik.
Sedangkan Simons mengatakan bahwa KUHP yang berlaku sekarang tidak mengenal vorgezette handeling sebagaimana diatur dalam pasal 64 KUHP yang merupakan bentuk gabungan dalam concursus realis. Hanya tentang pemidanaan pasal 64 KUHP menyimpang dari ketentuan pasal 65 KUHP dan 66 KUHP. Menurut pasal 65 KUHP dan 66 KUHP yang dijatuhkan adalah satu pidana yang terberat ditambah dengan sepetiganya. Sedangkan menurut pasal 64 KUHP yang dijatuhkan hanya satu pidana yang diperberat. Oleh karena itu, Simons menganggap pasal 64 KUHP sebagai pengecualian terhadap concursus realis/ meerdaadse samenloop.
Adapun ciri-ciri dari perbuatan berlanjut adalah:
1. Tindakan-tindakan yang terjadi adalah sebagai perwujudan dari satu kehendak jahat;
2. Delik-delik yang terjadi itu sejenis; dan
3. Tenggang waktu antara terjdinya tindakan-tindakan tersebut tidak terlampau lama.
Persoalan mengenai sejauh mana cakupan dari satu kehendak jahat tersebut erat hubungannya dengan delik dolus/ culpa dan delik materil/ formil. Untuk delik dolus dalam hubungannya dengan delik materiil/ formal tidak ada persoalan mengenai cakupan dari sau kehendak jahat tersebut.
BAB IV
ANALISIS KASUS
A. Perbuatan Terdakwa merupakan Concurus Realis
Setelah menganalisa kasus tersebut berdasarkan teori-teori penggabungan seperti yang sudah diterangkan diatas, kelompok kami mengambil kesimpulan bahwa kasus tersebut merupakan kasus yang termasuk ke dalam penggabungan. Bentuk penggabungan yang terjadi dalam kasus tersebut adalah Concursus Realis Heterogenius. Walaupun istilah concursus realis dan idealis masih diperdebatkan oleh para sarjana, akan tetapi penulis menggunakan istilah ini untuk memudahkan dengan landasan teori yang telah dijabarkan sebelumnya.
Putusan Mahkamah Agung (MA) pada kasus tersebut memang sudah tepat bahwa memang terdapat penggabungan yaitu Concursus Realis dalam kasus tersebut. Akan tetapi, MA tidak menerangkan dasar hukum dari Concursus Realis secara tepat karena mencantumkan baik pasal 65 dan 66 KUHP secara bersamaan padahal kedua pasal tersebut mengatur dua hal yang berbeda. Hal ini membuktikan bahwa MA tidak tahu secara pasti bentuk dari Concursus Realis yang terjadi. Selain itu, MA juga tidak mencantumkan dasar-dasar hukum lainnya yang menguatkan posisi dari Concursus Realis dalam kasus tersebut dan hanya mencermati dari pemidanaan yang seharusnya diberikan kepada terdakwa. Oleh karena itu, pasal yang tepat dalam menjelaskan dan menggali pertimbangan tersebut kami menjelaskan Pasal 66 ayat (1) KUHP yang menjadi landasan kami untuk menganalisis, yang menyebutkan:
“Dalam hal perbarengan beberapa perbuatan yang masing-masing harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri-sendiri, sehingga merupakan beberapa kejahatan yang diancam dengan pidana pokok yang tidak sejenis, maka dijatuhkan pidana atas tiap-tiap kejahatan tetapi jumlahnya tidak boleh melebihi maksimum pidana yang terberat ditambah sepertiga.”
Dalam rumusan pasal tersebut terdapat kata ”beberapa perbuatan” yang membuat perbuatan pidana yang mendasari Concursus Realis terlihat menjadi sempit, yaitu hanya perbuatan fisik semata. Akan tetapi, dalam rumusan pasal 66 ayat (1) KUHP pun disebutkan bahwa ”masing-masing harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri-sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan.” Rumusan ini menjelaskan bahwa diantara perbuatan-perbuatan yang terjadi yang merupakan kejahatan dan dapat dihukum pidana, harus berdiri sendiri-sendiri. Jadi, untuk menentukan apakah suatu penggabungan tindak pidana merupakan Concursus Realis atau Concursus Idealis maka hubungan dari perbuatan-perbuatan tersebut adalah sangat penting.
Walaupun demikian, kami juga berusaha mencari dari sumber hukum lainnya yaitu berupa doktrin dari beberapa sarjana, seperti Jonkers secara negatif mengatakan bahwa segala yang tidak termasuk concursus idealis atau perbuatan terus-menerus merupakan concursus realis.[1] Dengan membuat definisi yang negatif ini, Jonkers merasa bahwa dirinya telah terbebas dari kewajiban membuat satu uraian tersendiri tentang apa itu concursus realis. Definisi Jonkers tentang concursus realis tersebut memang tidak memberikan penjelasan yang tepat dan pasti dari concursus realis apalagi membahas tentang ”beberapa perbuatan” yang merupakan unsur dari concursus realis, akan tetapi telah memberikan sedikit pemahaman bahwa concursus idealis, concursus realis, dan juga perbuatan berlanjut, adalah tiga jenis bentuk perbuatan yang berbeda.
VOS membuat definisi bahwa concursus realis terjadi dalam hal beberapa fakta yang harus dipandang sebagai perbuatan yang tersendiri-sendiri dan yang masing-masing merupakan peristiwa pidana, dilakukan oleh satu orang dan diantara waktu terjadinya masing-masing fakta itu tidak diputuskan hukuman terhadao salah satu fakta-fakta tersebut, dan juga tidak tidak perlu ada hubungan antara fakta-fakta itu.[2]
VOS berpendapat bahwa yang harus dimaksud dengan ”perbuatan” dalam pasal 65-66 KUHP adalah seluruh kompleks (gedraging), akibat, unsur-unsur kesalahan yang subjektif, serta fakta-fakta lain yang menyertai terjadinya delik. Dengan kata lain, tiap-tiap kompleks kejadian yang tercangkup dalam satu ketentuan pidana.
Pompe juga mengemukakan keberatan-keberatan baik yang ditinjau dari sudut teoritis mapun yang ditinjau dari sudut praktis, terhadap penafsiran tentang perbuatan (feit) sebagai satu perbuatan yang dilihat sebagai perbuatan fisik (materiil) saja.[3] Menurut Pompe, pendapat klasisk tersebut sebenarnya hanya tepat untuk delik-delik yang terjadi karena dilakukan perbuatan-perbuatan materiil (fisik). Jadi, hanya tepat untuk delik-delik komisi (commisie delicten) saja. Dalam hal dilakukannya delik-delik lain maka ajaran klasik ini tidak dapat digunakan, dan harus dicari ukuran lain yang tidak begitu materiil dan tidak begitu fisik.
Ukuran yang dimaksud oleh Pompe juga lebih sesuai dengan sifat dari hukum karena dalam hukum tidak dipermasalahkan tentang gerak badan tertentu, tetapi yang dipersoalkan adalah apakah sikap tertentu seseorang berhubungan dengan tujuan yang hendak dicapai orang tersebut.[4] R.Soesilo dalam penjelasan pasal 63 KUHP mengatakan bahwa seseorang yang mengendarai kendaraan bermotor di malam hari tanpa memakai penerangan dengan tidak membawa
Kasus yang dapat menjelaskan suatu perbuatan tidak hanya dilihat dari perbuatan fisik saja, atau dengan kata lain tidak hanya apa yang terlihat secara kasat mata antara lain:
1. A mengendarai sebuah mobil tanpa memasang lampu dan pada saat itu juga berada dibawah pengaruh minuman keras.[5] Hoge Raad melihat apa yang dilakukan oleh A sebagai concursus realis karena tidak mungkin ada concursus apabila yang bersangkutan tidak melakukan suatu perbuatan yang berjiwa satu. Dapat pula dicatat bahwa peristiwa yang satu dapat dilihat terlepas dari peristiwa yang lain.
2. A dengan mobilnya menabrak sekaligus tiga orang yang naik sepeda. Satu diantara tiga orang tersebut mati dan dua diantaranya luka berat. Biarpun satu tabrakan tetapi HR beranggapan bahwa perbuatan tersebut adalah concursus realis.[6]
Pertimbangan Hoge Raad menyatakan bahwa “Tertuduh telah mengendarai mobilnya pada waktu ia sedang dalam keadaan mabuk. Dalam pada itu mobilnya tersebut tidak dilengkapi dengan dua buah lampu. Yang penting di dalam kenyataan yang pertama itu adalah keadaan tertuduh, sedang id dalam kenyataan yang kedua adalah keadaan mobilnya. Kenyataan-kenyataan tersebut dapat dipandang sebagai kenyataan-kenyataan yang berdiri sendiri-sendiri. Masing-masing merupakan pelanggaran yang berdiri sendiri-sendiri dengan sifat yang berbeda-beda. Bahwa dua kenyataan itu telah timbul pada waktu yang bersamaan, bukanlah merupakan sesuatu yang bersifat menentukan. Kenyataan yang satu itu tidak ada kaitannya dengan kenyataan yang lain dan kenyataan yang satu itu bukan merupakan syarat bagi tumbulnya kenyataan yang lain. Kenyataan-kenyataan tersebut dapat dipandang sebagai kenyataan-kenyataan yang berdiri sendiri-sendiri. Disini terdapat suatu meerdaadse samenloop.”[7]
Selain itu, Hoge Raad pada kasus poin 2 diatas menjelaskan pertimbangannya yaitu “Di dalam suatu kecelakaan itu seorang pengemudi mobil telah menyebabkan matinya seorang pengendara sepeda dan telah menyebabkan seorang lainnya mendapat luka-luka berat pada tubuhnya. Apa yang sesungguhnya telah terjadi itu bukanlah pelanggaran-pelanggaran ataupun suatu pelanggaran – oleh karena hal tersebut dengan sendirinya tidaklah relevan – melainkan perbuatan menimbulkan dua akibat yang terlarang oleh undang-undang. Ini merupakan dua tindakan, dimana undang-undang sendiri telah menggunakan perkataan tersebut untuk menunjukan segala sesuatu yang dapat termasuk ke dalam suatu ketentuan pidana. Pasal 65 KUHP telah menyebut tindakan-tindakan tersebut kejahatan-kejahatan yang berbeda-beda. Dalam hal ini yang harus diberlakukan itu bukanlah Pasal 63 ayat (1) KUHP melainkan Pasal 65 KUHP.”[8] Artinya dalam suatu perbuatan yang terlihat dengan kasat mata hanya terlihat satu tindak pidana saja, sedangkan Hoge Raad sudah menafsirkan sebagai kenyataan, sebagai tindakan dan sebagai segala sesuatu yang dapat termasuk ke dalam suatu ketentuan pidana, sehingga dapat disimpulkan bahwa apabila pelaku melakukan suatu perbuatan yang mau tidak mau akan mengakibatkan beberapa akibat, harus dipandang sebagai suatu perbuatan, dan begitu sebaliknya.
Mengutip dari pendapat Prof. Simons yang mengatakan didalam suatu samenloop itu orang harus membedakan apakah si pelaku hanya melakukan satu tindakan – diartikan menurut arti sebenarnya, jadi sebagai pelaksanaan secara material – ataupun ia telah melakukan beberapa tindakan[9] sehingga dapat ditarik benang merah yaitu perkataan feit itu menurut paham yang baru harus diartikan lebih sempit dari pada tindakan dalam arti material dan pada saat yang sama ia juga harus diartikan lebih luas dari pada tindak pidana.[10]
Dari kasus tabrakan truk dengan kereta diatas, memang apabila dilihat dari sudut perbuatan materiil (fisik) semata maka unsur ”beberapa perbuatan” tidak terpenuhi. Akan tetapi, apabila menggunakan ukuran lain dalam menentukan perbuatan dalam pasal tersebut seperti yang sudah diuraikan dalam doktrin-doktrin para sarjana hukum dan yurisprudensi diatas, maka dapat terlihat bahwa sebenarnya telah terjadi beberapa perbuatan yang merupakan kejahatan yang dapat dipidana.
Walaupun demikian, untuk menentukan concursus realis dalam kasus diatas adalah dengan melihat pasal yang didakwakan pada terdakwa (P.Aris) yaitu pasal 360 ayat (2) KUHP tentang karena kealpaan menyebabkan orang lain luka-luka dan pasal 409 KUHP tentang kesengajaan merusakkan fasilitas umum. Apabila melihat akibat-akibat dari perbuatan-perbuatan yang muncul dari kasus diatas, dapat terlihat dengan jelas bahwa ”perbuatan yang menimbulkan akibat-akibat pidana tersebut dapat dipisah-pisah satu sama lain tanpa melenyapkan salah satu peristiwa.” Maksudnya, untuk dengan sengaja merusakan fasilitas umum, PA tidak harus dengan lalainya menyebabkan orang lain terluka. Dua akibat tersebut merupakan hal-hal yang tidak bisa diprediksikan sebelumnya dan dapat dipisah-pisahkan. Jadi, tidak perlu ada keterkaitan antara akibat-akibat yang terjadi. Selain itu, perbuatan yang dilakukan seharusnya bukan mau tidak mau akan terjadi, akan tetapi PA mengetahui apabila truk di gas dan ada kemungkinan untuk tidak bisa mengejar target untuk sampai melawati rel, maka akan terjadi suatu tabrakan, selain itu ada perbuatan lain yaitu PA juga mengetahui seandainya terjadi tabrakan akan menyebabkan rusaknya lokomotif atau rel kereta api. Memang PA tidak bisa menyadari, akan tetapi dapat memperkirakan bahwa apa yang terjadi yaitu tabrakan dan rusaknya fasilitas umum dapat diperhitungkan, khususnya menjadi 2 perbuatan akibat lalainya PA.
Maka dari itu, bentuk yang terjadi dalam kasus diatas adalah concursus realis heterogenius, dan karena diancam dengan pidana pokok yang tidak sejenis maka dasar pemidanaannya cukup dengan pasal 66 ayat (1) KUHP.
B. Penjatuhan Pidana
Dalam kasus diatas dapat dilihat yaitu penerapan pasal 66 ayat (1) KUHP tidak dipergunakan sebagaimana mestinya, karena sudah terbuktinya suatu tindak pidana yang dilakukan oleh PA. Pertimbangan Majelis Hakim pada Pengadilan Negeri (PN) tidak bisa menjadi patokan karena Hakim PN hanya menjatuhkan pidana dengan jenis Penjara saja, tanpa melihat bahwa ketentuan pasal yang diancamkan pada Pasal 360 ayat (2) KUHP dan Pasal 409 KUHP mempunyai jenis yang berbeda yaitu penjara dan kurungan. Majelis Hakim Pengadilan Tinggi juga tidak mempertimbangkan masalah yang sama, sehingga memperbaiki putusan PN hanya masalah beratnya pidana yang dijatuhkan tanpa melihat ada dasar-dasar yang meringankan pidana non-yuridis yang lebih banyak dibandingkan dasar pemberat pidana non-yuridis, yaitu:
a. Hal-hal yang meringankan
- Terdakwa mengaku terus terang sehingga memperlancar jalannya persidangan
- Terdakwa bersikap sopan
- Terdakwa masih muda
- Terdakwa belum pernah dihukum
b. Hal-hal yang memberatkan
- Akibat perbuatan terdakwa menimbulkan keterlambatan perjalanan kereta api sampai 5 jam.
Apabila kita meneliti dari hal-hal yang meringankan dan memberatkan non-yuridis, maka kita akan menyimpulkan bahwa hal-hal yang meringankan lebih banyak dari pada hal-hal yang memberatkan, artinya penjatuhan pidana yang maksimal akan dikurangi lebih banyak ketimbang ditambahkan pemidanaannya. Terlepas dari hukuman yang dijatuhkan, maka apabila kita melihat ancaman hukuman pasal yang didakwakan, yaitu:
Pasal Dakwaan | Ancaman Pidana | Vonis |
Pasal 360 ayat (2) KUHP | Penjara 9 bulan, atau Kurungan 6 bulan, atau Denda Rp. 4500,- | |
Pasal 409 KUHP | Kurungan 1 bulan, atau Denda Rp. 1500,- | |
| | |
PENGADILAN NEGERI | Penjara 2 bulan dan 15 hari | |
| | |
PENGADILAN TINGGI | Penjara 10 bulan | |
| | |
MAHKAMAH AGUNG | Kejahatan I: Penjara 3 Bulan Kejahatan II: Kurungan 15 hari |
Dalam penentuan pidana pada Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi tidak menerapkan hukum dalam menjatuhkan sanksi pemidanaan, seharusnya Hakim menjatuhkan maksimum penjara adalah sebagai berikut:
· Kejahatan I: Penjara 12 bulan
· Kejahatan II: Kurungan 1 bulan 10 hari
Dengan demikian, pertimbangan Mahkamah Agung dari segi penjatuhan pidana sudah tepat, dan kelompok kami setuju dengan amar putusan tersebut, karena berdasarkan pasal 66 ayat (1) KUHP, maka perbuatan yang diancamkan berbeda jenisnya (vide pasal 10 KUHP), sehingga harus dijatuhkan pidana yang berbeda terhadap kejahatan yang berbeda pula.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah diuraikan dihubungkan dengan pokok permasalahan yang telah dirumuskan, maka kami dapat menarik kesimpulan bahwa:
1. Perbuatan yang dilakukan yang terdapat dalam pasal 65-66 KUHP tidak dapat hanya diartikan sebagai perbuatan materiil atau fisik saja. Akan tetapi, perbuatan-perbuatan yang terjadi harus dilihat dalam suatu kompleks perbuatan dan juga akibat-akibat yang terjadi.
Selain itu, ukuran dari concursus realis (juga untuk membedakan dengan concursus idealis) yang terbaik adalah melihat keterkaitan atau hubungan dari peristiwa-peristiwa pidana yang terjadi beserta akibat-akibatnya. Apakah suatu peristiwa pidana A merupakan syarat dari peristiwa pidana B dan seterusnya. Apakah peristiwa-peristiwa pidana yang terjadi merupakan perbuatan yang tidak dapat dipisah-pisah yang satu dengan lainnya tanpa melenyapkan peristiwa yang lain ataukah dapat dipisah-pisah satu dengan lainnya tanpa melenyapkan salah satu peristiwa? Apabila ternyata dapat dipisah-pisah tanpa melenyapkan peristiwa yang lain maka bentuk penggabungan yang terjadi adalah concursus realis. Hal tersebut merupakan ukuran yang paling mudah dimengerti dan digunakan untuk menentukan apakah bentuk penggabungan yang terjadi merupakan concursus realis atau bukan, sehingga dalam kasus yang dibahas akan menjadi terang suatu permasalahan yang dihadapi di prakteknya. Dengan demikian, dalam kasus benturan Truk dan Kereta Api terdapat suatu gabungan tindak pidana berupa concursus realis atau perbarengan beberapa perbuatan.
A. Dalam Putusan Mahkamah Agung sudah tepat, sedangkan Putusan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi tidak tepat, karena tidak mempertimbangkan dasar-dasar dikenakannya suatu penjatuhan hukuman berupa vonis maupun masalah gabungan tindak pidana tidak dipertimbangkan dalam penjatuhan pidana, sehingga putusan tersebut haruslah diperbaiki..
B. Saran
Kelompok kami memberikan beberapa rekomendasi yang penting bagi para aparatur penegak hukum termasuk calon aparatur penegak hukum kelak di masa datang, agar selalu mempertimbangkan dan menganalisis suatu permasalahan dengan menyeluruh sehingga mendapatkan suatu penafsiran yang tidak salah, terutama Hakim. Selain itu, perlu suatu pelatihan mengenai teori-teori hukum pidana yang dipelajari bagi para penegak hukum nantinya, khususnya mengenai pemidanaan yang terkadang tidak adil dirasakan oleh terdakwa. Pemahaman ataupun konsep yang salah akan menimbulkan permasalahan yang berlarut-larut dan kontroversial. Dengan demikian, teori-teori gabungan tindak pidana hendaknya tidak ditafsirkan secara leterlijk saja yaitu yang berdasar pada undang-undang, tetapi juga sumber hukum tidak terbatas dari perundang-undangan, akan tetapi meliputi juga doktrin, yurisprudensi hakim dan lain-lain.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Jonkers “Alles, wat niet eendaadsche samanloop of voortgezette handeling is, is meerdaadsche samanloop.”
Kanter, E.Y. dan S.R. Sianturi. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya. (Jakarta: Penerbit Storia Grafika, 2002).
Lamintang, P.A.F.. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1997).
Loqman, Loebby. Percobaan, Penyertaan, dan Gabungan Tindak Pidana. (Jakarta: Universitas Tarumanegara, 1996).
Marpaung, Leden .Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, (Jakarta : Sinar Grafika, 2005).
Moeljatno. Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta : Bina Aksara, 1987).
Prodjodikoro, Wirjono.Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, (Jakarta: Eresco, 1967).
Prodjodikoro, Wirjono.Tindak Pidana Tertentu, (Jakarta: Eresco, 1967).
Sianturi, S.R.. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta: Rineka Cipta, 1985).
Simons, Leerboek van het Nederlandsee Straftrecht, P. Noordhoff N. V., (Groningen: Batavia, 1937).
Soesilo, R..Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal. (Bogor: Politeia, 1993).
Utrecht, E.. Rangkaian Sari Kuliah: Hukum Pidana II. (Bandung: PT. Penerbitan Universitas, 1958).
B. Putusan
Keputusan HR tertanggal 11 April 1927, NJ 1927, W Nr 11673.
Keputusan HR tertanggal 24 Oktober 1932, NJ 1932.
Keputusan HR tertanggal 8 Februari 1932, NJ 1932.
[1] Jonkers “Alles, wat niet eendaadsche samanloop of voortgezette handeling is, is meerdaadsche samanloop.”, hal. 136.
[2] Vos (hal 312).
[3] Pompe, Kritik terhadap Keputusan HR tertanggal 11 April 1927, NJ 1927, W Nr 11673.
[4] E. Utrecht. Rangkaian Sari Kuliah: Hukum Pidana II. (Bandung: PT. Penerbitan Universitas, 1958), hal 145.
[5] Keputusan HR tertanggal 8 Februari 1932, NJ 1932, hal.289.
[6] Keputusan HR tertanggal 24 Oktober 1932, NJ 1932, hal. 16.
[7] P.A.F. Lamintang. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1997), hal. 680.
[8] Ibid, hal. 681.
[9] Prof. Mr. Simons, Leerboek van het Nederlandsee Straftrecht, P. Noordhoff N. V., (Groningen: Batavia, 1937), hal. 464.
[10] Lamintang, op. cit., hal. 682
1 komentar:
analisisnya bagus, saya juga pernah baca kasusnya di varia peradilan. eh ternyata di sini juga ada..:)
Posting Komentar