Minggu, 20 Desember 2009

Kedudukan dan Kewenangan DPRD Serta Hubungannya dengan Lembaga-Lembaga Lainnya


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

UUD 1945 adalah konstitusi negara Indonesia yang merupakan hasil kesepakatan seluruh rakyat Indonesia. Keberlakuan UUD 1945 berlandaskan pada legitimasi kedaulatan rakyat sehingga UUD 1945 merupakan hukum tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, hasil-hasil perubahan UUD 1945 berimplikasi terhadap seluruh lapangan kehidupan berbangsa dan bernegara. Apalagi perubahan tersebut meliputi hampir keseluruhan materi UUD 1945. Jika naskah asli UUD 1945 berisi 71 butir ketentuan, maka setelah empat kali mengalami perubahan materi muatan UUD 1945 mencakup 199 butir ketentuan.[1]

Menurut William G. Andrews, “Under consti­tutionalism, two types of limitations impinge on govern­ment. Power proscribe and procedures prescribed”[2]. Konstitu­sio­nalisme mengatur dua hubungan yang saling berkaitan satu sama lain, yaitu: Pertama, hubungan antara pemerintahan dengan warga negara; dan Kedua, hubungan antara lem­baga pemerintahan yang satu dengan lembaga pemerintahan yang lain. Karena itu, biasanya, isi konstitusi dimak­sudkan untuk mengatur mengenai tiga hal penting, yaitu: (a) me­nen­­tukan pembatasan kekuasaan organ-organ negara, (b) meng­atur hubungan antara lembaga-lembaga negara yang satu dengan yang lain, dan (c) mengatur hubungan kekuasaan antara lembaga-lembaga negara dengan warga negara.

Dengan demikian, salah satu materi penting dan selalu ada dalam konstitusi adalah pengaturan tentang lembaga negara. Hal itu dapat dimengerti karena kekuasaan negara pada akhirnya diterjemahkan ke dalam tugas dan wewenang lembaga negara. Tercapai tidaknya tujuan bernegara berujung pada bagaimana lembaga-lembaga negara tersebut melaksanakan tugas dan wewenang konstitusionalnya serta hubungan antarlembaga negara. Pengaturan lembaga negara dan hubungan antarlembaga negara merefleksikan pilihan dasar-dasar kenegaraan yang dianut.[3] Oleh karena salah satu ciri negara demokrasi adalah terselenggaranya pemilihan umum (pemilu) yang merupakan salah satu hak asasi warga negara yang sangat prinsipil. Pemilu merupakan suatu syarat mutlak bagi negara demokrasi dalam melaksanakan kedaulatan rakyat.[4] Eksistensi kelembagaan pemilu telah diakui oleh negara-negara yang bersendikan kedaulatan rakyat. Oleh karenanya, pemilu telah berlaku sebagai suatu keharusan,[5] dimana berdasarkan Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia menuliskan bahwa “Pemerintahan daerah propinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.” Dengan demikian, pemilu sebagai penerapan dari adanya demokrasi di Indonesia, akan tetapi dalam prakteknya kedudukan suatu Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang sering disingkat dengan DPRD mendapat kedudukan seperti anak tiri.

Walaupun demikian, kedudukan hukum DPRD pada era reformasi dewasa ini mengalami proses reposisi yang cukup radikal. Pada masa lampau, kedudukan DPRD adalah salah satu unsur dari pemerintahan daerah atau eksekutif (pasal 11 UU Nomor 5 tahun 1974). Ini berarti DPRD memang diposisikan sebagai mitra Kepala Daerah dalam perumusan – sekaligus implementasi – kebijakan di daerah, dari pada sebagai fungsi kontrol dan penyeimbang kekuatan eksekutif yang sangat besar. Dalam kedudukannya yang demikian, sangatlah wajar jika DPRD sama sekali tidak mencerminkan representasi dari rakyat di daerahnya. Oleh karena itulah dalam pasal 14 UU Nomor 22 tahun 1999 kedudukan DPRD dikembalikan kepada fungsi aslinya, yakni sebagai badan legislatif. Seiring dengan fungsi barunya ini, DPRD juga diberikan hak untuk meminta pertanggungjawaban Kepala Daerah, sesuatu yang sangat tidak mungkin terjadi dalam era Orde Baru.

Dalam konteks negara demokrasi dan negara hukum, kedudukan DPRD mutlak harus memiliki kemandirian dan “kekebalan” dari pengaruh-pengaruh kekuasaan lainnya, baik dari pihak eksekutif maupun pengaruh-pengaruh yang datang dari kelompok-kelompok penekan (pressure group). Jika DPRD tidak mampu melepaskan diri dari pengaruh-pengaruh ini, maka yang terjadi adalah “pengkhianatan” terhadap amanat penderitaan rakyat. Dan jika hal ini terjadi, maka dapat dikatakan bahwa fungsi DPRD tidak lebih hanya sebagai kepanjangan tangan dari berbagai pihak yang “menguasainya” tadi. Itulah sebabnya, untuk menjaga dan mengantisipasi intervensi dan pengaruh kekuasaan lain terhadap DPRD, lembaga legislatif idealnya hanya memiliki hubungan kerja dan koordinasi dengan lembaga-lembaga diluar dirinya, namun secara struktural tidak memiliki hubungan langsung secara kedinasan (line and staff).

Meskipun demikian, tidak berarti bahwa lembaga legislatif harus selalu dominan terhadap lembaga eksekutif, kecuali dalam sistem ketatanegaraan parlementer, kedudukan eksekutif (yang dipersonifikasikan oleh Kepala Daerah) dan legislatif haruslah seimbang. Bahkan konsep Trias Politika yang diperkenalkan oleh Montesquieu secara tegas memisahkan hubungan antara kedua lembaga ini. Dengan kata lain tidak dapat saling mencampuri (dan oleh karenanya tidak dapat saling menjatuhkan).

B. Pertanyaan Penelitian

Adapun ruang lingkup pokok permasalahan yang akan penulis bahas dalam makalah ini, terdiri atas:

  1. Bagaimana Kedudukan dan Kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) di Indonesia?
  2. Bagaimana hubungan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dengan lembaga-lembaga negara lainnya?

C. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kepustakaan. Tipe penelitian yang digunakan menurut sifatnya adalah penelitian deskriptif dan menurut ilmu yang digunakan adalah monodisipliner.

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier sebagai berikut.[6]

  1. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat berupa peraturan perundang-undangan Indonesia dan hukum tata negara.
  2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang erat kaitannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisa, memahami, dan menjelaskan bahan hukum primer, yang antara lain adalah teori para sarjana, buku, penelusuran internet, artikel ilmiah, dan surat kabar.
  3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan atas bahan hukum primer dan sekunder, misalnya kamus.

Mengenai alat pengumpul data, penulis memakai studi dokumen. Metode pendekatan analisis data yang dipergunakan adalah metode analisis kualitatif sehingga menghasilkan sifat dan bentuk laporan deskriptif analitis.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Lembaga Negara

Untuk memahami pengertian lembaga atau organ negara se­ca­ra lebih dalam, kita dapat mendekatinya dari pan­dang­an Hans Kelsen mengenai the concept of the State-Organ da­lam bukunya General Theory of Law and State. Hans Kel­sen menguraikan bahwa “Whoever fulfills a func­tion determined by the legal order is an organ”.[7] Siapa sa­ja yang menjalankan suatu fungsi yang ditentukan oleh su­a­tu tata-hukum (legal order) adalah suatu organ. Artinya, organ negara itu tidak selalu berbentuk or­ga­­nik. Di samping organ yang berbentuk organik, lebih lu­­­as lagi, setiap jabatan yang ditentukan oleh hukum dapat pu­­la disebut organ, asalkan fungsi-fungsinya itu bersifat men­­­cipta­kan norma (normcreating) dan/atau bersifat men­­­­jalan­kan norma (norm applying). “These functions, be they of a norm-creating or of a norm-applying charac­ter, are all ultimately aimed at the execution of a legal sanc­tion”.[8]

Menurut Kelsen, parlemen yang menetapkan un­dang-undang dan warga negara yang memilih para wakil­nya melalui pemilihan umum sama-sama merupakan or­gan negara dalam arti luas. Demikian pula hakim yang meng­­adili dan menghukum penjahat dan terpidana yang men­jalan­kan hukuman tersebut di lembaga pemasyara­kat­­an, adalah juga merupakan organ negara. Pendek kata, da­lam pengertian yang luas ini, organ negara itu identik dengan individu yang menjalankan fungsi atau jabatan ter­tentu dalam konteks kegiatan bernegara. Inilah yang di­­sebut sebagai jabatan publik atau jabatan umum (public offi­ces) dan pejabat publik atau pejabat umum (public offi­cials).[9]

Di samping pengertian luas itu, Hans Kelsen juga meng­urai­kan adanya pengertian organ negara dalam arti yang sempit, yaitu pengertian organ dalam arti materiil. In­­dividu dikatakan organ negara hanya apabila ia secara pri­­­badi memiliki kedudukan hukum yang tertentu (...he per­­­sonally has a specific legal position). Suatu transaksi hukum perdata, misalnya, kontrak, adalah merupakan tin­dak­an atau perbuatan yang menciptakan hukum seperti halnya suatu putusan pengadilan.

Lembaga negara terkadang disebut dengan istilah lembaga pemerintahan, lembaga pemerintahan non-departemen, atau lembaga negara saja. Ada yang dibentuk berdasarkan atau karena diberi kekuasaan oleh UUD, ada pula yang di­bentuk dan mendapatkan kekuasaannya dari UU, dan bahkan ada pula yang hanya dibentuk berdasar­kan Ke­pu­tusan Presiden. Hirarki atau ranking kedudukan­nya tentu saja tergantung pada derajat pengaturannya me­nu­rut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Lembaga negara yang diatur dan dibentuk oleh UUD me­rupakan organ konstitusi, sedangkan yang dibentuk ber­dasarkan UU merupakan organ UU, sementara yang hanya dibentuk karena keputusan presiden tentunya lebih rendah lagi tingkatan dan derajat perlakuan hukum ter­ha­dap pejabat yang duduk di dalamnya. Demikian pula jika lembaga dimaksud dibentuk dan diberi kekuasaan ber­da­sarkan Peraturan Daerah, tentu lebih rendah lagi ting­katan­nya.

Dalam setiap pembicaraan mengenai organisasi negara, ada dua unsur pokok yang saling berkaitan, yaitu organ dan functie. Organ adalah bentuk atau wadahnya, sedangkan functie adalah isinya; organ adalah status bentuknya (Inggris: form, Jerman: vorm) , sedangkan functie adalah gerakan wadah itu sesuai maksud pembentukannya. Dalam naskah Un­dang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, organ-organ yang dimaksud, ada yang disebut secara eksplisit namanya, dan ada pula yang disebutkan eksplisit hanya fungsinya. Ada pula lembaga atau organ yang disebut bahwa baik namanya maupun fungsi atau kewenangannya akan diatur dengan peraturan yang lebih rendah.

B. Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD 1945

Berbicara mengenai lembaga-lembaga negara, maka setidaknya dalam UUD 1945 terdapat tidak kurang dari 34 organ yang disebut keberadaannya dalam UUD 1945. Ke-34 organ atau lembaga tersebut antara lain:

  1. Majelis permusyawaratan Rakyat (MPR) diatur dalam Bab III UUD 1945 yang juga diberi judul "Majelis permusyawaratan Rakyat". Bab III ini berisi dua pasal, yaitu Pasal 2 yang terdiri atas tiga ayat, Pasal 3 yang juga terdiri atas tiga ayat;
  2. Presiden yang diatur keberadaannya dalam Bab III UUD 1945, dimulai dari Pasal 4 ayat (1) dalam pengaturan mengenai Kekuasaan Pemerintahan Negara yang berisi 17 pasal;
  3. Wakil Presiden yang keberadaannya juga diatur dalam Pasal 4 yaitu pada ayat (2) UUD 1945. Pasal 4 ayat (2) UUD 1945 itu menegaskan, "Dalam melakukan kewajibannya, Presiden dibantu oleh satu orang Wakil Presiden";
  4. Menteri dan Kementerian Negara yang diatur tersendiri dalam Bab V UUD 1945, yaitu pada Pasal17 ayat(1), (2), dan (3);
  5. Menteri Luar Negeri sebagai menteri triumpirat yang dimaksud oleh Pasal 8 ayat (3) UUD 1945, yaitu bersama-sama dengan Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pertahanan sebagai pelaksana tugas kepresidenan apabila terdapat kekosongan dalam waktu yang bersamaan dalam jabatan Presiden dan Wakil Presiden;
  6. Menteri Dalam Negeri sebagai triumpirat bersama-sama dengan Menteri Luar Negeri dan Menteri Pertahanan menurut Pasal 8 ayat (3) UUD 1945;
  7. Menteri Pertahanan yang bersama-sama dengan Menteri Luar Negeri dan Menteri Dalam Negeri ditentukan sebagai menteri triumpirat menurut Pasal 8 ayat (3) UUD 1945. Ketiganya perlu disebut secara sendiri-sendiri, karena dapat saja terjadi konflik atau sengketa kewenangan konstitusional di antara sesama mereka, atau antara mereka dengan menteri lain atau lembaga negara lainnya;
  8. Dewan Pertimbangan Presiden yang diatur dalam Pasal 16 Bab III tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara yang berbunyi, "Presiden membentuk suatu dewan pertimbangan yang bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden, yang selanjutnya diatur dalam undang-undang";[10]
  9. Duta seperti diatur dalam Pasal 13 ayat (1) dan (2);
  10. Konsul seperti yang diatur dalam Pasal13 ayat (1);
  11. Pemerintahan Daerah Provinsi[11] sebagaimana dimaksud oleh Pasal 18 ayat (2), (3), (5), (6) dan ayat (7) UUD 1945;
  12. Gubemur Kepala Pemerintah Daerah seperti yang diatur dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945;
  13. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, seperti yang diatur dalam Pasal18 ayat 3 UUD 1945;
  14. Pemerintahan Daerah Kabupaten sebagaimana dimaksud oleh Pasal 18 ayat (2), (3), (5), (6) dan ayat (7) UUD 1945;
  15. Bupati Kepala Pemerintah Daerah Kabupaten seperti yang diatur dalam Pasal18 ayat (4) UUD 1945;
  16. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten seperti yang diatur dalam Pasal18 ayat (3) UUD 1945;
  17. Pemerintahan Daerah Kota sebagaimana dimaksud oleh Pasal 18 ayat (2), (3), (5), (6) dan ayat (7) UUD 1945;
  18. Walikota Kepala Pemerintah Daerah Kota seperti yang diatur dalam Pasal18 ayat (4) UUD 1945;
  19. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota seperti yang diatur oleh Pasal 18 ayat (3) UUD 1945;
  20. Satuan Pemerintahan Daerah yang bersifat khusus atau istimewa seperti dimaksud oleh Pasal 18B ayat (1) UUD 1945, diatur dengan undang-undang. Karena kedudukannya yang khusus dan diistimewakan, satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa ini diatur tersendiri oleh UUD 1945. Misalnya, status Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta, Pemerintahan Daerah Otonomi Khusus Nanggroe Aceh Darussalam dan Papua, serta Pemerintahan Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Ketentuan mengenai kekhususan atau keistimewaannya itu diatur dengan undang-undang. Oleh karena itu, pemerintahan daerah yang demikian ini perlu disebut secara tersendiri sebagai lembaga atau organ yang keberadaannya diakui dan dihormati oleh negara.
  21. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang diatur dalam Bab VII UUD 1945 yang berisi Pasal 19 sampai dengan Pasal 22B;
  22. Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang diatur dalam Bab VIIA yang terdiri atas Pasal 22C dan Pasal 220;
  23. Komisi Penyelenggaran Pemilu yang diatur dalam Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 yang menentukan bahwa pemilihan umum harus diselenggarakan oleh suatu komisi yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Nama "Komisi Pemilihan Umum" bukanlah nama yang ditentukan oleh UUD 1945, melainkan oleh Undang-Undang;
  24. Bank sentral yang disebut eksplisit oleh Pasal 230, yaitu "Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggungjawab, dan independensinya diatur dengan undang-undang". Seperti halnya dengan Komisi Pemilihan Umum, UUD 1945 belum menentukan nama bank sentral yang dimaksud. Memang benar, nama bank sentral sekarang adalah Bank Indonesia. Tetapi, nama Bank Indonesia bukan nama yang ditentukan oleh UUD 1945, melainkan oleh undang-undang berdasarkan kenyataan yang diwarisi dari sejarah di masa lalu.
  25. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang diatur tersendiri dalam Bab VIIIA dengan judul "Badan Pemeriksa Keuangan", dan terdiri atas 3 pasal, yaitu Pasal 23E (3 ayat), Pasal 23F (2 ayat), dan Pasal 23G (2 ayat);
  26. Mahkamah Agung (MA) yang keberadaannya diatur dalam Bab IX, Pasal 24 dan Pasal 24A UUD 1945;
  27. Mahkamah Konstitusi (MK) yang juga diatur keberadaannya dalam Bab IX, Pasal 24 dan Pasal 24C UUD 1945;
  28. Komisi Yudisial yang juga diatur dalam Bab IX, Pasal 24B UUD 1945 sebagai auxiliary organ terhadap Mahkamah Agung yang diatur dalam Pasal 24 dan Pasal 24A UUD 1945;
  29. Tentara Nasional Indonesia (TNI) diatur tersendiri dalam UUD 1945, yaitu dalam Bab XII tentang Pertahanan dan Keamanan Negara, pada Pasal 30 UUD 1945;
  30. Angkatan Darat (TNI AD) diatur dalam Pasal 10 UUD 1945;
  31. Angkatan Laut (TNI AL) diatur dalam Pasal 10 UUD 1945;
  32. Angkatan Udara (TNI AU) diatur dalam Pasal 10 UUD 1945;
  33. Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI) yang juga diatur dalam Bab XII Pasal 30 UUD 1945;
  34. Badan-badan lain yang fungsinya terkait dengan kehakiman seperti kejaksaan diatur dalam undang-undang sebagaimana dimaksud oleh Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi, "Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang".[12]

Jika diuraikan lebih rinci lagi, apa yang ditentukan dalam Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 tersebut dapat pula membuka pintu bagi lembaga-lembaga negara lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman yang tidak secara eksplisit disebut dalam UUD 1945. Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 menentukan, "Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang". Artinya, selain Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, serta Komisi Yudisial dan kepolisian negara yang sudah diatur dalam UUD 1945, masih ada badan-badan lainnya yang jumlahnya lebih dari satu yang mempunyai fungsi yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. Badan-badan lain yang dimaksud itu antara lain adalah Kejaksaan Agung yang semula dalam rancangan Perubahan UUD 1945 tercantum sebagai salah satu lembaga yang diusulkan diatur dalam Bab tentang Kekuasaan Kehakiman, tetapi tidak mendapat kesepakatan, sehingga pengaturannya dalam UUD 1945 ditiadakan.

Namun, karena yang disebut dalam Pasal 24 ayat (3) tersebut di atas adalah badan-badan, berarti jumlahnya lebih dari satu. Artinya, selain Kejaksaan Agung, masih ada lagi lembaga lain yang fungsinya juga berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, yaitu yang menjalankan fungsi penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan. Lembaga-lembaga dimaksud misalnya adalah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnasham), Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), dan sebagainya. Lembaga-lembaga ini, seperti halnya Kejaksaan Agung, meskipun tidak secara eksplisit disebut dalam UUD 1945, tetapi sama-sama memiliki constitutional importance dalam sistem konstitusional berdasarkan UUD 1945. Misalnya, mengenai keberadaan Komnas Hak Asasi Manusia. Materi perlindungan konstitusional hak asasi manusia merupakan materi utama setiap konstitusi tertulis di dunia. Untuk melindungi dan mempromosikan hak-hak asasi manusia itu, dengan sengaja negara membentuk satu komisi yang bernama Komnasham (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia). Artinya, keberadaan lembaga negara bernama Komnas Hak Asasi Manusia itu sendiri sangat penting bagi negara demokrasi konstitusional. Karena itu, meskipun pengaturan dan pembentukannya hanya didasarkan atas undang­-undang, tidak ditentukan sendiri dalam UUD, tetapi keberadaannya sebagai lembaga negara mempunyai apa yang disebut sebagai constitutional importance yang sama dengan lembaga-lembaga negara lainnya yang disebutkan eksplisit dalam UUD 1945.

Sama halnya dengan keberadaan Kejaksaan Agung dan kepolisian negara dalam setiap sistem negara demokrasi konstitusional ataupun negara hukum yang demokratis. Keduanya mempunyai derajat kepentingan (importance) yang sama. Namun, dalam UUD 1945, yang ditentukan kewenangannya hanya kepolisian negara yaitu dalam Pasal 30, sedangkan Kejaksaan Agung sama sekali tidak disebut. Hal tidak disebutnya Kejaksaan Agung yang dibandingkan dengan disebutnya Kepolisian dalam UUD 1945, tidak dapat dijadikan alasan untuk menilai bahwa kepolisian negara itu lebih penting daripada Kejaksaan Agung. Kedua-duanya sama-sama penting atau memiliki constitutional importance yang sama. Setiap yang mengaku menganut prinsip demokrasi konstitusional atau negara hukum yang demokratis, haruslah memiliki perangkat kelembagaan kepolisian negara dan kejaksaan sebagai lembaga-lembaga penegak hukum yang efektif.

C. Kedudukan dan Kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) di Indonesia

Apabila dilihat dari pengertian Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah sebuah Lembaga Perwakilan Rakyat di daerah provinsi yang terdiri atas anggota partai politik peserta pemilihan umum (Pemilu) yang dipilih berdasarkan hasil pemilihan umum. DPRD terdiri dari 2 (dua) yaitu DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten yang berkedudukan sebagai Lembaga Pemerintahan Daerah Provinsi, sedangkan DPRD Kabupaten berkedudukan di tingkat kabupaten yang memiliki fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan.

DPRD Provinsi berada di setiap provinsi Indonesia. Anggota DPRD Provinsi berjumlah 35-100 orang. Masa jabatan anggota DPRD adalah 5 tahun, dan berakhir bersamaan pada saat anggota DPRD yang baru mengucapkan sumpah/janji. DPRD Provinsi merupakan mitra kerja gubernur (eksekutif). Sejak diberlakukannya UU Nomor 32 tentang Pemerintahan Daerah, Gubernur tidak lagi bertanggung jawab kepada DPRD Provinsi, karena dipilih langsung oleh rakyat melalui Pilkada.

Adapun tugas dan wewenang DPRD Provinsi adalah:

  1. Membentuk Peraturan Daerah Provinsi yang dibahas dengan Gubernur untuk mendapat persetujuan bersama;
  2. Menetapkan APBD Provinsi bersama dengan Gubernur;
  3. Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Perundang-undangan lainnya, Keputusan Gubernur, APBD Provinsi, kebijakan Pemerintah Daerah dalam melaksanakan program pembangunan daerah, dan kerjasama internasional di daerah;
  4. Mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Gubernur/Wakil Gubernur kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri;
  5. Memberikan pendapat dan pertimbangan kepada Pemerintah Daerah Provinsi terhadap rencana perjanjian internasional yang menyangkut kepentingan daerah;
  6. Meminta Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Gubernur dalam pelaksanaan tugas desentralisasi.

Anggota DPRD memiliki hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat. Anggota DPRD Provinsi juga memiliki hak mengajukan Rancangan Perda Provinsi, mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat, membela diri, hak imunitas, serta hak protokoler.

Menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susduk MPR, DPR, DPD, dan DPRD, dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, DPRD Provinsi berhak meminta pejabat negara tingkat provinsi, pejabat pemerintah daerah, badan hukum, atau warga masyarakat untuk memberikan keterangan. Jika permintaan ini tidak dipatuhi, maka dapat dikenakan panggilan paksa (sesuai dengan peraturan perundang-undangan). Jika panggilan paksa ini tidak dipenuhi tanpa alasan yang sah, yang bersangkutan dapat disandera paling lama 15 hari (sesuai dengan peraturan perundang-undangan).

Perdebatan dalam isu kedudukan dan kewenangan DPRD menyentuh pertanyaan mendasar: apa “jenis kelamin” DPRD ? apakah DPRD didudukan secara tegas sebagai lembaga legislatif sebagaimana dikenal dalam konsep Trias Politica ataukah didudukan sebagai sabagai salah satu unsur pemerintahan daerah? Perdebatan ini kembali mengemuka ketika konsep yang meletakkan

DPRD sebagai badan legislatif dalam UU no. 22 Tahun 1999 dirubah menjadi 5 DPRD sebagai unsur pemerintahan daerah yang digunakan dalam UU no. 32 Tahun 2004.[13]

Dalam Undang-undang no. 22 Tahun 1999, khususnya dalam ketentuan umum, yang secara tegas merumuskan DPRD sebagai Badan Legislatif Daerah. Dan dalam pasal 16 ayat (1) dan (2) dalam undang-undang yang sama disebutkan bahwa:

(1). DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat di Daerah merupakan wahana untuk melaksanakan demokrasi berdasarkan Pancasila.

(2). DPRD sebagai Badan Legislatif Daerah berkedudukan sejajar dan menjadi mitra dari Pemerintah Daerah. Penegasan kedudukan DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat dan Badan Legislatif Daerah dalam UU no. 22 Tahun 1999 diikuti dengan penguatan “kuasa” DPRD dengan memberikan tugas, kewenangan dan hak yang lebih besar pada DPRD. Salah satunya adalah hak DPRD untuk meminta pertanggungjawaban Gubernur, Bupati dan Walikota. Bahkan dalam pasal 2O UU no. 22/1999 diamanatkan bahwa ketika dalam menjalankan haknya untuk meminta

keterangan tidak diindahkan oleh pejabat negara, pejabat pemerintah atau warga masyarakat, maka yang bersangkutan bisa diancam dengan pidana kuruang paling lama satu tahun karena merendahkan martabat dan kehormatan DPRD (contempt of parliament). Penguatan posisi DPRD dalam periode 2000-2004 telah memberikan dampak pada hubungan eksekutif dan legislatif yang lebih setara. Namun, penguatan “kuasa” DPRD yang dilakukan oleh UU no. 22 Tahun 1999, menimbulkan reaksi dari berbagai kalangan, yang menyebutkan UU no. 22 Tahun 1999 melahirkan fenomena “legislative heavy”. Beberapa kasus ketegangan atau konflik antara DPRD dengan Kepala Daerah yang selanjutnya berujung pada impeachment kepala daerah di beberapa daerah, seperti Sampang-Madura, kemudian dijadikan justifikasi untuk menunjukkan bahwa kekuasaan DPRD cenderung berlebihan.[14] Munculnya berbagai reaksi terhadap penguatan “kuasa” DPRD menimbulkan kehendak untuk “mengurangi kuasa” DPRD dengan mempertegas kembali prinsip check and balances dalam hubungan antara DPRD dengan pemerintah daerah. Keinginan kuat mengurangi kuasa DPRD mendorong pemerintah dan DPR merevisi undang-undang no. 22 Tahun 1999 dengan UU no. 32 Tahun 2004.

Di tengah arus kuat kritik atas fenomena DPRD heavy itu berlangsung pula proses amandemen kedua Konstitusi. Amandemen kedua UUD menghasilkan beberapa pasal yang berkaitan dengan DPRD. Dalam pasal 18 ayat (3), disebutkan; “Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum” Pasal 18 ayat ayat (6) “Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan” serta pasal 18 ayat (7) yang berbunyi “Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang”. Tentu akan muncul pertanyaan atas rumusan amandemen kedua itu; Apakah kalimat “Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten dan kota memiliki DPRD” bisa diartikan sebagai upaya menegaskan DPRD sebagai salah satu unsur pemerintahan daerah? Paradigma DPRD sebagai bagian pemerintahan daerah nampak dalam UU no. 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD. Walaupun dalam pasal 1 butir 4 yang dimaksud DPRD dalam UU no. 22 Tahun 2003 adalah “Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.[15] Namun dalam pasal 60 dan 76 dalam UU no. 22 Tahun 2003 disebutkan bahwa DPRD Provinsi dan Kabupaten atau Kota merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah yang berkedudukan sebagai lembaga pemerintahan daerah. Sementara dalam bagian penjelasn disampaikan bahwa : “Yang dimaksud dengan lembaga pemerintahan daerah adalah pemerintah daerah dan DPRD yang berada di tingkat Provinsi dan Kota/ Daerah. Sedangkan pemerintah daerah terdiri atas kepala daerah beserta perangkat daerah”.

Dalam undang-undang no. 32 Tahun 2004, DPRD kembali dirumuskan ulang dari kedudukan sebagai Badan Legislatif Daerah menjadi sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Hal itu juga ditegaskan kembali dalam pasal 40, UU no. 32 Tahun 2004. Pergeseran kedudukan DPRD dari Badan Legislatif Daerah ke sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah tentu di dasarkan atas beberapa perspektif dominan yang dianut oleh para perumus undang-undang no. 32/2004: pertama, bagi perumus undang-undang 32/2004, dalam sistem negara kesatuan (unitarian state) tidak dikenal badan legislatif di tingkat daerah. Badan legsilatif hanya berada di level nasional (pusat). Oleh karena itu, dalam cara berpikir UU 32/2004, DPRD bukan lembaga legislatif.[16]

Kedua, karena DPRD bukan lembaga legislatif daerah maka DPRD harus didudukan sebagai salah satu unsur pemerintahan daerah bersama-sama pemerintah daerah. Dengan demikian, DPRD berada dalam ranah yang sama dengan pemerintah daerah dalam struktur hubungan dengan pemerintah pusat. Atau dengan kalimat yang lebih ringkas DPRD berada dalam rejim pemerintahan daerah.

Perbedaan Definisi dan Kedudukan,

Antara UU no. 22/1999, UU no. 22/2003 dan UU no. 32 Tahun 2004


UU no. 22/1999

UU no. 22/2003

UU no. 32/2004

Definisi

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, selanjutnya disebut DPRD, adalah Badan Legislatif Daerah (ps.1)

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disebut DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur pemerintahan daerah (ps.1)

Kedudukan

(1). DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat di Daerah meruapakan wahana untuk melaksanakan demokrasi berdasarkan Pancasila.

(2). DPRD sebagai Badan Legislatif Daerah berkedudukan sejajar dan menjadi mitra dari Pemerintah Daerah. (ps. 16)

DPRD merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah yang berkedudukan sebagai lembaga pemerintahan daerah (ps.60 dan 76)

DPRD merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah dan berkedudukan sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah. (ps.40)

Implikasi dari rumusan kedudukan DPRD sebagai unsur pemerintahan daerah terkait juga, antara lain:

Pertama, karena rumusan itu lebih menekankan DPRD sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan, dibandingkan dengan lembaga perwakilan rakyat maka DPRD lebih kuat dilihat dalam perspektif governance bukan perspektif politik. Sehingga, DPRD sebagai lembaga perwakilan politik yang seharusnya wahana bagi masyarakat untuk terlibat (engage) dalam proses politik pemerintahan, seperti menjalankan fungsi-fungsi artikulasi dan agregasi menjadi tereduksi.

Kedua, secara psiko-politis, kedudukan sebagai unsur pemerintahan daerah, membuat posisi DPRD tidak tegas dihadapan pemerintah daerah, sehingga mekanisme check and balances tidak bisa berjalan dengan baik. Ketiga, selain membuat lemah dihadapan kepala daerah, DPRD juga “lemah” dihadapan pemerintah pusat. Kedudukan sebagai unsur pemerintahan daerah, membuat DPRD berada dalam struktur hierrakis rejim pemerintahan daerah yang dipimpin oleh Presiden. Akibat bekerjanya struktur hierrakis ini, DPRD tidak bisa melepaskan diri dari berbagai proses politik dan produk hukum yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat, dalam hal ini Menteri Dalam Negeri (Mendagri). [17]

Perbedaan Fungsi, Tugas dan Kewenangan serta Hak-hak DPRD

Antara UU no. 22/1999 dengan UU no. 32 Tahun 2004


UU no. 22 Tahun 1999

UU no. 32 Tahun 2004

Fungsi

Tidak disebutkan

DPRD memiliki fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan

Tugas dan

Kewenangan

(1). Memilih kepala daerah/ wakil kepala daerah;

(2). Memilih anggota MPR dari Utusan Daerah;

(3). Mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah/ wakil kepala daerah;

(4). Bersama dengan kepala daerah membentuk Peraturan Daerah;

(5). Bersama dengan kepala daerah menetapkan APBD

(6). Melaksanakan pengawasan;

(7). Memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah terhadap rencana perjanjian internasional yang menyangkut kepentingan daerah;

(8). Menampung dan menindaklanjuti aspirasi Daerah dan masyarakat. (ps. 18)

(1). Membentuk Perda yang dibahas dengan kepala daerah untuk mendapat persetujuan bersama;

(2). Membahas dan menyetujui rancangan Perda tentang APBD bersama dengan kepala daerah;

(3). Melaksanakan pengawasan;

(4). Mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah/wakil kepala daerah;

(5). Memilih wakil kepala daerah dalam hal terjadi kekosoangan jabatan wakil kepala daerah;

(6). Memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah daerah terhadap rencana perjanjian internasional di daerah;

(7). Memberikan pesertujuan terhadap rencana kerjasama internasional yang dilakukan pemerintah daerah;

(8). Meminta laporan keterangan pertanggungjawaban kepala daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah;

(9). Membentuk panitia pengawas pemilihan kepala daerah;

(10). Memberikan persetujuan terhadap rencana kerjasama antar daerah dan dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat dan daerah.

Hak-hak DPRD

DPRD mempunyai hak:

(1). Meminta pertanggungjawaban kepala daerah;

(2). Meminta keterangan kepada Pemerintah daerah;

(3). Mengadakan penyelidikan;

(4). Mengadakan perubahan atas Rancangan Perda;

(5). Mengajukan pernyataan pendapat;

(6). Mengajukan Rancangan Peraturan Daerah;

(7). Menentukkan APBD;

(8). Menetapkan Peraturan Tata Tertib DPRD. (ps. 19) Dalam pasal 20 ayat (1) dan (2) disebutkan bahwa dalam melaksanakan tugasnya berhak meminta pejabat negara, pejabat pemerintaha, atau warga masyarakat untuk memberikan keterangan. Apabila mereka menolak permintaan DPRD diancam dengan pidana kurungan paling lama satu tahin karena

merendahkan martabat.

DPRD mempunyai hak: interpelasi, angket dan menyatakan pendapat. Dalam pasal 43 ayat (5) dan (6) disebutkan kewajiban bagi setiap orang yang dipanggil, didengar dan dipaksa oleh panitia angket.

Apabila tidak memenuhi panggilan maka panitia angket dapat memanggil secara paksa dengan bantuan Kepolisian.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari berbagai permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh DPRD seperti yang telah dipaparkan diatas, baik sebagai akibat pergeseran posisi dewan dalam konteks otonomi daerah maupun problematika dalam menjalankan fungsi-fungsi yang diembannya, serta dari beberapa agenda penguatan kapasitas anggota dan lembaga legislatif yang ditawarkan tersebut, dapat disimpulkan bahwa setidaknya ada tiga upaya yang dapat dilakukan dalam rangka peningkatan penguatan DPRD. Ketiga upaya penguatan DPRD tersebut akan meliputi 3 hal:

Pertama, memperjelas dan memperkuat kedudukan DPRD sebagai badan legislatif.

Kedua, memperkuat kewenangan DPRD.

Ketiga adalah memperkuat kapasitas DPRD dala menjalankan fungsi dalam konteks dan tantangan kontemporer; dan peningkatan kapasitas mengkomunikasikan kepada masyarakat berbagai hal yang berkaitan dengan pelaksanaan fungsi DPRD secara cerda serta peningkatan pemahaman konteks yuridis dalam menjalankan fungsi DPRD

B. Saran

Dari peta problematika kewenangan yang telah digambarkan di atas, ada beberapa agenda reform yang perlu diusulkan ke depan, baik yang berkaitan dengan kerangka RUU Pilkada, RUU Susduk maupun revisi UU no. 32 Tahun 2004. Agenda reform itu antara lain:

Pertama, dalam revisi UU no. 32 Tahun 2004, terutama di bagian ketentuan umum, DPRD perlu ditempatkan kembali sebagai “lembaga perwakilan rakyat daerah yang berkedudukan sebagai badan legislatif daerah dan wahana melaksanakan demokrasi” . Hal ini penting untuk dikedepankan karena DPRD memiliki karakteristik yang sama dengan lembaga-lembaga perwakilan politik pada umumnya:

1) Kehadiran DPRD merupaka bagian dari aktualisasi prinsip kedaulatan rakyat (demokrasi). Prinsip kedaulatan rakyat menghendaki pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat.

2) Demokrasi juga menghendaki pembagian, pemencaran dan perimbangan kekuasaan antar lembaga-lembaga pemerintahan yang selanjutnya dikenal dengan prinsip trias politica. Dalam Trias politica, kekuasaan dibagi secara jelas ke dalam kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Ketiganya berada dalam hubungan kekuasaan yang seimbang dan saling kontrol (check and balances).

3) DPRD bukan semata-mata sebagai salah satu unsur penyelenggara pemerintahan daerah, melainkan lembaga perwakilan politik yang dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum. Susunan keanggotaan DPRD terdiri dari anggota partai politik peserta pemilu yang dipilih berdasarkan hasil pemilihan umum.

4) Sebagai lembaga perwakilan politik, maka lembaga ini adalah wahana (saluran) politik bagi rakyat untuk terlibat (enggage), secara tidak langsung dalam penyelenggaraan pemerintahan. Keterlibatan rakyat ini dilakukan melalui empat fungsi utama yang dimiliki DPRD; fungsi perwakilan politik (artikulasi dan agregasi kepentingan), fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan. Keempat fungsi itu dijalankan untuk membangun prinsip demokrasi perwakilan dan perimbangan kekuasaan. Sebagai lembaga perwakilan politik, perbedaan antara DPR dan DPRD hanyalah menyangkut ruang lingkup kewenangannya. Ruang lingkup kewenangan DPRD adalah kewenangan sebagai lembagai lembaga legislatif dalam mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan di daerahnya masing-masing sesuai dengan asas otonomi luas dan tugas pembantuan, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukkan sebagai urusan pemerintah pusat. Sebagai lembaga legislatif, DPRD bersama-sama kepala daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.7

Kedua, karena berkedudukan sebagai lembaga perwakilan rakyat dan menjalankan fungsi sebagai badan Legislatif maka pengaturan tentang DPRD harus diatur dalam Undang-undang, bukan dalam bentuk peraturan yang berada di bawah “domain” Pemerintah pusat seperti; Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri atau bahkan Surat Edaran Menteri. Pengaturan lebih lanjut bisa dijabarkan dalam Peraturan Daerah dan Peraturan Tata Tertib DPRD.

Ketiga, dalam revisi undang-undang no. 32 Tahun 2004 perlu kembali mempertegas bahwa sebagai lembaga perwakilan rakyat, DPRD berkedudukan sejajar dan menjadi mitra dari pemerintah Daerah. Penegasan kata “sejajar” ini sangat penting untuk memperlihatkan bahwa dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah kedudukan DPRD bukan dibawah (sub ordinat) kepala daerah ataupun sebaliknya. Dalam kedudukan yang setara inilah maka akan bisa terwujud prinsip saling kontrol dan perimbangan kekuasaan (check and balances) dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Mekanisme check and balances memberikan peluang kepada kedua lembaga, legislatif dan eksekutif daerah, untuk saling mengontrol dan mengimbangi. Dengan demikian, baik DPRD maupun Kepala Daerah memiliki posisi politik yang sama-sama kokoh.

Keempat, penguatan kewenangan DPRD harus diarahkan untuk mempertegas pinsip kedaulatan rakyat (demokrasi) serta asas-asa desentralisasi dan otonomi luas Oleh karena itu, dalam menegakkan prinsip demoklrasi, dalam menjalankan fungsinya sebagai badan legislatif daerah, produk-produk legislasi yang dikeluarkan DPRD untuk melaksankan otonomi dan tugas pembantuan seperti Peraturan Daerah, seharusnya tidak bisa dievaluasi dan dibatalkan oleh Pemerintah Pusat, dalam hal ini Mendagri. Kewenangan untuk melakukan evaluasi, review dan pembatalan seharusnya diletakkan pada institusi pemerintahan ketiga yakni lembaga Yudikatif. Dengan demikian, apabila ada Peraturan Daerah yang dianggap bertentangan dengan kepentingan umum dan atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi maka warga negara ataupun Pemerintah Pusat dapat mengajukan permohonan pengujian materi Perda (judicial review) kepada Mahkamah Agung. Selanjutnya, Mahkmah Agung bisa membatalkan Peraturan Daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum dan atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Pemberian kewenangan pada Mahkamah Agung untuk melakukan review, eavalusi dan pembatalan Peraturan Daerah akan bisa menghindari konflik kepentingan atau penyalahgunaan kekuasaan yang mungkin dilakukan oleh Pemerintah Pusat. Pemerintah Pusat tidak bisa secara sewenang-wenang membatalkan sebuah produk hukum yang lahir dari proses demokrasi di daerah. Selain itu, pemberian kewenangan ke Mahkamah Agung juga akan memperjelas wilayah pembagian kekuasaan, dimana produk hukum yang dihasilkan oleh lembaga perwakilan rakyat tidak bisa begitusaja dievaluasi dan dibatalkan oleh lembaga eksekutif (Pemerintah Pusat). Produk lembaga perwakilan politik hanya bisa direview oleh lembaga penjaga konstitusi yakni Mahkamah Agung.

Kelima, untuk memperkuat mekanisme check and balances antar lembaga pemerintahan di daerah, maka kewenangan DPRD dalam menjalankan fungsi legislasi dan anggaran diimbangi dengan kewenangan kepala daerah untuk menggunakan hak veto ketika muncul rancangan Perda yang merupakan bagian dari usul inisiatif DPRD. Namun penggunaan hak veto oleh kepala daerah bisa dikesampingkan apabila veto kepala daerah ditolak oleh dua pertiga suara di DPRD. Apabila veto kepala daerah ditolak oleh dua pertiga suara maka rancangan Perda Inisiatif tetap dibahas oleh DPRD dengan Kepala daerah.

Keenam, untuk memperkuat kewenangan DPRD dalam menjalankan fungsi pengawasan maka dalam RUU Pilkada perlu dicantumkan larangan perangkap jabatan antara kepala daerah/ wakil kepala terpilih dengan jabatan struktural di Partai Politik. Hal ini penting karena dalam berbagai praktek politik menunjukkan bahwa fungsi pengawasan DPRD menjadi “mandul” karena kepala daerah yang seharusnya diawasi oleh DPRD adalah elite partai politik yang memiliki kursi mayoritas atau akses kuat di DPRD. Hal ini ditegaskan dalam beberapa pengalaman empirik yang memperlihatkan bahwa Kepala daerah akan cenderung berkendak untuk membuat fungsi pengawasan DPRD tidak terlampau kuat pada pemerintah daerah. Salah satu caranya adalah mengkontrol secara politik maupun finansial anggota DPRD. Hal ini juga berkaitan dengan popularitas partai politik yang memiliki kader di pemerintah daerah.

Ketujuh, penguatan kewenangan DPRD dalam menjalankan fungsinya bisa menjadi “bumerang” kalau tidak diikuti oleh penataan dan pembaharuan yang mendasar dalam tiga hal; (1). Membuka ruang publik yang lebih luas untuk terlibat dalam kerja-kerja DPRD. Salah satu yang paling penting adalah diterapkannya prinsip transparansi, partisipasi dan akubntabilitas di DPRD. Dalam aktualisasi prinsip tranparansi, DPRD seharusnya merupakan lembaga publik yang terbuka, sehingga masyarakat bisa mengetahui apa yang tengah berlangsung di DPRD.Selain tranparan, DPRD juga membuka ruang partisipasi pada publik, sehingga publik bisa terlibat dalam mendukung fungsi DPRD. Dan terakhir, DPRD perlu menerapkan prinsip akuntabilitas, baik dilakukan secara kelembagaan maupun individual. (2). Pembaharuan juga harus dilakukan dalam sistem koalisi politik di DPRD, sehingga dalam menjalankan kerja-kerja politik, fraksi-fraksi lebih di dasarkan koalisi yang programatis dan permanen, bukan koalisi politik pragmatis. (3). Pembaharuan partai politik. Sehingga partai politik bisa melakukan kontrol yang efektif dan kualitatif pada kader-kadernya di DPRD.

DAFTAR PUSTAKA

Asshiddiqie, Jimly. Hubungan Lembaga Negara Pasca Perubahan UUD 1945, Makalah ceramah pada Pendidikan dan Latihan Kepemimpinan (Diklatpim) Tingkat I Angkatan XVII Lembaga Administrasi Negara, (Jakarta, 30 Oktober 2008).

-------------------------. Masa Depan Hukum Di Era Teknologi Informasi: Kebutuhan Untuk Komputerisasi Sistem Informasi Administrasi Kenegaraan Dan Pemerintahan. Disampaikan pada Program Pendidikan Lanjutan Hukum Teknologi Informasi dan Telekomunikasi. Lembaga Pendidikan Lanjutan Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Senin, 1 Mei 2000.

-------------------------. Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat UUD Tahun 1945. Makalah Disampaikan dalam Simposium yang dilakukan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan HAM, 2003.

Andrews, William G. Constitutions and Consti­tu­tio­nalism, 3rd edition, (New Jersey: Van Nostrand Company, 1968).

Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992.

Kelsen, Hans. General Theory of Law and State. New York: Russell & Russell, 1961.

Kusnardi, Moh. dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, cet.7, (Depok: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1988).

Kusuma, RM.A.B. Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004.

Lay, Cornelis. Potensi Konflik antara DPRD dan Birokrasi di Daerah” dalam “Jalan terjal Reformasi Lokal, Program PLOD UGM, 2003.

Prodjodikoro, Wirjono. Asas-Asas Hukum Tata Negara di Indonesia. cet. Keenam. Jakarta: Dian Rakyat, 1989.

Siti Zuhro, pokok-pokok Pikiran tentang DPRD dan Hubungannya dengan Kepala daerah dan Masyarakat, DRSP, 28 Februari 2008.

Soehino, Perkembangan Pemerintahan di Daerah, Liberty, 1988.

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 2005).

Taufiqurrahman, Mohhammad. “Undang-Undang Pemilu yang baru suatu Perbandingan,” (Skripsi Program Reguler Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, 1985).


[1] Jimly Asshiddiqie, Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat UUD Tahun 1945, Makalah Disampaikan dalam Simposium yang dilakukan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan HAM, 2003, hal. 1.

[2] William G. Andrews, Constitutions and Consti­tu­tio­nalism, 3rd edition, (New Jersey: Van Nostrand Company, 1968), hal. 13.

[3] Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H, Hubungan Lembaga Negara Pasca Perubahan UUD 1945, Makalah ceramah pada Pendidikan dan Latihan Kepemimpinan (Diklatpim) Tingkat I Angkatan XVII Lembaga Administrasi Negara, (Jakarta, 30 Oktober 2008), hal. 2.

[4] Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, cet.7, (Depok: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1988), hal.330.

[5] Mohhammad Taufiqurrahman, “Undang-Undang Pemilu yang baru suatu Perbandingan,” (Skripsi Program Reguler Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, 1985), hal 1.

[6] Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 2005), hal. 32.

[7] Hans Kelsen, General Theory of Law and State, (New York: Russell & Russell, 1961), hal.192.

[8] Ibid.

[9] Pejabat yang biasa dikenal sebagai pejabat umum misalnya ada­lah notaris dan pejabat pembuat akta tanah (PPAT). Se­ring­kali orang beranggapan seakan-akan hanya notaris dan PPAT yang merupakan pejabat umum. Padahal, semua pe­jabat publik adalah pejabat umum. Karena yang dimak­sud dalam kata jabatan umum itu tidak lain adalah ‘jabatan publik’ (public office), bukan dalam arti general office.

[10] Sebelum Perubahan Keempat tahun 2002, ketentuan Pasal 16 ini berisi 2 ayat, dan ditempatkan dalam Bab IV dengan judul "Dewan Pertimbangan Agung", Artinya, Dewan Pertimbangan Agung bukan bagian dari "Kekuasaan Pemerintahan Negara", melainkan sebagai lembaga tinggi negara yang berdiri sendiri.

[11] Di setiap tingkatan pemerintahan previnsi, kabupaten, dan keta, dapat dibedakan adanya tiga subyek hukum, yaitu (i) Pemerintahan Daerah; (ii) Kepala Pemerintah Daerah; dan (iii) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Jika disebut "Pemerintahan" maka yang dilihat adalah subjek pemerintahan daerah sebagai satu kesatuan. Kepala eksekutif disebut sebagai Kepala Pemerintah Daerah, bukan "kepala pemerintahan daerah". Sedangkan badan legislatif daerah dinamakan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

[12] Dalam rancangan perubahan UUD, semula tercantum pengaturan mengenai Kejaksaan Agung. Akan tetapi, karena tidak mendapatkan kesepakatan, maka sebagai gantinya disepakatilah rumusan Pasal 24 ayat (3) tersebut. Karena itu, perkataan "badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman" dalam ketentuan tersebut dapat ditafsirkan salah satunya adalah Kejaksaan Agung. Di samping itu, sesuai dengan amanat UU, Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau KPK juga dapat disebut sebagai contoh lain mengenai badan-badan yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman.

[13] Penegasan kedudukan DPRD sebagai Badan legislatif Daerah dalam Undang-undang no. 22 Tahun 1999 boleh dikatakan mengenalkan perubahan yang radikal karena dilihat dari dinamika historis posisi DPRD dalam sistem ketata negaraan di Indonesia selalu ditempatkan sebagai bagian dari pemerintah daerah. Pada awal kemerdekaan sejalan dengan perubahan sistem pemerintahan ke arah sistem parlementer maka dalam UU no. 1 Tahun 1945 ditegaskan kedudukan Komite Nasional Daerah sebagai Badan Perwakilan Rakyat Daerah, yang bersama-sama dengan dan dipimpin oleh Kepala Daerah menjalankan pekerjaan mengatur rumah tangga daerahnya. Prinsip ini dilanjutkan dalam UU no. 22 Tahun 1948, dianut sistem pemerintahan kolegial, dimana pemerintah daerah terdiri dari DPRD dan Dewan Pemerintah Daerah. Pada pasal 23 disebutkan bahwa DPRD mengatur urusan rumah tangga daerahnya. Selanjutnya dalam UU no. 18 Tahun 1965, melanjutkan UU no. 22/1948 dimana DPRD adalah unsur pemerintah daerah bersama-sama kepala daerah. Konsep DPRD sebagai unsur pemerintah daerah juga diadopsi dalam UU no. 5 Tahun 1974. Lebih jauh lihat, Soehino, Perkembangan Pemerintahan di Daerah, Liberty, 1988.

[14] Dalam beberapa analisis ketegangan antara DPRD dengan eksekutif bukan semata-mata disumbangkan oleh “kerangka penguatan DPRD oleh UU no. 22/ 1999 melainkan oleh beberapa faktor: pertama, ketegangan antara DPRD dengan ekskutif merupakan resultante dari perbedan elementer dan karakter budaya antara partai politik dengan birokrasi. Kedua, adanya kewenangan Kepala Daerah untuk mengeluarkan Beschikking (keputusan), sehingga dalam banyak kasus, materi keputusan bertentangan dengan aspirasi politik di DPRD. Ketiga, politisasi birokrasi yang berlangsung secara intentsif selama Orde Baru. Lebih jauh lihat Cornelis Lay, Potensi Konflik antara DPRD dan Birokrasi di Daerah” dalam “Jalan terjal Reformasi Lokal, Program PLOD UGM, 2003.

[15] Rumusan UU no. 22 Tahun 2003 berbeda dengan rumusan UU no.4 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa; “ Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disebut DPRD adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat I dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat II yang selanjutnya disesebut DPRD dan DPRD II”. Berbeda dengan UU No. 22 Tahun 2003, dalam UU no. 4 Tahun 1999 tidak secara jelas disebutkan soal kedudukan DPRD.

[16] Perpsektif ini sangat kuat diadopsi oleh tim pakar yang dibentuk Departemen Dalam Negeri untuk revisi UU no. 32/2004. Dalam diskusi-diskusi yang dilakukan muncul pendapat dominan yang menempatkan DPRD sebagai unsur dan bukan legislatif daerah. Argumen yang digunakan adalah: pertama keberadaan Indonesia sebagai Uniatrain State tidak mensyaratkan adanya legislatif daerah. Kedua, pemencaran kewenangan adalah milik eksekutif (Presiden). Oleh karena itu baik legislatif maupun Yudikatif tidak diturunkan ke daerah. Sebagai kosekuensinya tidak ada istilah legislatif daerah. Sehingga, DPRD tidak mewakili karakter state yang memiliki kedaulatan. Meskipun DPRD bisa membuat peraturan Daerah, ini tidak sama dengan Undang-undang. Karena perda adalah turunan dari kebijakan pusat. Lebih jauh tulisan Siti Zuhro, pokok-pokok Pikiran tentang DPRD dan Hubungannya dengan Kepala daerah dan Masyarakat, DRSP, 28 Februari 2008.

[17] Hal ini menimbulkan fenomena maraknya kunjungan kerja dan program konsultasi DPRD ke Departemen Dalam Negeri di Jakarta.

0 komentar: