Minggu, 20 Desember 2009

Perbandingan Lembaga Perwakilan Rakyat di Beberapa Negara

  1. Lahirnya Lembaga Perwakilan Rakyat

Pada awalnya, gagasan mengenai perlunya ada suatu Lembaga Perwakilan Rakyat, adalah ketika John Locke (1632-1704) menerbitkan Second Treatise of Government (1690) yang menyadari pelaksanaan hak asasi seseorang mungkin akan dapat menyebabkan perbenturan terhadap hak asasi orang lainnya, bahkan mungkin melanggarnya. Untuk mencegah ini, anggota masyarakat perlu bergabung bersama dan membuat perjanjian masyarakat (du contrat social). Kemudian, Jean Jaques Rousseau (1712-1778) juga berbicara tentang Du contrat social dan akhirnya dilanjutkan dengan gagasan Montesquieu yang paling popular dengan sebutan prinsip pemisahan kekuasaan (separtation of power). Menurutnya, kekuasaan negara haruslah dipisah-pisahkan ke dalam fungsi-fungsi legislatif, eksekutif dan judikatif. Fungsi legislatif biasanya dikaitkan dengan peran lembaga parlemen atau ‘legislature’, fungsi eksekutif dikaitkan dengan peran pemerintah dan fungsi judikatif dengan lembaga peradilan.

Tetapi dalam praktek, teori Montesquieu ini oleh sebagian sarjana dianggap terlalu idealis. Hal ini dikarenakan, pada kenyataannya, sampai saat ini didunia, tidak ada atau belum ada satu negarapun yang dengan tegas melakukan system pemisahan kekuasaan ini secara tegas sebagaimana yang dicita-citaka oleh Montesqueiu tersebut. Karena, misalnya kita ambil contoh, di Indonesia sendiri saja kekuasaan legislative tidak murni dipegang dan dimiliki oleh Dewan Perwakilan Rakyat semata yang secara tersurat dalam UUD 1945 memiliki fungsi legislative. Namun, wewenang ini juga dimiliki oleh Presiden, yang notabene memegang peran pemerintahan dan menjalankan Undang-Undang yang dibuat oleh legislative. Oleh para sarjana, negara yang dianggap paling mendekati ide Montesquieu itu hanya Amerika Serikat yang memisahkan fungsi-fungsi legislatif, eksekutif dan judikatif secara ketat dengan diimbangi mekanisme hubungan yang saling mengendalikan secara seimbang Jika dikaitkan dengan prinsip demokrasi atau gagasan kedaulatan rakyat, maka dalam konsep pemisahan tersebut dikembangkan pandangan bahwa kedaulatan yang ada di tangan rakyat dibagi-bagi dan dipisah-pisahkan ke dalam ketiga cabang kekuasaan negara itu secara bersamaan. Agar ketiga cabang kekuasaan itu dijamin tetap berada dalam keadaan seimbang, diatur pula mekanisme hubungan yang saling mengendalikan satu sama lain yang biasa disebut dengan prinsip ‘checks and balances’.

Oleh karena itu, di masa reformasi ini, berkembang aspirasi untuk lebih membatasi kekuasaan Presiden dengan menerapkan prinsip pemisahan kekuasaan yang tegas antara fungsi legislatif dan eksekutif itu. Fungsi legislatif dikaitkan dengan fungsi parlemen, sedangkan Presiden hanya memiliki fungsi eksekutif saja. Pokok pikiran demikian inilah yang mempengaruhi jalan pikiran para anggota MPR, sehingga diadakan Perubahan Pertama UUD 1945 yang mempertegas kekuasaan DPR di bidang legislatif dengan mengubah rumusan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) UUD 1945. Dengan adanya perubahan itu, berarti fungsi-fungsi legislatif, eksekutif, dan judikatif telah dipisahkan secara tegas, sehingga UUD 1945 tidak dapat lagi dikatakan tidak menganut ajaran pemisahan kekuasaan dalam arti horizontal.

Jadi, dapat dilihat bahwa peranan parlemen di Indonesia saat ini sudah mempunyai suatu arah yang pasti dan tugas juga wewenangnya dalam bidang legislative juga sudah dijamin oleh konstitusi. Meskipun pada kenyataannya presiden tetap mempunyai fungsi eksekutif. Sebaliknya, di Perancis sendiri, yang merupakan salah satu Negara paling demokratis di dunia, malahan sampai saat ini masih terus ditemui kondisi dimana presiden memiliki pula kekuasaan eksekutif yang malahan melebihi parlemen. Fenomena ini mungkin akan terus ada dan tidak akan pernah hilang, karena selalu adanya adagium bahwa pada dasarnya presiden dianggap dan menganggap bahwa ia (pemerintahan) jauh lebih mengetahui apa saja yang diperlukan agar pemerintahan dapat berjalan lancar, karena eksekutif sendirilah pelaksana dari pemerintahan itu sendiri.

Dari uraian diatas, adalah menarik untuk mengkaji lebih jauh bentuk parlemen manakah yang lebih baik, dalam artian parlemen tetap menjalankan fungsi membuat Undang-undangnya (legislative) sebagaimana mestinya, namun parlemen tetap dapat ‘membaca’ apa yang dibutuhkan oleh rakyat secara umumnya dan pemerintahan secara khususnya. Untuk lebih memudahkan, dalam tulisan ini, akan menggunakan pendekatan melalui perbandingan Lembaga Perwakilan Rakyat di tiga Negara, yaitu Amerika Serikat, Perancis, dan Indonesia. Tiga Negara tersebut dipilih karena;

Selain itu, dalam perbandingan juga akan membahas jumlah anggota parlemen di masing-masing Negara tersebut, cara pengangkatan dan pemilihannya, sejarah parlemen di Negara tersebut dibentuk.

  1. Parlemen di Indonesia

Sebagai negara yang berfalsafahkan demokrasi, sudah menjadi keharusan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia memerlukan lembaga perwakilan yang dapat menjadi wakil dari rakyat selaku pemegang kekuasaan tertinggi negara kita. Adapun lembaga perwakilan rakyat yang dimiliki oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat. Dalam majelis inilah para wakil rakyat berkumpul untuk menyuarakan pendapat dan keluhan masyarakat Indonesia dari berbagai pelosok tanah air yang mereka wakilkan.

Majelis Permusyawaratan Rakyat sendiri pertama kali diusulkan oleh Mr. Muhammad Yamin dalam sidang BPUPKI pada tanggal 11 Juli 1945. Ketika itu Mr. Muhammad Yamin mengusulkan selain terdapat presiden dan perangkat-perangkatnya sebagai lembaga eksekutif dalam sistem ketatanegaraan Indonesia seharusnya terdapat pula Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk seluruh rakyat Indonesia yang menjadi kekuasaan setinggi-tingginya sebagai lembaga legislatif. Di dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat, tidak hanya diduduki oleh wakil dari daerah-daerah kan tetapi juga wakil dari golongan-golongan sehingga mencakup seluruh lapisan masyarakat Indonesia.

Majelis Permusyawaratan yang diusulkan oleh Mr. Muhammad Yamin tersebut terdiri dari beberapa unsur. Unsur-unsur tersebut antara lain :

- Anggota Dewan Perwakilan Rakyat

- Utusan Daerah

- Utusan Golongan

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat adalah salah satu unsur Majelis Permusyawaratan rakyat yang dipilih melalui partai politik. Banyaknya jumlah wakil rakyat yang mendapat kursi di DPR dari suatu partai politik, tergantung dari besarnya suara yang diperoleh oleh partai politik tersebut selama pemilihan umum. Semakin banyak suara yang diperoleh oleh suatu partai politik dalam pemilihan umum maka jumlah kursi yang diperoleh akan lebih banyak pula. Setiap anggota DPR akan otomatis menduduki jabatan sebagai anggota MPR.

Utusan daerah adalah utusan yang ditunjuk oleh pemerintah daerah untuk duduk di MPR. Utusan daerah ini berfungsi untuk menyuarakan daerahnya dalam forum-forum MPR sehingga permasalahan-permasalahan daerah dapat disampaikan kepada forum. Sedangkan utusan golongan adalah utusan yang dikirimkan oleh golongan-golongan seperti angkatan bersenjata dan kepolisian untuk bersama-sama ikut duduk dalam MPR dan memberikan masukan-masukan mewakili golongannya.

Dalam perkembangannya, Lembaga Perwakilan Rakyat Indonesia banyak mengalami perubahan karena latar belakang historis. Perubahan yang paling aktual adalah perubahan sistem Lembaga Perwakilan Rakyat karena amandemen UUD 1945 sebanyak empat kali. Amandemen UUD 1945 menyebabkan perubahan yang cukup signifikan. MPR tidak lagi terdiri dari anggota DPR, utusan daerah dan utusaan golongan, melainkan terdiri dari anggota DPR dan anggota DPD. DPD terbentuk karena adanya tuntutan otonomi daerah di sebagaian besar wilayah di Indonesia shingg DPD berfungsi sebagai wakil daerah dalam MPR. Pembentukan DPD juga menyebabkan bergesernya sistem parlemen di MPR yang semula berbasis unikameral menjadi bikameral. Agar lebih jelas lagi maka berikutnya akan dibahas secara rinci mengenai MPR saat ini yang terdiri dari anggota DPR dan DPD sebagai hasil dari amandemen UUD 1945.

  1. Majelis Permusyawaratan Rakyat

Seperti telah diutarakan di atas, setelah amandemen anggota MPR tidak lagi terdiri dari anggota DPR, utusan daerah dan utusan golongan. Akan tetapi berubah menjadi sistem bikameral yaitu terdiri dari DPR dan DPD yang dipilih melalui pemilihan umum. Ketua MPR dipilih oleh anggota MPR dalam sebuah sidang paripurna. Selama ketua MPR belum ditunjuk, maka ketua DPR ditunjuk menjadi ketua sementara MPR dan ketua DPD menjadi wakil ketua MPR. Setelah ketua MPR terpilih maka selanjutnya akan ditunjuk wakil ketua MPR yang terdiri dari tiga orang dan mencerminkan unsur DPR dan DPD dalam sebuah sidang paripurna pula. Ketua MPR memiliki tugas :

a. Memimpin sidang dan menyimpulkan hasil sidang untuk diambil keputusan.

b. Menyusun rencana kerja dan mengadakan pembagian kerja antara ketua dan wakil ketua

c. Menjadi juru bicara MPR

d. Melaksanakan dan memasyarakatkan putusan MPR

e. Mengadakan konsultasi dengan presiden dan pimpinan lembaga negara lainnya sesuai dengan putusan MPR.

f. Mewakili MPR dan atau alat kelengkapan MPR di pengadilan

g. Melaksanakan putusan MPR berkenaan dengan penetapan sanksi atau rehabilitasi anggota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

h. Menetapkan arah kebijakan umum dan strategi pengelolaan anggaran MPR

i. Mempertanggunjawabkan pelaksanaan tugasnya dalam sidang paripurna MPR


Pimpinan MPR akan diberhentikan dari tugasnya bila :

1. Meninggal dunia

2. Mengundurkan diri secara tertulis

3. Diberhentikan dari anggota DPR atau DPD

4. Tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai pimpinan MPR

5. Melanggar kode etik MPR berdasarkan hasil pemeriksaan badan kehormatan MPR.

Setelah terpilihnya ketua dan wakil ketua MPR, selanjutnya MPR harus menjalankan tugas yang telah diembankan kepadanya. Amandemen UUD 45 telah merngubah beberapa tugas dan wewenang MPR, antara lain mengenai tugas MPR mengangkat dan meberhentikan presiden dan wakil presiden, telah diamandemen menjadi hanya melantik presiden dan wakil presiden berdasarkan hasil pemilihan umum secara langsung. Selain itu, melalui amandemen UUD 45 MPR juga diberi wewenang untuk menetapkan dan mengubah UUD 1945. selain dari dua hal yang tersebut di atas terdapat pula tugas dan wewenang MPR lainnya seperti melantik wakil presiden apabila presiden turun jabatan, memilih dan melantik wakil presiden dari dua orang calon yang diberikan presiden apabila terjadi kekosongan jabatan dan lain sebagainya.

  1. Dewan Perwakilan Rakyat

Dewan perwakilan rakyat adalah salah satu unsur pembentuk MPR dan merupakan salah satu kamar dalam sistem bikameral parlemen kita. Anggota DPR dipilih melalui pemilihan umum melalui pemilihan partai politik secara langsung. Setiap partai politik yang mendapat suara dengan kuota tertentu berhak mendapatkan satu kursi di DPR yang dapat diisi dengan calon legislatif dari partai politik yang bersangkutan. Anggota DPR berjumlah 550 orang dan dipimpin oleh seorang ketua yang dipilih melalui sidang paripurna DPR. Sebelum ketua DPR terpilih, maka ditunjuklah ketua dan wakil ketua sementara. Ketua sementara DPR ditunjuk dari anggota DPR yang berasal dari partai politik dengan suara terbanyak. Sedangkan ketua DPR sementara ditunjuk dari anggota DPR yang berasal dari partai politik yang memiliki suara terbanyak kedua. Adapun fungsi dari DPR terbagi ke dalam tiga macam, yaitu :

a. Fungsi legislasi, yaitu membentuk undang-undang bersama-sama dengan presiden.

b. Fungsi anggaran, yaitu menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara bersama presiden

c. Fungsi pengawasan, yaitu mengawasi pelaksanaan UUD 45, undang-undang dan peraturan pelaksananya.

Dalam melaksanakan fungsinya, DPR juga dilengkapi dengan hak dan kewajiban. Hak dari DPR antara lain :

a. Interpelasi, yaitu hak untuk meminta keterangan kepada pemerintah atas suatu kebijakan yang strategis dan menyangkut kepentingan masyarakat luas

b. Angket, yaitu hak untuk melakukan penyelidikkan terhadap kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak bagi masyarakat luas.

c. Menyatakan pendapat, yaitu hak untuk berpendapat terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah.

  1. Dewan Perwakilan Daerah.

Selain DPR salah satu unsur penting lainnya dalam pembentukan MPR adalah Dewan Perwakilan Daerah. DPD adalah perwujudan salah satu kamar di MPR yang mewakili kepentingan daerah. DPD, sama seperti DPR, juga dipilih melalui pemilihan umum secara langsung di daerah masing-masing. Anggota DPD sendiri tidak boleh lebih dari 1/3 anggota DPR. DPD dipimpin oleh seorang ketua dan paling banyak lima orang wakil ketua yang dipilih melalui sidang paripurna. Sebelum ketua dan wakil ketua DPD terpilih, ditunjuk ketua dan wakil ketua sementara dari satu orang anggota DPD yang tertua dan satu orang anggota DPD yang termuda. DPD sendiri memiliki fungsi :

a. Pengajuan usul, ikut dalam pembahasan dan memberikan pertimbangan yang berkaitan dengan bidang legislasi tertentu, terutama yang berkaitan dengan daerah.

b. Pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai daerah.

Dalam menjalankan fungsinya DPD memiliki hak dan kewajiban. Hak DPD antara lain :

1. Mengajukan rancangan undang-undang yang menyangkut otonomi daerah

2. Ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah

C. Lembaga Perwakilan Rakyat di Perancis

  1. Sejarah Singkat keberadaan dari Lembaga Perwakilan Rakyat di Perancis

Keberadaan dari suatu Lembaga perwakilan Rakyat adalah bukan merupakan suatu hal yang baru di Negara yang memiliki nama resmi République française. Hal ini dikarenakan, pada dasarnya, gagasan awal yang melahirkan suatu konsep perlunya ada suatu lembaga legislatif didalam suatu Negara dengan pemisahan kekuasaan lahir dari hasil buah pikiran para filsuf dan ahli hukum Perancis, antara lain John Locke, Montesquieu, dan Rousseau. Pada akhirnya konsep ini dapat terealisasi dengan terjadinya Revolusi Perancis untuk menjatuhkan kekuasaan Raja Louis XIV yang absolut yang dikenal dengan nama Revolusi Perancis.

Secara langsung maupun tidak, Locke, Rousseau dan Montesquieu, selaku tiga tokoh bidang negara hukum modern, telah membantu melahirkan negara Amerika Serikat dan Republik Perancis. Kini, dua ratus tahun lebih kemudian, telah lahir hampir dua ratus negara, yang sedikit banyak berkiblat pada model Perancis (tentunya dengan beberapa pengecualian), dan yang juga menamakan dirinya negara hukum, sekurang-kurangnya di atas kertas, termasuk Republik Indonesia. Tentunya ini juga berarti dalam hal ini, Negara-negara tersebut juga mencontoh keberadaan dan proses cara bekerja dari Lembaga Perwakilan Rakyat (Legislatif) di Perancis.

Perlu diketahui bahwa sistem politik Perancis dewasa ini berlandasakan pada konstitusi Republik Ke-V yang diadopsi pada 28 September 1958. Konstitusi baru ini menekankan antara lain, perlunya pemerintahan yang kuat, dengan kata lain dengan berlakunya konstitusi ini maka rakyat Perancis menganggap perlunya membangun Negara dibawah eksekutif yang kuat dan rasionalisasi parlemen, yakni membatasi kekuasaan politik dan legislatif parlemen. Namun, bentuk dari pemerintahannya bukanlah sistem presidensiil, maka dari itu di Perancis menganut sistem pemerintahan quota Presidensiil atau campuran.

  1. Sistem Pemerintahan Qouta-Presidensiil di Perancis

Ide-ide pokoknya mengenai konsep semi-presidensiil ini tertuang dalam La Déclaration des droits de l'Homme et du citoyen.[1] Dengan menganut sistem quota-presidensiil ini pada Konstitusi Republik ke-V, Perancis bermaksud untuk menghindari terulangnya kembali instabilitas politik dan perpecahan antarpartai sebagai rintangan instutisional bagi pertumbuhan dan perkembangan masyarakat Perancis modern. Kegagalan Republik ke-III (1871-1940) dan Ke-IV (1946-1958) menciptakan stabilitas politik merupakan pendorong utama pembaruan konstitusi.[2] Menurut ketentuan konstitusi Perancis yang berlaku dewasa ini, Presiden Perancis dipilih oleh rakyat secara langsung untuk periode 7 tahun. Dalam konstitusi sebelumnya (Konstitusi Republik ke-4), yaitu sebelum diadakan amandemen yang diprakarsai oleh Presiden Charles de Gaulle pada tahun 1963,[3] pernah diatur pemilihan tidak langsung, yaitu melalui ‘electoral college’ seperti di Amerika Serikat. Keanggotaan badan pemilih ini berjumlah 80.000 orang wakil rakyat di pusat dan dari daerah-daerah. Ketika itu, pemilihan langsung oleh rakyat dianggap belum mungkin diterapkan, karena banyaknya warga Perancis yang tersebar di berbagai koloni Perancis di seluruh dunia.

Namun, dalam perkembangan selanjutnya, mekanisme pemilihan tidak langsung ini dirasakan kurang menjamin demokrasi. Karena itu, atas prakarsa Presiden de Gaulle pada awal era Republik Kelima, mekanisme pemilihan itu diubah menjadi seperti dirumuskan dalam Pasal 7 Konstitusi Perancis sekarang, yaitu melalui pemilihan langsung.[4] Kekuasaan parlemen di Perancis sedikit banyak dibatasi dengan posisi dari keberadaan eksekutif dengan luasnya kewenangan dari Presiden, antara lain Presiden diberi kewenangan Presiden dapat membubarkan parlemen setiap waktu kecuali bahwa dalam satu periode satu tahun hanya diperbolehkan untuk membubarkan parlemen satu kali, namun dalam Negara menghadapi suatu situasi darurat, parlemen tidak dapat dibubarkan. Selain itu, Presiden juga dapat menunda atau menolak suatu Rancangan Undang-Undang yang diberikan oleh parlemen, bahkan di Perancis sendiri Presiden diberi wewenang untuk mengeluarkan peraturan setingkat dengan Undang-Undang.. Namun, perlu dicermati sekali lagi disini bahwa dengan menganut system quota presidensiil, maka tentu saja keberadaan parlemen di Perancis juga memiliki peran dan bisa dianggap sebagai ‘penyeimbang’ agar kekuatan eksekutif tidak berlebih, hal ini direalisasikan antara lain dengan adanya kewajiban bagi kabinet Perancis untuk bertanggungjawab dalam menjalankan tugasnya kepada parlemen. Kabinet berkewajiban memberikan laporan dan menjelaskan penyelenggaraan pemerintah kepada parlemen.[5] Maka, dapat dilihat bahwa peranan politik Perancis tidak lagi menentukan setelah Perancis menggunakan konstitusi ke-V, dan disini parlemen justru lebih berfungsi sebagai penjaga kestabilan system politik.

  1. Lembaga Perwakilan Rakyat yang Menganut Sistem Bikameral.

Lembaga Perwakilan Rakyat di Perancis atau parlemen disana bersistem bikameral. Bikameralisme pertama kali timbul di Perancis pada tahun 1975 karena system unikameral pada konstitusi sebelumnya tidak membawa kearah kemajuan dan perbaikan dalam segala bidang di Perancis. Dalam sistem bikameral saat ini, kamar pertama atau majelis rendahnya dinamakan National Assembly sedangkan kamar kedua atau majelis tingginya dinamakan Senate.[6] Namun, realita yang terjadi di Perancis adalah bahwa posisi dan peranan dari Majelis Rendah, yaitu National Assembly malah berperan lebih besar dan memiliki wewenang yang jauh lebih banyak untuk menentukan dan menjaga kestabilan pemerintahan di Perancis dibandingkan dengan posisi dari Majelis Tinggi, yakni senate. Hal ini dapat dilihat dari adanya kewenagan dari senate untuk mengusulkan suatu Amandemen Rancangan Undang-Undang tetapi putusan akhir tetap ada pada National Assembly, hal ini sangat berbeda dengan sistem bikameral di Indonesia, yang mana majelis rendah, yaitu Dewan Perwakilan Daerah malahan tidak mempunyai hak untuk membuat atau mengusulkan suatu amandemen Rancangan Undang-Undang, hak tersbut hanya dimiliki oleh Majelis Tinggi, yaitu DPR, DPRD tingkat I dan DPRD tingkat II. Namun, di Perancis sendiri, selain daripada urusan legislasi pembuatan UU, pada dasarnya kekuasaan National Assembly dijalankan bersama-sama dengan senate.[7]

Namun, perlu juga diketahui ada beberapa hal yang secara khusus kekuasaan dari senate lebih besar daripada National Assembly, yaitu dalam hal usulan terhadap UU Organik dan UU Finansial. Selain itu senate dapat pula dimintai persetujuannya oleh Perdana Menteri tentang pernyataan kebijakan umum, walaupun pada nantinya apapun pendapat senate juga dapat tidak diperdulikan oleh Perdana Menteri beserta kabinetnya.

  1. Keanggotaan National Assembly

National Assembly (Majelis Nasional), memiliki wakil-wakil (deputies) yang beranggotakan 577 orang dan dipilih langsung oleh rakyat. Majelis rendah ini juga dipimpin oleh seorang Presiden National Assembly. Seperti telah dijelaskan diatas, bahwa posisi majelis rendah lebih berperan daripada mejelis tinggi, jadi kewenangan yang dimiliki oleh National Assembly adalah merupakan semua kewenangan yang dimiliki oleh suatu parlemen atau Lembaga Perwakilan Rakyat yang terdapat dalam Article 34 Konstitusi ke-V Perancis. Selain itu, parlemen dalam hal ini National Assembly juga berwenang untuk mendeklarasikan suatu pernyataan perang.

  1. Keanggotaan Senate

Senate mempunyai anggota sebanyak 321 orang, dengan masa jabatan 9 tahun, 1/3nya dipilih secara tidak langsung setiap 3 tahun; senator-senator dipilih dengan electoral college yang dipilih secara popular disetiap departemen atau bagian, jumlah kursi berdasarkan populasi, pemilihan mayoritas di departemen-departemen bagian-bagian dengan 4 senator atau kurang, dengan perwakilan proporsional di departemen-departemen atau bagian dengan 5 atau lebih senator-senator. Senat berisi 321 kursi; 304 dari mereka diberikan kepada bagian-bagian (296 di Metropolis Perancis, dan 8 diluar negeri); dan 3 untuk teritori di luar negeri (Caledonia baru, Polynesia, dan Pulau Walis dan Pulau Futuna); 2 untuk komunitas dengan kedudukan special seperti Mayotte dan Saint-Pierre-et-Miquelon dan 12 disediakan untuk rakyat Perancis yang hidup di luar Perancis.[8] Jadi, dapat dilihat disini bahwa para anggota senate di Perancis terdiri dari berbagai perwakilan daerah, akan tetapi komposisi didalamnya merupakan perwakilan dari partai partai. Kemudian, dalam konstitusi ke-V ini juga mengatur bahwa Presiden Senate dipilih sesudah tiap bagian dari permulaan jabatan.

  1. Suatu Dilema dalam Posisi Lembaga Perwakilan Rakyat di Perancis

Dengan menganut system semi-presidensiil (quota-presidensiil), atau dalam literatur biasa disebut dengan hybrid system, maka yang mungkin dapat terjadi adalah baik parlemen sebagai wujud kekuasaan legislatif maupun pemerintah sebagai wujud kekuasaan eksekutif sama-sama diberi hak untuk saling "menjatuhkan" satu sama lain. Ini semua tertuang dalam du contrat social yang telah disepakati oleh rakyat negara tersebut. Hal ini dapat terjadi karena di Perancis sendiri saat ini, menganut sistem campuran, dimana punya Presiden, tetapi kabinetnya adalah parlementer yang dipimpin oleh seorang Perdana Menteri, maka dari itu, dapat dilihat bahwa keberadaan antara eksekutif dan legislatif di Perancis, hamper sama kuatnya.

Dalam proses politik serupa itu, kalau parlemen dianggap oleh pemerintah sudah menyalahgunakan kekuasaannya, pemerintah dapat membubarkannya. Namun demikian, setelah pemerintah membubarkan parlemen, pemerintah diwajibkan untuk mengadakan pemilihan umum. Dan kalau hasil pemilihan umum memperlihatkan komposisi keanggotaan parlemen yang sama, maka ini berarti rakyat dalam silang pendapat antara pemerintah dan parlemen, telah berdiri di sisi parlemen. Akibatnya? Pemerintah bubar, dan pemerintahan baru dibentuk. Sejarah negara modern, termasuk RI sendiri antara 15 Agustus 1950 sampai dengan 5 Juli 1959, telah membuktikan bahwa kelemahan proses politik semacam ini adalah sukarnya menjaga kestabilan politik. Namun demikian, kelemahan ini dapat diatasi kalau anggota-anggota DPR dan pejabat-pejabat pemerintah mempunyai kualitas pendidikan yang setara dengan kebutuhan zaman. Satu-satunya ukuran yang dipergunakan untuk menjatuhkan pemerintah atau parlemen adalah kesejahteraan rakyat.

Dengan demikian, wewenang untuk "menjatuhkan" parlemen atau pemerintah tidak dipergunakan semata-mata untuk memperoleh kekuasaan politik sehingga memudahkan menghimpun uang untuk terjun ke dalam money politic, yang pada akhirnya akan menghasilkan kekuasaan absolut parlemen atau pemerintah atau peradilan tergantung di mana uang itu berada. Kedua, ada masyarakat yang menjauhkan diri dari model pertama di atas Pemerintah sebagai pihak eksekutif yang melaksanakan pekerjaan sehari-hari tidak dapat semena-mena dijatuhkan oleh wakil rakyat. Kestabilan politik harus dijaga. Pemerintah hanya bisa dijatuhkan dengan alasan-alasan limitatif yang sudah terinci terlebih dulu dalam suatu perangkat hukum, dan untuk ini perlu diadakan sidang khusus yang dikenal sebagai sidang impeachment dan dipimpin oleh Ketua MA.[9]

Selain daripada masalah hybrid system diatas, di Perancis sendiri sebagaimana pada banyak Negara di Eropa, sebenarnya meskipun disuatu Negara terdapat suatu lembaga legislatif, namun kenyataannya hamper semua produk hukum berupa UU berasal dari pemerintah. Sejak tahun 1959, hingga tahun 1995, 89 persen UU yang diululuskan adalah inisiatif pemerintahan 8 persen dimulai dari National Assembly, dan 3 persen dimulai dari senate.[10] Sebenarnya fungsi legislatif itu hanyalah merupakan sebagian saja dari tugas pokok parlemen. Asal muasal terbentuknya lembaga parlemen itu dalam sejarah Eropa, khususnya di Perancis, sebenarnya dilatar belakangi oleh kebutuhan untuk mengawasi dan mengendalikan pelaksanaan tugas-tugas pemerintah. Bahkan istilah parlemen itu sendiri berasal dari kata Perancis ‘parle’ yang berarti ‘to speak’, berbicara. Artinya, yang lebih diutamakan dari parlemen itu pada dasarnya adalah fungsi ‘controlling’, bukan ‘legislation’. Bahkan, meskipun secara formil fungsi legislatif itu ditentukan dalam konstitusi sebagai fungsi pokok parlemen, tetapi dalam prakteknya justru fungsi legislatif itu tetap tidak efektif untuk menggambarkan adanya kesetaraan derajat antara pemerintah dan parlemen. Kondisi seperti ini tidak hanya terjadi di Perancis, namun juga di Negara-negara lainnya juga acapkali ditemui hal serupa.

D. Lembaga Perwakilan Rakyat di Inggris

I. Sejarah Parlemen / Lembaga Perwakilan Rakyat

Parlemen Inggris bisa dikatakan sebagai parlemen tertua di dunia. Parlemen yang lahir di abad pertengahan saat yang berkuasa di Inggris adalah Raja dengan sistem monarki feodal. Awal kelahiran parlemen di Inggris bukanlah karena gagasan akan cita-cita demokrasi, melainkan karena adanya sistem monarki tersebut.[11]

Pada kala itu, wilayah-wilayah di Inggris dikuasai oleh kaum feodal yang bergelar Lord. Raja senantiasa mengirimkan utusannya untuk menemui para Lord untuk menyampaikan keinginan raja, seperti penambahan pajak atau penambahan tentara. Akan tetapi, dalam kelanjutannya raja menganggap hal ini tidak lagi layak. Oleh karena itu, timbul pemikiran dari raja lebih baik para Lord itu dipanggil ke pusat pemerintahan. Hal ini dimaksudkan agar ketika raja menginginkan sesuatu dari para Lord, raja cukup memanggil mereka yang sudah berada di pusat, dekat dengan raja.

Konsekuensinya adalah raja membentuk suatu lembaga yang terdiri dari para Lord dan ditambah dengan para pemuka gereja, yang akhirnya lembaga itu menjadi tempat bagi raja untuk meminta nasehat, petunjuk, dan yang terutama adalah dalam hal pemungutan pajak. Lambat laun lembaga tersebut menjadi permanen dan menjadi seperti sekarang, yaitu House of Lords. Melihat kekuasaan lembaga ini yang semakin besar, raja ingin mengurangi hak-hak mereka, yang mengakibatkan pertikaian antara raja dengan bangsawan.

Akhirnya raja mengalah karena bangsawan mendapat dukungan dari rakyat kaum menengah. Akibatnya, hak-hak raja dibatasi oleh House of Lords. Karena rakyat senantiasa menjadi korban pajak, maka mereka meminta kepada House of Lords agar wakil mereka juga dimintai nasehat saat House of Lords membahas masalah pajak dan anggaran belanja. Akibatnya, rakyat makin diperhitungkan dan pada akhirnya memunculkan lembaga baru yang saat ini bernama House of Commons. Akhirnya, asumsi yang mendasari sistem dua kamar pada parlemen semula berasal dari keinginan untuk memberikan kesempatan bagi para bangsawan dan rakyat agar keduanya terwakili.

  1. Keanggotaan Parlemen

Struktur organisasi parlemen Inggris, seperti telah disinggung di atas, adalah bikameral yang terdiri dari House of Lords atau majelis tinggi dan House of Commons atau majelis rendah.[12] Kedua kamar ini memiliki tata cara pengangkatan dan masa bakti yang berbeda. Ini bisa terjadi karena anggota kedua majelis ini datang dari golongan yang berbeda. Kenyataan ini justru mengukuhkan Inggris sebagai satu-satunya negara yang masih menggunakan sistem feodal kuno.[13]


1. House of Commons

House of Commons atau majelis rendah adalah kamar dalam parlemen yang terdiri dari rakyat biasa. House of Commons terdiri dari partai-partai yang mewakili suara rakyat biasa. Dua partai terbesar di Inggris adalah Partai Buruh dan Partai Konservatif. Partai Buruh lebih banyak diwakili oleh para guru, pejabat asosiasi buruh, maupun tenaga terampil. Sedangkan Partai Konservatif mengirimkan lebih banyak wakilnya dengan latar belakang bisnis. House of Commons merupakan hasil pemilihan umum yang dilakukan dengan popular vote dengan masa jabatan selama 5 (lima) tahun. Jumlah anggota House of Commons hasil pemilu tahun 2002 adalah 659 orang.[14]


2. House of Lords

House of Lords merupakan sebuah lembaga yang turun-temurun. Majelis tinggi ini terdiri dari para bangsawan yang diangkat berdasarkan keturunan. Jumlah anggota House of Lords adalah 1067 orang[5] dengan masa jabatan seumur hidup.[6] Tidak terdapat partai dalam majelis tinggi. Rekrutmen mereka tidak melalui pemilihan umum, tetapi melalui pengangkatan atau pewarisan, sehingga mereka dapat bekerja tanpa diganggu-gugat prasangka yang tidak perlu.

  1. Wewenang Parlemen

Parlemen di Inggris tidak tampak berfungsi penuh dan efektif dalam perumusan undang-undang. Sistem politik di Inggris membatasi peran parlemen hanya sebagai pengesah rancangan undang-undang yang dirumuskan di luar parlemen. Kabinet Inggris sebaliknya memainkan peranan besar dan menentukan dalam perumusan rancangan undang-undang. Parlemen justru menerima rancangan undang-undang tersebut sebagai bukti kesetiaan terhadap partai.[7] Fungsi pokok dari parlemen dengan demikian adalah sebagai pengesah kebijaksanaan publik yang diusulkan oleh pemerintah.


Selain wewenang sebagai satu kesatuan parlemen, masing-masing kamar di parlemen Inggris dapat juga memiliki kewenangan yang terpisah, yaitu:

1. House of Commons

House of Commons berperan menyatakan gagasan-gagasan politik. Kedua partai dalam majelis rendah mempunyai komite-komite ahli yang mengadakan pertemuan secara rahasia dan mengawasi kegiatan-kegiatan pemerintahan. Anggota parlemen dari House of Commons berperan menilai rekan-rekan separtai mereka yang menduduki jabatan menteri dan yang mungkin sekali diangkat sebagai menteri. Anggota House of Commons juga dapat memerikan mosi percaya secara resmi pada seorang menteri, ataupun juga dapat melumpuhkan pendapat menteri tersebut akibatnya kurangnya pengetahuan sang menteri, yang mengakibatkan dia kehilangan posisi di antara rekan-rekannya.


Dalam hal mengawasi undang-undang, seorang anggota House of Commons boleh menulis langsung kepada seorang menteri, menanyakan suatu keputusan atau kebijakan departemennya yang nampaknya tidak bijaksana. Apabila anggota tersebut tidak puas dengan jawaban sang menteri, ia dapat mengajukan masalah ini dalam rapat House of Commons.

2. House of Lords

Di Inggris, rancangan undang-undang sebagian besar diajukan oleh pemerintah atau parlemen yang sekaligus menjabat posisi di pemerintahan. Bahkan dapat dikatakan bahwa proses pemuatan rancangan undang-undang sebagai hak istimewa pemerintah Inggris. Namun hal ini tidak sepenuhnya benar karena House of Commons sebenarnya dapat mengajukan rancangan undang-undang Finansial, dan House of Lords dapat mengubahnya.[15]

Wewenang House of Lords selain dalam proses di atas adalah sebagai lembaga pembahasan publik.[9] Pembahasan lembaga ini tidak terikat dengan pemerintahan yang berkuasa, yang biasanya lebih didukung oleh House of Commons. Perbedaan pembahasannya mencerminkan siapa yang berbicara, dan nilai-nilai apa yang dibahas. Pembahasan dalam House of Lords ini lebih memberikan pengaruh tersendiri kepada pemerintah.

  1. Fungsi Parlemen

Parlemen Inggris tidak hanya berhubungan dengan proses pembuatan undang-undang. Parlemen Inggris juga melaksanakan dua fungsi lainnya. Berikut adalah fungsi-fungsi parlemen yang dilaksanakan oleh parlemen Inggris:[16]

  1. Fungsi Pembuatan Undang-undang.

Dalam sistem parlementer seperti Inggris dimana kabinet dominan dalam pengajuan proposal undang-undang, maka parlemen kurang banyak berfungsi. Parlemen tidak menjalankan fungsi pembuatan kebijaksanaan yang memaksakan suatu perilaku dengan landasan hukum yang sah. Kabinet memiliki hal prerogatif untuk membuat kebijaksanaan. Namun, hal ini tidak berarti bahwa parlemen sepenuhnya tidak ambil bagian dalam fungsi legislatif. Karena, berdasarkan konstitusi, rancangan undang-undang dari pemerintah harus menerima persetujuan dari parlemen dahulu baru bisa diberlakukan.

  1. Fungsi Komunikasi.

Di Inggris, biasanya anggota parlemen tinggal di daerah para pemilihnya. Sekalipun tidak ada ketentuan mengenai hal itu, paling tidak seorang anggota parlemen tercatat bertempat tinggal di daerah pemilihnya. Hal ini membuat pemilihnya merasa lebih dekat dan akrab dengan anggota parlemen, yang membantu menjaga keterikatan dan memelihara integrasi wilayah dengan pusat.

Seorang anggota parlemen sudah tentu tidak selamanya tinggal di pusat pemerintahan. Ia juga berkewajiban menemui para pemilihnya di daerah sehingga memperkuat fungsi komunikasi. Sudah menjadi kebiasaan bahwa setiap anggota parlemen membuka kantor dan melayani kebutuhan informasi bagi para pemilihnya.

  1. Fungsi Rekrutmen.

Parlemen di Inggris merupakan media rekrutmen pemimpin nasional. Parlemen memberi kesempatan besar bagi para anggotanya untuk mengembangkan syarat-syarat yang sangat diperlukan untuk menjadi seorang pemimpin. Sejak sebelum menjadi anggota parlemen, seseorang paling tidak memiliki latar belakang pendidikan, afiliasi partai, dan status ekonomi yang berbeda dengan warganegara biasa. Sebagai anggota parlemen jelas dituntut untuk memiliki kemampuan berdebat dan berargumentasi, kemampuan bekerja dalam sebuah tim, serta kemampuan untuk berhubungan dengan orang lain dari latar belakang yang berbeda.

Keahlian sebagai anggota parlemen yang diperoleh selama bertahun-tahun merupakan modal politik guna meraih kedudukan di kabinet. Parlemen bukan hanya menghasilkan para pemimpin mereka sendiri, namun juga pemimpin di tingkat eksekutif. Bahkan menjadi pemimpin partai di parlemen merupakan modal untuk menduduki kursi perdana menteri. Parlemen di Inggris sesungguhnya merupakan sumber penggodokan pemimpin dan bukan sekedar lingkungan pasif dan tidak dinamis yang hanya menghasilkan undang-undang.





[2] Bambang Cipto, Dewan Perwakilan Rakyat Dalam Era Pemerintahan Modern Industrial, cet. 1, (Jakarta: Rajawali Pers, 1995), hal. 104.

[3] “Demokratisasi Presiden,” <http ://www. Tempointeraktif.com/berita/200878/332.htm>, 28 Mei 2005.

[4] Cipto, op. cit., hal. 105.

[5] Makmur Amir dan Reni Dwi Purnomowati, Lembaga Perwakilan Rakyat, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hal. 42.

[6] Ibid., hal. 45.

[7] Ibid., hal. 46.

[8] Charles Himawan, “Presiden Berhak Menolak Calon Ketua MA,” < http://www.kompas.com/kompas-cetak/0101/09/opini/pres04.htm >, 9 Januari 2001.

[9] Amir., op. cit., hal. 48.

[10] Jimly Asshiddiqie, “Otonomi Daerah dan Parlemen di Daerah,”< http://www.theceli/berita/32421.htm>.,

[11] Makmur Amir, hlm. 13.

[12] Bambang Cipto, Dewan Perwakilan Rakyat Dalam Era Pemerintahan Modern – Industrial, cet. 1, Jakarta: Grafindo Persada, 1995, hlm. 25.

[13] Bambang Cipto, hlm. 41.

[14] Makmur Amir, hlm. 53.

[15] Makmur Amir, hlm. 54.

[16] Makmur Amir, hlm. 31.

0 komentar: