Mansur, Ahsan Dawi. “Alat Bukti Elektronik Kian Mendapat Tempat,” Jurnal Hukum dan Pembangunan (Oktober-Desember 2008): 180-201.
Pembatasan alat bukti yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP) semakin hari semakin tidak bisa mengikuti perkembangan teknologi yang begitu pesat. Pengaturan tersebut hanya terbatas yaitu, (1) keterangan saksi, (2) keterangan ahli, (3) surat, (4) petunjuk, dan (5) keterangan terdakwa. Pembatasan tersebut akan menyulitkan aparatur negara dalam pengungkapan kasus-kasus yang tergolong dalam kejahatan luar biasa (extraordinary crimes) seperti tindak pidana terorisme, pelanggaran hak asasi manusia berat, dan tindak pidana korupsi, karena terkait juga mengenai alat bukti yang diatur dalam KUHAP sangat terbatas sehingga menyebabkan aparatur negara sulit dalam membuktikan kasus-kasus tersebut. Dengan disahkannya undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik telah mengakomodasi pengaturan alat bukti elektronik yang dapat dipakai dalam perkara pidana, sehingga bukti-bukti yang akan mengarahkan kepada suatu tindak pidana merupakan data-data elektronik yang berada dalam komputer (print-out) atau dalam bentuk lain berupa jejak dari suatu aktivitas penggunaan komputer dapat diambil dalam tahap penyidikan dan penuntutan perkara pidana, serta alat bukti elektronik merupakan perluasan dari bukti-bukti yang telah ada, misalnya SMS (short message service). Akan tetapi, alat bukti elektronik ini masih belum diterima sepenuhnya oleh hakim, karena alat bukti elektronik harus didukung dengan keterangan ahli, serta keabsahannya masih belum bisa terjamin karena terkait bukti elektronik bisa di manipulasi oleh siapapun, sehingga perlu dibuktikan lebih lanjut. Dengan demikian, alat bukti elektronik semakin mendapat tempat dalam perkara pidana, khususnya dalam tindak pidana korupsi. (Riki Susanto)
0 komentar:
Posting Komentar