1. Apakah Arbiter atau Majelis Arbiter dikualifikasikan melakukan wanprestasi?
Arbiter tidak bisa dituntut dengan dasar wanprestasi (ingkar janji), karena arbiter atau majelis arbiter ada dalam rangka untuk mengambil keputusan atas persengketaan yang dilakukan oleh para pihak. Selain itu, arbiter atau majelis arbiter mempunyai kapasitas untuk menjalankan perintah atas perjanjian arbitrase yang telah dibuat serta tidak memungkinkan adanya ingkar janji mengingat juga pengangkatan yang dilakukan oleh para pihak sebagaimana diatur dalam Pasal 17 Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang menyatakan:
“(1) Dengan ditunjuknya seorang arbiter atau beberapa arbiter oleh para pihak secara tertulis dan diterimanya penunjukan tersebut oleh seorang arbiter atau beberapa arbiter secara tertulis, maka antara pihak yang menunjuk dan arbiter yang menerima penunjukan terjadi suatu perjanjian perdata.
(2) Penunjukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), mengakibatkan bahwa arbiter atau para arbiter akan memberikan putusannya secara jujur, adil, dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan para pihak akan menerima putusannya secara final dan mengikat seperti yang telah diperjanjikan bersama.”
Artinya, setiap putusan yang dijatuhkan oleh arbiter bersifat final dan mengikat serta harus diterima oleh para pihak sebagaimana yang telah diperjanjikan dalam perjanjian arbitrase, sehingga apa yang dilakukan arbiter tidak menjadikan sebuat tuntutan hukum berupa ingkar janji bisa dilakukan.
Lebih lanjut dalam Pasal 21 dinyatakan “Arbiter atau majelis arbitrase tidak dapat dikenakan tanggung jawab hukum apapun atas segala tindakan yang diambil selama proses persidangan berlangsung untuk menjalankan fungsinya sebagai arbiter atau majelis arbitrase, kecuali dapat dibuktikan adanya itikad tidak baik dari tindakan tersebut.” Artinya, Pasal 21 telah menyatakan dengan tegas bahwa yang dilakukan oleh arbiter tidak akan mempunyai tuntutan hukum terlebih lagi mengenai wanprestasi. Selain itu, pada awal penyelesaian sengketa para pihak telah sepakat untuk menyerahkan bahkan akan menyelesaikan masalah ini dengan ditandai penandatanganan permohonan untuk melakukan perjanjian arbitrase sehingga para pihak sudah sepakat untuk menyerahkan seluruh permasalahan kepada arbiter atau majelis arbiter. Kalau memang para pihak tidak sepakat maka para pihak tidak perlu mendatangani dan tidak perlu untuk menyelesaikan masalah ini ke arbitrase yang pada akhirnya tidak ada arbiter ataupun majelis arbiter. Kalau memang para pihak sepakat maka sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (2) Peraturan BANI maka para pihak harus patuh terhadap perbuatan hukum yang dilakukan oleh arbiter dan menutup kemungkinan untuk mengajukan tuntutan hukum berupa wanprestasi.
2. Apakah Arbiter atau Majelis Arbiter dikualifikasikan melakukan perbuatan melawan hukum?
Arbiter tidak bisa dituntut karena perbuatan melawan hukum, karena berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata dinyatakan “Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk mengganti kerugian tersebut”. Dari pasal ini dapat dijelaskan terdapat 4 unsur dalam Pasal 1365 KUHPerdata:
a. Adanya kesalahan
b. Adanya kerugian
c. Adanya perbuatan melawan hukum
d. Adanya hubungan kausalitas antara kesalahan, kerugian, dan perbuatan melawan hukum
Dari rumusan pasal diatas tidak dimungkinkannya arbiter ataupu majelis arbiter melakukan perbuatan melawan hukum, karena yang melakukan persengketaan adalah pemohon dan termohon arbitrase bukanlah pihak arbiter yang bersengketa sehingga bisa menarik arbiter ataupun majelis arbiter ikut ditarik sebagai pihak yang melakukan perbuatan melawan hukum. Walaupun di tengah-tengah proses arbitrase terjadi suatu perbuatan hukum yang mengindikasikan adanya PMH, maka semua kesalahan yang dilakukan oleh arbiter harus dibuktikan dan hanya diberikan sanksi berupa penggantian arbiter sesuai dengan Pasal 12 ayat (3) Peraturan BANI. Dengan demikian, kelalaian yang dilakukan tidak berdampak pada arbiter atau majelis arbiter untuk dituntut secara hukum dengan dasar PMH mengingat juga Pasal 21 UU No. 30 Tahun 1999. Selain itu, arbiter hanya dihukum secara administratif saja dan bukan dengan mekanisme perdata maupun pidana, sebagaimana diatur Pasal 4 ayat (3) Etika Perilaku BAPMI yang menyatakan Sanksi atau hukuman terhadap Arbiter/Mediator yang terbukti melakukan pelanggaran Etika Perilaku dalam Pasal 3 Etika Perilaku BAPMI antara lain:
a. teguran, baik lisan maupun tertulis;
b. peringatan secara tertulis;
c. pemberhentian sementara sebagai Arbiter/Mediator BAPMI;
d. pemberhentian selamanya sebagai Arbiter/Mediator BAPMI
Artinya jelas bahwa perbuatan hukum yang dilakukan oleh arbiter hanya mendapatkan sanksi secara administratif dari Kode Etik dan tidak bisa dituntut kedua kali atas perkara yang sama karena dapat menyebabkan ne bis in idem.
3. Apakah akibat hukum dan implikasi terhadap putusan yang diberikan arbiter atau Majelis Arbiter?
Akibat hukum terhadap putusan arbitrase tersebut tetap berlaku secara final dan mengikat, karena arbiter tidak bisa dijatuhi tuntutan hukum wanprestasi dan PMH. Tetapi UU No. 30 Tahun 1999 telah memberikan upaya untuk melakukan pembatalan apabila:
“Terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut :
a. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu;
b. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau
c. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.”
Artinya, putusan yang dijatuhkan arbiter atau majelis arbiter berlaku dan tidak batal ataupun cacat demi hukum.
0 komentar:
Posting Komentar