BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kemajuan Ilmu pengetahuan dan perkembangan jaman menuju era globalisasi memunculkan paradigma baru di baru di berbagai bidang. Dalam hal ini, peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) merupakan salah satu matarantai yang dapat diberdayakan untuk menembus peluang pasar, baik di dalam maupun di luar negeri, khususnya yang menyangkut kedudukan dan peranan SDM sebagai tenaga kerja yang menjadi pelaku sekaligus tujuan pembangunan.[1]
Machsoen Ali mencatat ada 2 (dua) hubungan yang erat diantara peranan SDM sebagai tenaga kerja dan pelaku pembangunan:[2]
1. Sebagai pelaku pembangunan, maka tenaga kerja harus mampu meningkatkan produktivitas nasional dan kesejahteraan masyarakat. Untuk memenuhi terget tersebut, harus ada pemberdayaan tenaga kerja agar lebih mampu, lebih berkualitas, lebih terampil serta memiliki daya saing optimal, yang akhirnya juga akan meningkatkan solvabilitas dan affordabilitas tenaga kerja
2. Sebagai tujuan pembangunan, tenaga kerja berhak mendapatkan perlindungan hukum dari kemungkinan atau resiko yang secara normatif telah diatur dalam ketentuan perundang-undangan, diantaranya perlindungan untuk mendapatkan pekerjaan yang layak baik di dalam muapun di luar negeri, perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja, perlindungan upah dan jaminan sosial yang mampu memberikan rasa aman, rasa keadilan serta mampu mewujudkan kehidupan yang sejahtera bagi tenaga kerja dan keluarganya.
Salah satu parameter yang dapat dimanfaatkan untuk mengukur keberdayaan tenaga kerja adalah pembuatan perjanjian kerja yang berkeseimbangan antara pemberi kerja (majikan) dan penerima kerja (buruh) yang berkenaan dengan hak serta kewajiban para pihak.
Pemberdayaan tenaga kerja seharusnya bertumpu pada pemikiran pentingnya peranan tenaga kerja dalam pembangunan nasional dalam suatu sistem hubungan industrial yang mengutamakan aspek kemitraan dan kesamaan kepentingan sehingga dapat memberdayakan sekaligus mendayagunakan tenaga kerja secara optimal, melindungi hak-hak dan kepentingan pekerja, menjamin kesempatan atas perlakuan yang diskriminatif, hubungan kerja yang harmonis kondusif dan pada akhirnya akan meningkatkan produktivitas nasional yang benar-benar mampu mewujudkan masyarakat Indonesia baru yang sejahtera.[3]
Berkaitan dengan pemaparan diatas, apabila berbicara mengenai buruh dimana pekerja sebagai satu kesatuan dari buruh adalah esensi dari hukum peburuhan itu sendiri yaitu melindungi buruh. Memang terlihat sangat sederhana, akan tetapi dalam prakteknya muncul banyak penyimpangan-penyimpangan yang bisa jadi akan mengakibatkan gejolak yang besar di tempat kerja khususnya dalam mempengaruhi pekerja-pekerja lainnya, yang pada akhirnya akan menggangu kinerja perusahaan atau tempat kerja buruh tersebut. Oleh karena, itu perlu pengaturan yang jelas dan perlindungan yang ekstra terhadap buruh terkait juga dengan hak-hak buruh serta hakikat dasar dari Hak Asasi Manusia (HAM).
Walaupun demikian, tidak bisa dipungkiri lagi bahwa hak-hak buruh sering bersinggungan di satu titik dengan HAM, seperti yang dikemukakan oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH. doktrin tentang Hak Asasi Manusia sekarang ini sudah diterima secara universal sebagai a moral, political, legal framework and as a guideline dalam membangun dunia yang lebih damai dan bebas dari ketakutan dan penindasan serta perlakuan yang tidak adil.[4] Oleh karena itu, dalam paham negara hukum (rechtstaat) seperti di Indonesia perlu adanya pengaturan yang ketat mengenai Hak Asasi Manusia guna menjamin dan merupakan suatu penghormatan yang besar bagi hak-hak yang paling mendasar tiap-tiap individu. Begitu juga pengaturan dalam masyarakat sangat penting, terutama berhubungan dengan perikehidupan dari tiap individu, seperti halnya hak-hak buruh.
Lebih lanjut penyimpangan-penyimpangan hak-hak buruh dan hak asasi manusia di masa kini begitu banyak. Berawal dari penindasan atau kekerasan yang dilakukan oleh majikan hingga tidak dibayarnya gaji oleh majikan. Semua hal diatas diakibatkan kurang adanya kesadaran dari pemerintah sebagai pemegang kekuasaan dalam menegakan nilai-nilai yang terkandung dalam Undang-Undang Hak Asasi Manusia.[5]
Berdasarkan Pasal 38 ayat (2) menyatakan bahwa “setiap orang berhak dengan bebas memilih pekerjaan yang disukainya dan berhak pula atas syarat-syarat ketenagakerjaan yang adil.” Lebih lanjut dalam Pasal 38 ayat (3) dinyatakan bahwa “setiap orang, baik pria maupun wanita yang melakukan pekerjaan yang sama, sebanding, setara atau serupa, berhak atas upah serta syarat-syarat perjanjian yang sama”
Dari perumusan tersebut dapat diambil benar merah bahwa adanya persamaan derajat (equality before the law) antara apa yang telah dikerjakan oleh buruh dengan hasil yang diterima oleh majikan.
B. Pokok Permasalahan
Berdasarkan latar belakang di atas, dirumuskan beberapa pokok permasalahan yang akan menjadi fokus pembahasan, yaitu
1. Bagaimana penerapan hak-hak buruh dengan hak atas kesejahteraan dalam instumen hak asasi manusia?
2. Bagaimana menerapkan hak-hak buruh dengan hak kesejahteraan dalam kasus PT. Abhimata Persada?
C. Tujuan Penulisan
1. Pembahasan masalah ini ditujukan untuk mengkaji penerapan hak-hak buruh terkait dengan hak atas kesejahteraan dalam instumen hak asasi manusia.
2. Menjelaskan menerapkan hak-hak buruh agar tidak melanggar hak kesejahteraan dalam kasus PT. Abhimata Persada.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Penerapan Hak-Hak Buruh dengan Hak Atas Kesejahteraan dalam Instrumen Hak Asasi Manusia
Hak-hak asasi manusia (HAM) yang sering disebut dengan istilah hak-hak manusia (human rights) adalah hak-hak yang diakui secara universal sebagai hak-hak yang melekat pada manusia karena hakekat dan kodrat kelahiran manusia itu sebagai manusia. Dikatakan universal karena hak-hak ini dinyatakan sebagai bagian dari kemanusiaan setiap sosok manusia, tak peduli apapun warna kulitnya, jenis kelaminnya, usianya, latar belakang kultural dan pula agama atau kepercayaan spiritualitasnya. Sementara itu dikatakan melekat atau inheren karena hak-hak itu dimiliki sesiapapun yang manusia berkat kodrat kelahirannya sebagai manusia dan bukan karena pemberian oleh suatu organisasi kekuasaan manapun.[6]
Oleh karena itu, melekat pulalah pada dasarnya hak-hak dasar menusia yang tidak boleh dirampas atau dicabut. Pengakuan atas adanya hak-hak manusia yang asasi memberikan jaminan secara moral maupun demi hukum kepada setiap manusia untuk menikmati kebebasan dari segala bentuk perhambaan, penindasan, perampasan, penganiayaan atau perlakuan apapun lainnya yang menyebabkan manusia itu tak dapat hidup secara layak sebagai manusia yang dimuliakan oleh Tuhan.
Hak asasi manusia, sebagaimana yang dinyatakan oleh undang-undang hak asasi manusia dan undang-undang Pengesahan Konvenan Internasional hak-hak sipil dan politik, adalah hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa, merupakan anugerah-Nya, bersifat universal dan langgeng. Oleh karena itu, hak asasi manusia harus dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun, wajib dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.[7]
Hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia tidak dapat dilepaskan dari setiap individu, karena tanpa dua hal tersebut manusia yang bersangkutan kehilangan harkat dan martabat kemanusiaannya. UU Pengesahan Konvenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik menegaskan bahwa sesuai dengan prinsip-prinsip yang diproklamirkan dalam Piagam PBB, pengakuan atas harkat dan martabat yang melekat, serta hak-hak yang sama dan tak terpisahkan dari seluruh asnggota umat manusia, merupakan landasan dari kebebasan, keadilan, dan perdamaian di dunia. Cita-cita manusia untuk mengenyam kebebasan sipil dan politik, serta bebas dari ketakutan dan kekurangan, hanya dapat dicapai apabila diciptakan kondisi dimana setiap orang dapat mengenyam hak-hak di bidang sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Berdasarkan Piagam PBB, negara-negara wajib melakukan penghormatan universal serta penataan atas hak-hak asasi dan kebebasan manusia.[8]
Berabad-abad lamanya manusia dalam jumlah massal hidup dalam keadaan tak diakui hak-haknya yang asasi demikian itu. Jutaan manusia dalam sejarah hidup dalam kedudukannya yang rendah sebagai ulur-ulur atau hamba-hamba, dimana dahulu kala Indonesia dijajah secara fisik oleh pemerintah kolonial Belanda, akan tetapi kini Indonesia dijajah secara ekonomi dengan pengurangan hak-hak buruh yang sedemikian rupa. Pelanggaran-pelanggaran yang terjadi tidak hanya melibatkan pihak majikan saja, akan tetapi masyarakat yang hidup berdampingan dengan sesama masyarakat lainnya juga turut mengisi pelanggaran-pelanggaran yang terjadi, terlebih lagi pemerintah Indonesia yang belum maksimal dalam mengatasi permasalahan di bidang perburuhan.
Perubahan paradigma tersebut semakin membuat hambatan-hambatan bagi kesejahteraan sebagai buruh. Akan tetapi, perlakuan dari majikan-majikan yang tidak bertanggung jawab menjadikan buruh makin sengsara dan juga kehilangan hak-hak sipil dan hak-hak buruhnya, serta hak asasi yang termaktub dalam Pasal 23 ayat (3) Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang menyatakan “Setiap orang yang bekerja berhak atas pengupahan yang adil dan menguntungkan, yang memberikan jaminan kehidupan yang bermartabat baik untuk dirinya sendiri maupun keluarganya, dan jika perlu ditambah dengan perlindungan sosial lainnya.”
Ketentuan tersebut merupakan pengaturan yang begitu besarnya terhadap hak-hak buruh, dimana pekerja diberikan jaminan kehidupan yang seharusnya di dapatkan dalam melakukan pekerjaannya tanpa khawatir akan hari esok ataupun adanya gangguan sehingga dapat mengancam hak-hak mereka.
Dalam rangka meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan rakyat, sebagaimana diamanatkan UUD 1945, pemerintah terus berupaya secara terus menerus melaksanakan pembangunan melalui upaya tersebut dan diharapkan bangsa ini dapat sejahtera.[9] Hal tersebut tercermin dengan kebijakan-kebijakan ketenagakerjaan mempunyai hubungan langsung dan tidak langsung dengan kesejahteaan hidup buruh:[10]
- Kebijakan tentang upah minimum dan perhitungan fisik minimum (KFM)
- Kebijakan mengenai perlindungan sosial yang diformalkan sebagai UU Jaminan Sosial Tenaga Kerja
- Pembentukan serikat buruh
Hak-hak buruh yang diatur dalam perundang-undangan dikenal dengan hak-hak normatif buruh[11] yang merupakan hak dasar buruh dalam hubungan kerja yang dilindungi dan dijamin dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, dimana pengusaha mempunyai kewajiban untuk memenuhi dan mematuhi hak normatif buruh dalam setiap pemberian kerja.[12] Hak normatif tersebut dapat diklasifikasikan menjadi:[13]
1. Hak yang bersifat ekonomis, misalnya upah, tunjangan hari raya (THR), tunjangan hari tua, fasilitas perumahan.
2. Hak yang bersifat politis, misalnya membentuk serikat buruh, hak menjadi atau tidak menjadi anggota serikat buruh, hak mogok, hak tidak diskriminatif.
3. Hak yang bersifat medis, misalya hak atas keselamatan dan kesehatan kerja, hak melahirkan, hak istirahat, hak menyusui anak, hak atas jaminan pemeliharaan kerja, larangan mempekerjakan anak.
4. Hak yang bersifat sosial, misalnya hak cuti, kawin, libur resmi, pembatasan pekerjaan anak dan perempuan pada malam hari.
Hak normatif buruh ini yang perlu dilindungi dari setiap buruh, agar tidak terjadi permasalahan yang signifikan sehingga kesejahteraan dapat terjamin.
B. Penerapan Hak-Hak Buruh dengan Hak Kesejahteraan dalam kasus PT. Abhimata Persada
Dewasa ini Indonesia sedang menghadapi dilema perburuhan. Tuntutan pasar bebas yang menekan Indoneia untuk memperhatikan hak-hak kaum buruh, serta tuntutan reformasi dari dalam negeri khususnya di bidang perburuhan yang mengarah pada isu peningkatan kesejahteraan buruh, sering terjadi dengan upaya pemulihan ekonomi. Situasi demikian ini telah menempatkan Indonesia pada posisi dilematis. Fenomena ini lebih diperparah oleh kondisi ekonomi yang tergantung pada perkembangan dan ekspansi negara-negara maju, sehingga upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat, khususnya kaum buruh, tidak selalu sejalan dengan kebijakan pemulihan ekonomi.[14]
Dalam situasi dilematis tersebut, hukum perburuhan sebagai pedoman bersikap tindak para pelaku, memiliki peran yang sangat penting dalam mengupayakan agar pemulihan ekonomi dan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat bersifat komplementer, bukan saling meniadakan satu sama lainnya.[15] Disamping itu, proses pengambilan keputusan secara demokratis ini, pada gilirannya dapat mendorong terciptanya hubungan kemitraan antara buruh dan pengusaha, yang cenderung bersifat permusuhan, namun saling membutuhkan antara satu sama lainnnya.
Di satu sisi, dalam situasi dan kondisi dimana persaingan dagang semakin ketat, hubungan kemitraan antara buruh dan pengusaha, yang berlandaskan pada demokratisasi di tempat kerja, merupakan fenomena yang tidak dapat dihindarkan dalam suatu kegiatan usaha di era globalisasi, jika pengusaha dan buruh menginginkan kegiatan usahanya maju dan berkembang, serta dapat bersaing baik dalam tataran nasional maupun dalam tataran internasional.
Hubungan kemitraan buruh dan pengusaha secara konkrit dapat dilihat dalam kegiatan partisipasi buruh dalam menentukan kebijakan perusahaan, salah satunya adalah keikutsertaan buruh dalam menentukan upah, syarat-syarat kerja, dan kondisi kerja lainnya melalui pembentukan perjanjian kerja bersama secara damai (peacefull collective bargaining). Kerjasama dalam menentukan syarat-syarat dan kondisi kerja ini merupakan sarana untuk meningkatkan hubungan kemitraan buruh dan pengusaha,[16] seperti halnya penerapan hak-hak buruh terkait dengan hak kesejahteraan dalam kasus ini belum terlihat sebagaimana mestinya. Adapun kasus yang diangkat dalam permasalahan ini mengenai kesejahteraan buruh yang tidak dapat diterapkan oleh PT. Abhimata Persada terhadap karyawannya, berikut kronologis kasus:
- Bahwa terjadi gugatan kepada Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) antara Dina Heni Yulisa (sebagai karyawan di PT. Abhimata Persada) melawan PT. Abhimata Persada.
- Bahwa Dina Heni Yulisa (Pekerja) telah bekerja di PT. Abhimata Persada sejak 2 Januari 2002 awalnya sebagai Technical Support hingga Developer Aplikasi Support Tool Service Rekonsiliasi ATM Hooper Match to Base 24-Database Withdrawal Transaction & Rekonsiliasi ATM Suspect Reversal Transaction dengan menerima gaji terakhir Rp.2.000.000,- perbulan;
- Bahwa pada tanggal 19 Januari 2004 Dina Herni Yulisa diminta membuat surat pernyataan oleh perusahaan dimana formatnya telah disediakan oleh pihak perusahaan dan salah satu isinya yaitu pada angka 3 menyatakan bahwa Pekerja bersedia mengundurkan diri secara sukarela dari Abhimata apabila hasil evaluasi pelaksanaan proyek oleh pembuat pernyataan tidak menunjukkan hasil kerja seperti yang diharapkan oleh Abhimata;
- Bahwa selama bekerja, Dina Heni Yulisa senantiasa bekerja dengan mampu dan sebaik-baiknya akan tetapi pimpinan Pekerja tidak mendukung upaya Dina Heni Yulisa meningkatkan prestasi, terbukti telah berkali-kali Dina Heni Yulisa meminta kepada Manager agar diberikan Komponen RAM PC yang benar-benar mendukung untuk pemrosesan data aplikasi tetapi selalu dijawab pakai dulu sarana yang ada, hingga akhirnya Dina Heni Yulisa dianggap terlambat dan tidak dapat menunjukkan prestasi dibanding rekan-rekan Pekerja lainnya yang selalu dapat bekerja dengan sarana yang lebih menunjang, setelah berselang lama barulah permintaan tersebut dikabulkan oleh pihak perusahaan untuk penyelesaian proyek pertama, tetapi setelah diberikan proyek kedua permasalahan berkurangnya komponen RAM tersebut kembali berulang;
- Bahwa dalam menjalankan tugas, Dina Heni Yulisa sering kali mendapat tekanan dari atasannya yaitu Bpk. David John yang selalu beranggapan dan beradu pendapat di lokasi kerja (Costumer Bank Mandiri) dengan disaksikan oleh staf-staf rekan kerjanya, bahwa Dina Heni Yulisa tidak akan sanggup mengemban tugasnya, bahkan untuk menanggung jawabi dan membawahi pelaksanaan proyek pertama maupun proyek kedua, bahkan tidak pernah terlihat supervisi dan bimbingannya secara nyata. Provokasi yang dilakukan bersama rekan-rekan Dina Heni Yulisa lainnya semakin memperkeruh kondisi kerja, dengan memaksa Dina Heni Yulisa yang sedang dalam kondisi kehamilan tua untuk segera memindahkan PC-nya ke kantor semula;
- Bahwa mulai tanggal 22 Nopember 2004 Dina Heni Yulisa mengajukan cuti melahirkan akan tetapi selama dalam cuti tersebut Manager, Asisten Manager (Bpk. David John) beserta senior lain selalu melakukan teror berkali-kali melalui telepon yang menyatakan bahwa Dina Heni Yulisa sudah dianggap tidak kompeten bekerja dan mulai saat itu PT. Abhimata sudah tidak menganggap Dina Heni Yulisa sebagai karyawan PT. Abhimata dan Manager Pekerja menganjurkan agar Dina Heni Yulisa melamar ke tempat kerja lainnya;
- Bahwa menghindari teror dan pemaksaan pembuatan surat pengunduran diri seperti terdahulu, pada saat Dina Heni Yulisa selesai menjalankan cuti melahirkan pada tanggal 22 Februari 2005, Pekerja kembali masuk bekerja dengan datang langsung seperti sebelum cuti yaitu ke Costumer (Bank Mandiri Pusat);
- Bahwa pada tanggal 28 Februari 2005 Manager mendatangi Dina Heni Yulisa di Bank Mandiri untuk memberikan surat peringatan pertama dan terakhir Nomor: 001/AP/Tech/11-05/RC,yang isinya antara lain bahwa Dina Heni Yulisa:
- Tidak tepat waktu dalam menyelesaiakan tugas yang diberikan;
- Dua kali gagal dalam menjalankan proyek yang diberikan;
- Tidak memenuhi dan menjalankan perintah dinas (sering membantah dengan alasan tidak jelas);
- Tidak disiplin;
- Kurang dapat berkomunikasi dengan Costumer dan rekan kerja;
- Tidak dapat bekerja sama antar tim;
dimana alasan tersebut tidak dapat diterima oleh Dina Heni Yulisa karena tidak sesuai dengan kenyataannya;
- Bahwa dengan adanya surat peringatan tersebut Dina Heni Yulisa datang kekantor untuk klarifikasi, akan tetapi Manager dan senior selalu meminta Pekerja untuk menandatangani surat pengunduran diri yang baru, dimana surat permintaan tersebut ditolak oleh pekerja;
- Bahwa keesokan harinya, senior Dina Heni Yulisa selaku ketua team untuk Bank Mandiri melakukan pengusiran secara kasar dan pemanggilan aparat keamanan, dalam kondisi luka caesar Dina Heni Yulisa masih belum sembuh benar dan Dina Heni Yulisa melaporkan kejadian tersebut kepada Kepala Aplikasi Bank Mandiri;
- Bahwa Dina Heni Yulisa berusaha kembali menghadap Manager dalam upaya penyelesaian secara kekeluargaan tetapi Manager memutuskan bahwa mulai Maret 2005 Dina Heni Yulisa sudah tidak mendapat gaji, serta meminta Pekerja menyelesaikan secara hukum;
- Bahwa Dina Heni Yulisa merasa belum pernah membuat surat pengunduran diri atas kemauan sendiri sehingga Dina Heni Yulisa menginginkan untuk tetap dipekerjakan kembali di perusahaan pada posisi semula;
C. Analisis Kasus
Dari kasus diatas dapat ditarik benang merah mengenai timbulnya persengketaan PT. Abhimata Persada dengan Dina Heni Yulisa yaitu adanya diskriminasi pelakuan terhadap buruh di lingkungan pekerjaannya, sehingga menimbulkan ketidakharmonisan hubungan Dina Heni Yulisa sebagai buruh dengan perusahaan tempat bekerjanya. Melihat kenyataan seperti itu, ada beberapa hak-hak buruh yang terlanggar yang juga terkait dengan penyebab tidak sejahtera Dina Heni Yulisa bekerja di PT. Abhimata Persada.
Pasal 5 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyatakan dengan tegas bahwa “setiap tenaga kerja memilik kesempsatan yang sama tanpa disktriminasi untuk memperoleh pekerjaan.”[17] Artinya, setiap pekerja memiliki hak yang dapat digunakan dalam memperjuangkan setiap kesempatan kerja yang dimilikinya. Lebih lanjut Pasal 6 UU No. 13 Tahun 2003 menyatakan bahwa “setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakukan sama tanpa diskriminasi dari pengusaha.”
Dalam kasus PT. Abhimata Persada nampaknya terjadi indikasi pelanggaran dari hak-hak buruh dalam mendapatkan kesetaraan dalam perlakuan di depan lingkungan pekerjaannya. Pertama, perlakuan yang diskriminasi ini terjadi karena Dina Heni Yulisa sebagai buruh meminta dan mengajukan permohonan untuk mendapatkan fasilitas berupam RAM-PC yang memadai agar mendukung pekerjaannya sebagai Developer Aplikasi Support Tool Service Rekonsiliasi ATM Hooper Match to Base 24-Database Withdraw Transaction & Rekonsiliasi ATM Suspect Reversal Transaction, dimana hal yang wajar apabila seorang pekerja mendapatkan fasilitas untuk menunjukan hasil kerja yang semakin baik dari hari ke hari, akan tetapi Dina Heni Yulisa sebagai buruh kehilangan haknya atas hal ini. Kedua, Dina Heni Yulisa sebagai buruh tidak mendapat gaji atas cuti hamil yang dilakukannya selam 3 (tiga) bulan yaitu dari tanggal 22 Nopember 2004 sampai dengan 22 Februari 2005.
Dalam prinsip buruh dikenal istilah “No Work, No Pay”, artinya tidak ada kerja, maka tidak ada upah. Akan tetapi, prinsip ini memiliki pengecualian, dimana terdapat hal-hal yang sifatnya diluar kehendak buruh, misalnya dalam kasus ini adalah cuti melahirkan.
Apabila ditelusuri lebih lanjut maka akan diketemukan bahwa pengaturan mengenai cuti melahirkan didasarkan pada Pasal 82 UU No.13 Tahun 2003, yang menyatakan Pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah) bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan. Artinya, terdapat 2 (dua) kemungkinan yaitu pertama, Dina sebagai buruh bisa dikatakan sudah mangkir dari pekerjaannya apabila selama 5 hari berturut-turut apabila tanpa bukti tertulis tidak masuk kerja, dan pekerja dianggap mengundurkan diri secara tidak baik dan dapat diproses Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).[18] Kedua, Dina sebagai buruh bisa saja tidak melakukan mangkir sebagaimana yang diatur dalam Kepmen No. 111/Men/2001, akan tetapi Dina melakukan cuti 1,5 bulan sebelum melahirkan dan 1,5 bulan sesudah melahirkan, artinya Dina tidak melakukan kesalahan prosedur cuti.
Dari permasalahan diatas, berdasarkan Konvenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya,[19] maka pemerintah harus mengakui hak setiap orang untuk menikmati kondisi kerja yang adil dan menguntungkan, dan lebih khususnya menjamin mengenai upah yang adil dan imbalan yang sesuai tanpa adanya bentuk diskriminasi, dan kehidupan yang layak bagi pekerja dan keluarga, serta kondisi kerja yang aman dan sehat. Hak-hak inilah yang seharusnya diterima oleh Dina sebagai buruh untuk menjamin hak-hak buruh yang berjalan beriringan dengan hak-hak asasi manusia. Semua hal diatas dilakukan oleh buruh bagi syarat-syarat kerja buruh yang adil.
Mengutip apa yang dinyatakan oleh Abraham H. Maslow terkait dengan kebutuhan dan hubungannya dengan kesejahteraan yaitu kebutuhan-kebutuhan manusia timbul secara hirarkis, artinya kebutuhan yang pertama timbul adalah kebutuhan dasar (basic needs) seperti sandang, pagan, dan papan.[20] Setelah kebutuhan dasar terpenuhi, maka muncul kebutuhan berikutnya, yaitu kebutuhan akan keamanan (safety needs), kesehatan, dan pendidikan.
Sejauh mana manusia dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya tergatung dari tingkat pendapatannya. Bagi buruh tingkat pendapatan dicerminkan oleh upah yang diterimanya. Oleh karena itu, buruh dalam bekerja akan selalu berusaha untuk memperoleh upah yang setinggi mungkin, karena dari situlah tingkat kesejahteraan suatu buruh terlihat.[21]
Dengan demikian perselisihan yang terjadi pada dasarnya memiliki potensi yang besar dalam merusak sistem hubungan kerja sama antara buruh dan pengusaha, jika para pihak yang ingin menyelesaikan perselisihan perburuhan tersebut salah dalam memilih mekanisme penyelesaian perselisihan perburuhan. Hal tersebut juga untuk mempertahankan atau memelihara hubungan kemitraan antara buruh dan pengusaha, mekanisme penyelesaian perselisihan perburuhan di luar pengadilan memiliki posisi penting yaitu penyelesaian perselisihan perburuhan di luar pengadilan dilakukan secara informal dan menekankan pada penyelesaian win win solution.[22]
Walaupun penyelesaian perkara Dina sudah melalui upaya bipatrid yang dilanjutkan ke tahap pengadilan perselisihan hubungan industrial (PPHI) semata-mata dilakukan oleh Dina untuk memperjuangkan haknya sebagai buruh dan merupakan upaya check and balances terhadap perlakuan yang diterimanya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian pembahasan dan analisis diatas, dapat disimpulkan, antara lain:
1. Posisi buruh masih lemah di depan hukum, terlebih lagi mengenai hak atas kesejahteraan. Penerapan dalam hak-hak buruh sering terabaikan dan juga hak asasi menusia yang selama ini dijunjung tinggi oleh setiap manusia.
2. Penerapan hak-hak buruh terkait dengan hak asasi manusia dalam PT. Abhimata Persada belum dilakukan sebagaimana mestinya. Hal ini terlihat dari perlakuan dari salah satu pekerjanya yaitu Dina Heni Yulisa yang mendapatkan perlakuan diskriminasi dari para pekerja lainnya dan juga pengusaha dalam hal ini majikannya.
B. Saran
Dari kesimpulan diatas, penulis memberikan beberapa saran, antara lain:
1. Perlu adanya tindakan yang tegas untuik mengintervensi perlakuan yang diskriminasi dari para majikan khususnya pengusaha yang mempunyai permasalahan yang sangat kompleks.
2. Perlu pengaturan yang jelas bagi aparat penegak hukum untuk melakukan tindakan yang dirasa atau sudah mengindikasikan adanya pelanggaran hak-hak buruh.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Abby, Tabrani. Hukum Perburuhan/Ketenagakerjaan, dalam Panduan Bantuan Hukum di Indonesia. (Jakarta: YLBHI, 2006).
Ali, Machsoen. Perjanjian Kerja Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan, dalam Jurnal Hukum dan Pembangunan No. 3, Edisi September 2000. (Depok, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2000).
Asshiddiqie, Jimly. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II. (Jakarta: Konstitusi Press, 2006).
Brigs, Steven dan Daniel J. Koys, “What Makes Labor Mediators Effective?”, Labor Law Jurnal 40, Agustus 1989, No.8.
Carell. Michael R. dan Christina Heavrin. Collective Bargaining and Labor Relations: Cases, Practice, and Law. (London: A Bell & Howell Company, 1995).
Mainake, Gabbriel F. S. Kesejahteraan Buruh Migran dan Hubungannya dengan Upah Minimum Regiional, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Indonesia. (Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1995).
Maslow, Abraham H. Motivation and Personality. (New York: Harpen, 1974).
Mulya, R. Husna. Satu Lagi Kemunduran Penegakan HAM di Indonesia, dalam Jurnal Perempuan no. 47. (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2006).
Thamrin, Juni. Kebijakan Pengupahan Buruh Industri Pada Masa Orde Baru. (Jakarta: Yayayasan Akatiga, 1994).
Uwiyono, Aloysius. Peranan Hukum Perburuhan dalam Pemulihan Ekonomi dan Peningkatan Kesejahteraan Buruh, Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap, (Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003).
Wignjosoebroto, Soetandyo. Hak-Hak Asasi Manusia: Konsep Dasar dan Perkembangan Pengertainnya dari Masa ke Masa. (Jakarta: ELSAM, 2005).
B. Peraturan Perundang-Undangan
Indonesia (a), Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 39 Tahun 1999, LN No. 165 Tahun 1999, TLN No. 3886 Tahun 1999.
Indonesia (c), Keputusan Menteri Ketenagakerjaan dan Transmigrasi tentang Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja dan Penetapan Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja dan Ganti Rugi di Perusahaan, Kepmen No. 111/Men/2001.
[1] Machsoen Ali, Perjanjian Kerja Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan, dalam Jurnal Hukum dan Pembangunan No. 3, Edisi September 2000, (Depok, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2000), hlm. 226.
[2] Ibid., hlm. 226-227.
[3] Ibid., hlm. 227.
[4] Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH., Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), hlm. 85.
[5] Indonesia (a), Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 39 Tahun 1999, LN No. 165 Tahun 1999, TLN No. 3886 Tahun 1999.
[6] Prof. Soetandyo Wignjosoebroto, Hak-Hak Asasi Manusia: Konsep Dasar dan Perkembangan Pengertainnya dari Masa ke Masa, (Jakarta: ELSAM, 2005), hlm. 1.
[7] R. Husna Mulya, Satu Lagi Kemunduran Penegakan HAM di Indonesia, dalam Jurnal Perempuan no. 47, (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2006), hlm. 32
[8] Ibid., hlm. 33.
[9] Gabbriel F. S. Mainake, Kesejahteraan Buruh Migran dan Hubungannya dengan Upah Minimum Regiional, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, (Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1995), hlm 84.
[10] Juni Thamrin, Kebijakan Pengupahan Buruh Industri Pada Masa Orde Baru, (Jakarta: Yayayasan Akatiga, 1994), hlm. 33.
[11] Tabrani Abby, Hukum Perburuhan/Ketenagakerjaan, dalam Panduan Bantuan Hukum di Indonesia, (Jakarta: YLBHI, 2006), hlm. 183.
[12] Ibid.
[13] Ibid.
[14] Aloysius Uwiyono, Peranan Hukum Perburuhan dalam Pemulihan Ekonomi dan Peningkatan Kesejahteraan Buruh, Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap, (Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003), hlm. 5.
[15] Ibid., hlm. 7.
[16] Michael R. Carell dan Christina Heavrin, Collective Bargaining and Labor Relations: Cases, Practice, and Law, (London: A Bell & Howell Company, 1995), hlm.5.
[17]
[18] Indonesia (c), Keputusan Menteri Ketenagakerjaan dan Transmigrasi tentang Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja dan Penetapan Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja dan Ganti Rugi di Perusahaan, Kepmen No. 111/Men/2001, Pasal 15 ayat (1).
[19] Konvensi ini telah dirastifikasi
[20] Abraham H. Maslow, Motivation and Personality, (New York: Harpen, 1974), hlm. 26.
[21] Ibid.
[22] Steven Brigs dan Daniel J. Koys, “What Makes Labor Mediators Effective?”, Labor Law Jurnal 40, Agustus 1989, No.8, hlm.517.
2 komentar:
Hidup Pak John!!!, Masak pak John yang salah kalo orang yang di ajak diskusi ngga nyambung2....ya kelaut aja deh
Saya Ex-PT.Abhimata Persada, memang PT.Abhimata Persada kurang memperhatikan kesejahteraan karyawannya saya akui itu, tapi di dalam kasus ini menurut saya tidak sepenuhnya kesalahan PT.Abhimata Persada/atasan Dina => Pak John. saya kenal Pak John, orangnya baik dan tidak mendiskrimasikan.
Dalam dunia IT perbankan,dibutuhkan logika,kesigapan,kerjasama team dalam menyelesaikan suatu masalah, yang saya tau Dina tidak 'nyambung' sehingga memperlambat/menimbulkan masalah bagi rekan kerja.
Hidup Pak John!!!!, Hidup Senior2 Abhimata!!!!, Hidup Paul si Gurita!!!!
Posting Komentar