Minggu, 20 Desember 2009

Analisis Kasus Tinjauan KUHP dan RUU KUHP


Kasus Penghinaan/Penodaan Terhadap Agama Majalah Monitor

Prof. Dr. Indriyanto Seno Adji, SH., MH. menyatakan bahwa Blasphemy (penghinaan terhadap agama) terkait erat Libel dengan yaitu penghinaan yang berakibat pada hak kehormatan dan nama baik pihak yang dirugikan sebagai akibat adanya pemberitaan tersebut,[1] dimana pelanggaran atas rambu-rambu dari kebebasan pers Indonesia terlihat pada kasus tabloid Monitor tentang isi pemberitaan yang berjudul “10 Tokoh Populer”. Pada saat itu pemimpin redaksinya adalah Arswendo Atmowiloto yang didakwa secara kumulatif alternatif, yang pada pokoknya melanggar Pasal 156a KUHP.

Berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan Nomor 09/IV/Pid.B/1991/PN. JKT-PST tertanggal 8 April 1991, maka Arswenso Atmowiloto dinyatakan terbukti melanggar Pasal 156a KUHP dan pada akhirnya putusan ini dikuatkan oleh Mahkamah Agung sehingga memiliki kekuatan hukum yang tetap. Terlepas ada tidaknya polemik mengenai penerapan analogi hukum pada Pasal 156a KUHP, Arswendo Atmowiloto telah dinyatakan terbukti melakukan penghinaan terhadap Nabi Muhammad SAW, melalui isi pemberitaannya berdasakan putusan Mahkamah Agung.

Pelanggaran tabloid Monitor terletak pada soal Blasphemy yang terkait dengan masalah Libel (penghinaan). Memang ada perbedaan pandangan dalam masyarakat mengenai kasus ini. Aturan mengenai penghinaan terhadap Nabi tidak ada pengaturan secara tertulis dalam hukum pidana di Indonesia[2] atau dikenal dengan nama asas legalitas, artinya suatu perbuatan tidak dapat dikenakan pemidanaan apabila tidak ada pengaturannya dalam hukum positif. Dalam kasus Arswendo Atmowiloto dipakailah suatu penafsiran ekstensif dimana mengacu pada Pasal 156a KUHP.

Pasal 156a KUHP ini berlatar belakang dari gagasan yang berkembang dalam Seminar Hukum Nasional I yang terwujud dengan terbitnya UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, dimana dalam Pasal 4 berbunyi:

“Pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana diadakan pasal baru sebagai berikut: Pasal 156a yang berbunyi dipidanakan dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: a. Yang ada pada pokoknya bersifat pemusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatau agama yang dianut di Indonesia. b. Dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apa pun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Inilah awal kelahiran delik agama dalam pengertian delik terhadap agama di dalam KUHP, yang kemudian mempengaruhi rumusan RUU KUHP. Terutama yang ingin dilindungi dalam konsep delik terhadap agama ini adalah kesucian agama itu sendiri, bukan untuk melindungi kebebasan beragama para pemeluknya.[3] Sebab menurut Prof. Oemar Seno Adji, agama perlu dilindungi dari kemungkinan-kemungkinan perbuatan orang yang bisa merendahkan dan menistakan simbol-simbol agama, seperti Tuhan, Nabi, Kitab Suci, dan sebagainya. Meski ditujukan untuk melindungi kesucian agama, akan tetapi karena agama “tidak bisa bicara” , maka sebenarnya pasal ini juga ditujukan untuk melindungi para penganut agama.[4]

Blasphemy menurut Black’s Law Dictionary mengartikannya: “the offence of speaking matter relating to God, Jesus Christ, or the book of common prayer, intended to wound the feelings of mankind or to excite contempt and hatred against the church by law established or to promote immorality”. Dalam rumusan yang hampir sama, Simester dan Sullivan menyatakan pula “blasphemy words are punishable for their manner, their violance or ribaldry or more fully stated dor their tendency to endanger the peace then and there, to deprave public morality generally, to shake the fabric of society and to be a cause of civil strife”.[5]

Sedangkan menurut Prof. DR. Wirjono Prodjodikoro menyatakan bahwa tindak pidana dalam Pasal 156a KUHP mirip dengan apa yang dinamakan Blasphemy atau Godlatering yang berarti penghinaan terhadap Allah.[6] Dasar inilah yang dipakai oleh Jaksa Penuntut Umum dalam mendakwa Arswendo Atmowiloto, dengan alasan bahwa dengan mengadakan polling mengenai 10 tokoh terpopuler merupakan penodaan terhadap suat agama.

Walaupun demikian, dalam proses pembahasan RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) tahun 2008, maka mengacu pada pengaturan pasal 344 RUU KUHP yang berisi: Setiap orang yang di muka umum mengejek, menodai, atau meren­dahkan agama, rasul, nabi, kitab suci, ajaran agama, atau ibadah keagamaan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Kategori IV.“ Artinya, apabila RUU KUHP ini disahkan, maka apabila terjadi kasus yang serupa dapat dikenakan dalam pasal ini, dimana perumusan Pasal 344 RUU KUHP memenuhi semua unsur dalam ketentuan ini yaitu:

  1. Setiap orang
  2. Dimuka umum
  3. Mengejek, menodai, atau merendahkan
  4. Agama, rasul, nabi, kitab suci, ajaran agama, atau ibadah keagamaan

Dalam pasal ini patut dijelaskan bahwa pengaturan yang lebih spesifik dan detail menjadikan keberagaman penafsiran dalam KUHP mulai berkurang, karena perumusan pasal tidak menjadi bias seperti apa yang berada di KUHP yang tidak menjelaskan perumusan pasal mengenai penodaan terhadap Nabi. Dalam KUHP hanya terbatas pada pengaturan mengenai penodaan terhadap agama, walaupun Nabi merupakan salah satu yang termuat dalam setiap agama, akan tetapi RUU KUHP membuka pintu lebar-lebar dalam pengaturan yang lebih lex spesialis dan menutup rapat-rapat penafsiran ataupun mengantisipasi kemungkinan terjadi multi tafsir.

Dalam kasus diatas pemberitaan yang dilakukan oleh Tabloid Monitor memenuhi semua rumusan pasal, dikarenakan majalah Monitor merupakan sarana untuk menyebarkan informasi dan terkait juga dengan pemberitaan suatu informasi melalui media pers. Prof. Dr. Loebby Loqman, SH. melakukan perluasan mengenai pengertian media pers yang menyatakan bahwa media pers itu meliputi tidak saja media cetak, tetapi media non-cetak, sehingga delik pers melalui media cetak, dapat pula melalui media non cetak, seperti TV, Bioskop, dan sebagainya.[7]

Berbeda dengan apa yang dikatakan oleh Prof. Satochid Kartanegara, SH., delik pers sebagai perumusan “misdrijven voor middel van de drukpers gepeegd” atau kejahatan yang dilakukan dengan alat cetak, diartikan sebagai kejahatan yang terdiri atas pengumuman atau penyebarluasan dari sebuah pikiran atau perasaan, dan pengumuman itu ditujukan kepada umum atau khalayak ramai serta isi buah pikiran atau perasaan, dan pengumuman itu mengandung suatu kejahatan atau yang dapat dihukum dan cara pengumumannya dilakukan dengan percetakan, dan dengan pengumuman ini maka kejahatan telah selesai dilakukan.[8]

Walaupun demikian, Prof. Mr. Van Hattum yang pernah melakukan pemabatasan pengertian delik pers sebagai sikap reaktif terhadap arti yang luas tersebut, yang menyatakan bahwa pers harus mempunyai kriteria dalam pemberitaan yaitu:[9]

  1. harus dilakukan dengan barang-barang cetakan;
  2. perbuatan yang dipidanakan harus terdiri atas pernyataan pikiran atau perasaan seseorang;
  3. dari perumusah delik harus ternyata, bahwa publikasi merupakan suatu syarat untuk dapat menumbuhkan suatu kejahatan, apabila kejahatan tersebut dengan suatu tulisan.

Hal diatas berkaitan dengan unsur di muka umum dan juga terkait dengan pemberitaan suatu informasi yang mengarah pada penghinaan, atau penodaan suatu Nabi dalam RUU KUHP yaitu tabloid Monitor merupakan barang cetakan yang diterbitkan untuk khalayak umum, dimana pemberitaan mengenai salah satu agama di Indonesia yang mempunyai Nabi Muhammad SAW adalah agama Islam. Selain itu, polling ini dilakukan untuk mengukur seberapa populer tokoh yang dikenal dalam masyarakat Indonesia. Dari hasil polling tersebut, kemudian tabloid Monitor mendapatkan hasil bahwa Nabi Muhammad SAW adalah salah satu tokoh yang terpopuler di Indonesia. Pemberitaan tersebut lantas dimuat dalam tabloid Monitor yang hingga akhirnya perumusan dari isi penerbitan mengandung rasa penodaan terhadap agama Islam, dimana hal ini dikenal dengan nama Blasphemy.

Walaupun Arswendo Atmowiloto tidak sengaja atau lalai sebagai pimpinan redaksi dalam melakukan pemeberitaan tersebut, akan tetapi hal tersebut tidak dipentingkan, karena seharusnya Arswendo Atmowiloto tahu akan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi ketika artikel tersebut naik cetak, sedangkan untuk membuat karikatur Nabi Muhammad SAW saja dilarang apalagi pemberitaan mengenai Nabi Muhammad SAW yang pastinya akan mengarah pada penodaan terhadap agama Islam.

Dengan demikian, perbuatan yang dilakukan dalam KUHP masih dibutuhkan penafsiran yang sangat luas mengenai penodaan agama, sedangkan dalam RUU KUHP membuka lebar terjadinya penyebaran penodaan agama dengan sarana cetak khusunya untuk simbol-simbol keagamaan.

DAFTAR PUSTAKA

Adji, Indiyanto Seno. Hukum dan Kebebasan Pers. Jakarta: Diadit Media, 2008.

Abidin, Zainal, et al. Daftar Inventaris Masalah: Terhadap Beberapa Ketentuan dalam RUU KUHP. Jakarta: ELSAM dan Aliansi Nasional Reformasi KUHP, 2007.

Simester, A. P. dan GR. Sullivan. Criminal Law: Theory and Doctrine. Oxford: Hart Publishing, 2000.

Kasim, Ifdhal. Perkembangan Delik Agama dari Masa ke Masa, Makalah Konsultasi Publik Nasional: Perlindungan HAM dalam Reformasi KUHP, yang dilaksanakan Aliansi Nasional Reformasi KUHP, 3-4 Juli 2007.

Adji, Oemar Seno. Hukum (Acara) Pidana dalam Prospeksi. Jakarta: Erlangga, 1981.

Prodjodikoro, Wirjono. Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia. Bandung: Refika Aditama, 2003.

Loqman, Loebby. Percobaan, Penyertaan, dan Gabungan Tindak Pidana, cet. I. Jakarta: Universitas Tarumanegara, 1996.

Kartanegara, Satochid. Hukum Pidana: Kumpulan Kuliah Bagian I. Jakarta: Balai Lektur Mahasiswa, tanpa tahun.

Adji, Oemar Seno. Pers: Aspek-Aspek Hukum, cet. II. Jakarta: Penerbit Erlangga, 1977.


[1] Prof. Dr. Indiyanto Seno Adji, SH., MH., Hukum dan Kebebasan Pers, (Jakarta: Diadit Media, 2008), hlm. 23.

[2] Ibid., hlm. 24.

[3] Zainal Abidin, et al., Daftar Inventaris Masalah: Terhadap Beberapa Ketentuan dalam RUU KUHP, (Jakarta: ELSAM dan Aliansi Nasional Reformasi KUHP, 2007), hlm. 359.

[4] A. P. Simester dan GR. Sullivan, Criminal Law: Theory and Doctrine, (Oxford: Hart Publishing, 2000), hlm. 343.

[5] Lihat Ifdhal Kasim, Perkembangan Delik Agama dari Masa ke Masa, Makalah Konsultasi Publik Nasional: Perlindungan HAM dalam Reformasi KUHP, yang dilaksanakan Aliansi Nasional Reformasi KUHP, 3-4 Juli 2007. Lihat juga Oemar Seno Adji, Hukum (Acara) Pidana dalam Prospeksi, (Jakarta: Erlangga, 1981) dan Pengaruh Kebudayaan dan Agama terhadap Hukum Pidana, makalah, 1975.

[6] Prof. DR. Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2003), hlm. 151.

[7] Loebby Loqman, Percobaan, Penyertaan, dan Gabungan Tindak Pidana, cet. I, (Jakarta: Universitas Tarumanegara, 1996), hlm. 87.

[8] Satochid Kartanegara, Hukum Pidana: Kumpulan Kuliah Bagian I, (Jakarta: Balai Lektur Mahasiswa, tanpa tahun), hlm. 106.

[9] Oemar Seno Adji, Pers: Aspek-Aspek Hukum, cet. II, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1977), hlm. 183.

2 komentar:

kardoman mengatakan...

Kalo menurut analisis saya pribadi, perbuatan Arswendo Atmowiloto sama sekali tidak memenuhi rumusan unsur-unsur dalam Pasal 156a KUHP, a) Unsur subjektif : dengan sengaja
b) Unsur objektif :
(1) di depan umum,
(2) mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan,
(3) yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.

Unsur objektif ketiga sama sekali tidak terpenuhi, karena Aswendo sama sekali tidak membuat suatu permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan agama, yang ada adalah ketakutan hakim akan amukan massa (maklum Indonesia bukanlah negara hukum, melainkan negara massa) dan juga sensitivitas sebagian umat Islam yang berlebihan. That's all!!

Serba Serbi Wanita mengatakan...

Saya izin share ya Pak. Salam.