Minggu, 20 Desember 2009

Kisah Buruh Migran


BAB I

PENDAHULUAN

I. 1. Latar Belakang

Pemerintah Indonesia mendapatkan pemasukan Negara melalui berbagai macam sumber, baik dari devisa migas maupun devisa non-migas, di mana pada zaman sekarang ini, salah satu pemasukan devisa terbesar pemerintah adalah dari pengiriman serta penempatan para buruh migran Indonesia atau yang bahasa undang-undangnya, Tenaga Kerja Indonesia, di luar negeri.

Data dari Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans) RI menyebutkan bahwa buruh migran Indonesia setiap tahunnya menyumbangkan devisa rata-rata sebesarUS$ 1,5 milyar atau sekitar Rp 12 triliun kepada Negara. Pada tahun 2003 bahkan diperkirakan mencapai Rp 22 triliun di mana jumlah tersebut belum termasuk masukan dari buruh migran yang bekerja secara tak berdokumen atau illegal yang jumlahnya mungkin lebih banyak (Yohanes, 2004 : 4).

Berdasarkan Buku Seri Panduan Buruh Migran Indonesia : Malaysia terdapat banyak peristiwa sedih atau bahkan mengerikan diriwayatkan oleh media massa mengenai buruh migran. Sekedar ilustrasi statistik : pada tahun 2002, dicatat adanya 1,3 juta orang buruh migran yang mendapatkan masalah, baik mulai saat proses rekruitmen maupun saat pemulangan. Masalahnya sangat bervariasi dari soal penipuan, pemerasan, gaji tidak dibayar, deportasi masal, kekerasan, pemerkosaan hingga kematian.

Depnakertrans pun memiliki data yang relatif sama. Catatan tahun 2002 di Pos Pemulangan TKI Terminal 3 Bandara Soekarno Hatta (sekarang disebut dengan istilah Terminal 4) menunjukkan adanya sekitar 44.000 orang dari 320.000 TKI yang pulang melalui bandara tersebut mengalami masalah. Kargo Bandara Juanda Surabaya dan Bandara Soekarno Hatta Banten pun melaporkan banyaknya paket mayat yang dikirimkan dari berbagai Negara (Yohanes, 2004 : 4). Dalam hal ini, penulis merasa bahwa pasti ada yang salah dengan proses pemberangkatan dan penempatan buruh migran Indoensia di luar negeri.

Selanjutnya, kenyataan yang terjadi di lapangan membuktikan bahwa hal yang ditulis oleh Yohanes B. Wibawa dalam bukunya tersebut ternyata memang benar-benar terjadi dan ternyata banyak sekali fakta yang menunjukkan ketidaksesuaian antara kejadian yang terjadi di lapangan dengan hal yang seharusnya terjadi atau dilakukan di dalam berbagai instrumen hukum, penulis semakin tertarik untuk mengangkat permasalahan mengenai buruh migran ini ke dalam sebuah makalah. Hal tersebut dikarenakan menurut penulis, berdasarkan fakta yang terjadi di lapangan, walaupun merupakan salah satu sumber devisa terbesar, tetapi pemerintah tidak memperhatikan kesejahteraan dari buruh migran atau tenaga kerja Indonesia itu sendiri sehingga banyak dari mereka yang mengalami kejadian yang sangat tidak menyenangkan.

Menurut penulis, hal tersebut merupakan suatu hal yang ironis di mana industri rokok serta bidang migas yang juga menjadi sumber devisa Negara terbesar mendapat perhatian yang lebih dari pemerintah, sedangkan penempatan tenaga kerja Indonesia yang komoditi utamanya adalah manusia, malah hampir tidak mendapatkan perhatian dari pemerintah. Hal ini dapat dilihat dari begitu banyak kasus kekerasan, baik fisik maupun psikis, pelecehan seksual, bahkan kasus hilangnya para tenaga kerja Indonesia yang dilaporkan ke berbagai LSM, hanya sedikit sekali yang bisa sampai ke tahap pengadilan atas desakan pemerintah Indonesia.

Mengenai definisi dari buruh migran atau tenaga kerja Indonesia ini sebenarnya telah diatur di dalam berbagai instrumen hukum, baik nasional maupun internasional. Salah satunya di dalam Bab I Pasal 1 – Pasal 6 Konvensi Migran 1990 dijelaskan mengenai definisi dan ruang lingkup buruh migran di mana di dalam konvensi tersebut, pekerja migran didefinisikan sebagai seseorang yang akan, tengah, atau telah melakukan pekerjaan yang dibayar dalam suatu Negara di mana ia bukan menjadi warga Negara.

Konvensi ini juga mengkategorisasi pekerja migran menjadi pekerja frontier, pekerja musiman, pelaut, pekerja di instalasi lepas pantai, pekerja keliling, pekerja proyek, pekerja dengan pekerjaan tertentu, dan pekerja mandiri. Selain itu, konvensi ini juga mengidentifikasi pekerja migran dan anggota keluarganya yang dianggap terdaftar atau berada dalam situasi biasa, maupun pekerja migran dan anggota keluarganya yang tidak terdaftar atau dalam situasi tidak biasa.

Sedangkan menurut Bab I Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri disebutkan mengenai definisi tenaga kerja Indonesia, yaitu setiap warga Negara Indonesia yang memenuhi syarat untuk bekerja di luar negeri dalam hubungan kerja untuk suatu jangka waktu tertentu dengan menerima sejumlah upah.

Selanjutnya menurut Edi Suharto, Ph.D., dosen dari Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS) Bandung, pekerja migran adalah orang yang bermigrasi dari wilayah kelahirannya ke tempat lain dan kemudian bekerja di tempat yang beru tersebut dalam jangka waktu yang relatif menetap.

Proses penempatan buruh migran atau tenaga kerja Indonesia ini terbagi menjadi 3 tahap, yaitu tahap penampungan, tahap penempatan di luar negeri, dan tahap pemulangan di mana setelah melakukan penelitian, penulis mendapatkan bahwa bahkan di setiap tahapnya, para buruh migran Indonesia ini harus menghadapi berbagai macam permasalahan dan karena sedikitnya informasi yang mereka punya, rendahnya tingkat pendidikan mereka, serta tertutupnya access to justice, mereka tidak tahu dapat melaporkan permasalahan mereka tersebut kepada siapa.

Di dalam makalah ini, penulis akan membahas berbagai macam permasalahan yang dialami oleh para buruh migran Indonesia tersebut dengam menitikberatkan pada proses pra-penempatannya karena setelah mewawancarai beberapa narasumber, penulis mendapatkan bahwa proses pra-penempatan merupakan tahap paling rawan dari keseluruhan proses yang harus dijalani oleh para buruh migran Indonesia tersebut, sehingga penulis merasa akan menarik apabila mengangkat topik tersebut ke dalam sebuah makalah.

Dalam pembuatan makalah ini, penulis akan menggunkan teori perlindungan karena di sini penulis mengkaji berbagai macam bentuk perlindungan yang sudah dan belum diberikan oleh berbagai pihak, seperti pemerintah, PJTKI, dan majikan, terhadap buruh migran Indonesia, baik dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang ditetapkan maupun dalam bentuk perlakuan terhadap mereka.

Selain untuk menambah wawasan penulis sendiri, penulis juga mengharapkan isi dari makalah ini akan berguna bagi setiap orang yang membacanya yang berkeinginan untuk mengetahui lebih dalam mengenai buruh migran Indonesia dan berbagai permasalahan yang mereka hadapi.

I. 2. Pokok Permasalahan

Di dalam makalah yang berjudul “Permasalahan Buruh Migran Indonesia Dalam Tahap Pra Keberangkatan : Studi Kasus Buruh LP di Taiwan” ini, terdapat 3 buah pokok permasalahan,yaitu sebagai berikut :

a. Permasalahan apa sajakah yang muncul selama proses perekrutan dan pemberangkatan buruh migran ke negara tujuan pada tahap pra keberangkatan?

b. Mengapa terdapat permasalahan dalam proses perekrutan dan pemberangkatan di negara tujuan pada tahap pra keberangkatan?

c. Bagaimanakah upaya-upaya perlindungan yang sudah diberikan oleh pemerintah Republik Indonesia untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi oleh buruh migran pada tahap pra keberangkatan?

I. 3. Kerangka Konsepsional

Kerangka konsepsional atau definisi operasional yang penulis gunakan dalam pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut :

a. Tenaga Kerja adalah tiap orang yang mampu melaksanakan pekerjaan, baik di dalam maupun di luar hubungan kerja, guna menghasilkan jasa atau barang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat (Pasal 1 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1969).

b. Tenaga Kerja Indonesia, yang selanjutnya disebut sebagai TKI, adalah setiap warga Negara Indonesia yang memenuhi syarat unuk bekerja di luar negeri dalam hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu dengan menerima upah (Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004).

c. Pekerja Migran adalah seseorang yang akan, tengah, atau telah melakukan pekerjaan yang dibayar dalam suatu Negara di mana ia bukan menjadi warga Negara ( Pasal 1 Konvensi Migran Tahun 1990).

d. Penempatan Tenaga Kerja Indonesia adalah kegiatan pelayanan unruk mempertemukan Tenaga Kerja Indonesia sesuai bakat, minat, dan kemampuannya dengan pemberi kerja di luar negeri yang meliputi keseluruhan proses perekrutan, pengurusan dokumen, pendidikan dan pelatihan, penampungan, persiapan pemberangkatan, pemberangkatan sampai ke Negara tujuan, dan pemulangan dari Negara tujuan (Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004).

e. Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia adalah segala upaya untuk melindungi kepentingan Tenaga Kerja Indonesia dalam mewujudkan terjaminnya pemenuhan hak-haknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, baik sebelum, selama, maupun sesudah bekerja (Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004).

f. Pelaksanan penempatan TKI swasta adalah badan hukum yang telah memperoleh izin tertulis dari Pemerintah untuk menyelenggarakan pelayanan penempatan TKI di luar negeri (Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004) .

g. Mitra usaha adalah instansi atau badan usaha berbentuk badan hukum di negera tujuan yang bertanggung jawab menempatkan TKI pada pengguna (Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004).

h. Pengguna Jasa TKI yang selanjutnya disebut dengan Pengguna adalah instansi Pemerintah,Badan Hukum Pemerintah, Badan Hukum Swasta, dan/atau Perseorangan di negara tujuan yang mempekerjakan TKI (Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004).

i. Perjanjian Kerja Sama Penempatan adalah perjanjian tertulis antara pelaksana penempatan TKI swasta dengan mitra Usaha atau Pengguna yang memuat hak dan kewajiban masing-masing pihak dalam rangka penempatan serta perlindungan TKI di negara tujuan (Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004).

j. Perjanjian Penempatan TKI adalah perjanjian tertulis antara pelaksana penempatan TKI swasta dengan calon TKI yang memuat hak dan kewajiban masing-masing pihak dalam rangka penempatan TKI di negara tujuan sesuai dengan peraturan perundang-undangan (Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004).

k. Perjanjian Kerja adalah perjanjian tertulis antara TKI dengan Pengguna yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban masing-masing pihak (Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004).

l. Hubungan Perburuhan adalah hubungan yang bersifat subordinasi antara majikan dan buruh, antara yang memerintah dan yang diperintah (Pasal 1601a Kitab Undang-Undang Hukum Perdata)

m. Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri yang selanjutnya disebut dengan KTKLN adalah kartu identitas bagi TKI yang memenuhi persyaratan dan prosedur untuk bekerja di luar negeri (Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004).

n. Visa Kerja adalah izin tertulis yang diberikan oleh pejabat yang berwenang pada perwakilan suatu negara yang memuat persetujuan untuk masuk dan melakukan pekerjaan di negara yang bersangkutan (Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004).

o. Surat Izin Pelaksana Penempatan TKI yang selanjutnya disebut SIPPTKI adalah izin tertulis yang diberikan oleh Menteri kepada Perusahaan yang akan menjadi pelaksana penempatan TKI swasta (Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004).

p. Surat Izin Pengerahan yang selanjutnya disebut SIP adalah izin yang diberikan Pemerintah kepada pelaksana penempatan TKI swasta untuk merekrut calon TKI dari daerah tertentu untuk jabatan tertentu, dan untuk dipekerjakan kepada calon Pengguna tertentu dalam jangka waktu tertentu (Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004).

q. Pemerintah adalah perangkat Negara Kesatuan Republik Indoensia yang terdiri dari Presiden beserta para Menteri (Pasal 1 angka 16 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004).

I. 4. Metode Penelitian

Sebuah penelitian dilakukan oleh seorang peneliti untuk maksud dan tujuan tertentu. Salah satu dari tujuan itu adalah mendapatkan data. Data yang didapatkan bisa berupa data primer dan data sekunder, data primer didapat langsung dari masyarakat, sedangkan data sekunder diperoleh melalui bahan-bahan kepustakaan. Oleh karena itu penelitian dibedakan menjadi :

a. Penelitian lapangan yaitu untuk mendapatkan data primer.

b. Penelitian kepustakan atau yang dalam penelitian hukum dikenal sebagai penelitian hukum normative yang bertujuan untuk memperoleh data sekunder (Mamudji, dkk, 2005 : 15)

Dalam rangka pengumpulan data untuk penelitian ini, penulis lebih menggabungkan antara penelitian lapangan dan penelitian kepustakaan. Artinya adalah selain melakukan penelitian lapangan dengan datang langsung dan melakukan wawancara dengan narasumber dari berbagai pihak, seperti Serikat Buruh Migran Indonesia dan Komisi Nasional Perempuan, penulis juga berusaha untuk mengumpulkan sebanyak mungkin bahan kepustakaan mengenai buruh migran Indonesia, terutama yang ada hubungannya dengan masalah penempatan mereka di luar negeri. Di samping itu, penulis juga menggunakan pendapat-pendapat ahli yang tersebar dalam berbagai buku dan bahan bacaan lainnya.

Alasan penulis melakukan wawancara dengan narasumber yang telah disebutkan di atas adalah karena penulis merasa bahwa Serikat Buruh Migran Indonesia dan Komisi Nasional Perempuan merupakan dua organisasi atau lembaga yang selama ini telah menampung berbagai keluhan dan aduan dari para buruh migran serta telah bekerja keras untuk membela hak-hak dari para buruh migran yang tertindas sehingga penulis merasa mereka akan mempunyai kompetensi untuk menjelaskan mengenai seluk beluk yang terjadi di setiap proses yang harus dijalani oleh buruh migran, mulai dari proses penampungan, pemberangkatan, penempatan hingga pemulangan secara lengkap dan terperinci.

Penelitian ini dilakukan dengan tipe penelitian fact finding dan problem finding. Fact finding digunakan karena dalam penelitian ini peneliti mencari fakta-fakta yang ada terkait dengan permasalahan yang dialami oleh buruh migran Indonesia, terutama pada proses penempatan mereka di luar negeri. Sedangkan problem finding digunakan untuk mengetahui dari fakta tersebut apakah ada masalah yang dihadapi. Jadi, di dalam penelitian, setelah mendapat fakta-fakta tentang perlindungan yang didapat, penulis akan meneliti apakah ada permasalahan dari data yang didapat.

I. 5. Sistematika Penulisan

Di dalam makalah yang berjudul “Permasalahan Buruh Migran Indonesia Dalam Tahap Pra Keberangkatan : Studi Kasus Buruh LP di Taiwan” ini, penulis akan mencoba menguraikan mengenai masalah mengenai buruh migran Indonesia, terutama pada proses penempatannya di luar negeri di dalam 3 bab, yaitu sebagai berikut :

a. Bab I Pendahuluan.

Bab ini berisikan mengenai latar belakang mengapa penulis memilih untuk mengangkat topik buruh migran Indonesia sebagai topik utama dalam penulisan makalah ini, pokok permasalahan apa saja yang terdapat di dalam makalah ini, kerangka konsepsional yang akan penulis gunakan dalam pembuatan makalah ini, metode penelitian apa yang digunakan penulis dalam menyusun makalah ini serta bagaimana sistematika penulisan makalah ini.

b. Bab II Gambaran Umum Penelitian

Bab ini berisikan mengenai isi dari wawancara yang telah dilakukan oleh penulis terhadap narasumber-narasumber yang penulis anggap kompeten karena banyak dan beragamnya pengalaman mereka dalam menghadapi berbagai permasalahan yang berkaitan dengan buruh migran.

c. Bab III Analisis Data

Bab ini berisikan mengenai analisis penulis mengenai topik utama berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan oleh penulis yang telah dituangkan dalam Bab II serta berbagai teori yang didapat penulis dari berbagai macam buku, artikel, peraturan perundang-undangan dan bahan bacaan lainnya dan juga berdasarkan pendapat dari para ahli. Bab ini juga akan berisikan jawaban terhadap Pokok Permasalahan yang terdapat di dalam Bab I.

d. Bab IV Penutup.

Bab ini berisikan kesimpulan dari isi serta analisis yang telah diuraikan penulis di dalam Bab II serta terdapat sedikit saran dan masukan dari penulis bagi permasalahan yang ada.

BAB II

GAMBARAN UMUM

II.1 Buruh Migran Indonesia

Buruh Migran Indonesia sering dipakai sebagai pengganti istilah Tenaga Kerja Indonesia yang bekerja diluar negeri atau sering disebut TKI. Definisi TKI menurut Kepmenakrtrans RFI No. KEP-104/MEN/2002 adalah warga negara Indonesia baik laki-laki maupun perempuan yang bekerja di luar negeri dalam jangka waktu tertentu berdasarkan perjanjian kerja. Sedangkan definisi menurut UU 39 tahun 2004 pasal 1 ayat 1 Tenaga Kerja Indonesia yang selanjutnya disebut dengan TKI adalah setiap warga negara Indonesia yang memenuhi syarat untuk bekerja di luar negeri dalam hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu dengan menerima upah (Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004).

Pengertian tentang TKI sebetulnya tidak indentik dengan para pekerja kasar atau

pembantu rumah tangga saja, namun dibagi menjadi tenaga kerja skill dan non-skill. Permasalahan yang dihadapi oleh bangsa kita adalah selalu pada tenaga kerja non-skill, yang mayoritasnya adalah perempuan, dan tidak memiliki tingkat pendidikan yang cukup. Kondisi penempatan buruh migran Indonesia memberikan indikasi tingkat keterampilan dan pendidikan yang masih rendah yang berakibat hubungan kerja buruh migran menjadi rentan terhadap terjadinya berbagai macam masalah yang cenderung merugikan buruh migran itu sendiri sebagai pihak yang lemah.

Dengan demikian, pengertian TKI tidak hanya memberikan batasan terhadap subjek hukum TKI sebagai warga negara RI yang bekerja di luar negeri. Sedangkan yang dimaksud dengan WNI yang bekerja diluar negeri dalam konstitusi adalah orang Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara. Dengan demikian batasan subjek hukum TKI tidak membedakan jenis kelamin, usia, jenis pekerjaan, status, pendidikan, dan sebagainya. Semua WNI yang bekerja diluar negari baik laki-laki maupun perempuan, sarjana atau tidak, bekerja pada sektor formil maupun informal dapat disebut TKI.

Sebelum disebut dengan TKI menurut UU 39 Tahun 2004 ada yang dikatakan sebagai calon TKI yakni setiap warga negara Indonesia yang memenuhi syarat sebagai pencari kerja yang akan bekerja di luar negeri dan terdaftar di instansi pemerintah kabupaten/kota yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan (Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004).

Meskipun batasan TKI hanya sebagai WNI, namun WNI yang mendaftar sebagai calon TKI tersebut harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1. Usia minimal 18 tahun, kecuali ketentuan negara menentukan lain.

2. Memiliki kartu tanda penduduk

3. Sehat mental dan fisik yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter

4. Sekurang-kurangnya tamatan SLTP, memiliki keterampilan, keahlian, atau pengalaman sesuai dengan persyaratan jabatan atau pekerjaan yang diperlukan.

5. Ijin dari orang tua atau wali, suami atau istri.

Adanya ketentuan syarat tersebut dimaksudkan agar seorang TKI mempunyai karakteristik ideal TKI yaitu :

1. Harus bisa mandiri artinya mampu mengatasi masalah yang ada dan tahu harus kemana dalam mencari bantuan,

2. Mampu menyesuiakan diri dengan kondisi kerja, adat istiadat, cuaca, iklim, aturan hukum dan perkembangan teknologi yang ada di negara penempatan tanpa meninggalkan kepercayaan, norma, etika dan budaya asal

3. Mampu melaksanakan tugas sesuai dengan bidang pekerjaannya seta mampu berkomunikasi dengan baik,

4. Mengetahui, memahami, dan melaksanakan kewajiban dengan baik dan mampu mempertahankan haknya,

5. Mampu mengembangkan diri yaitu dengan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan, bahasa serta memahami budaya dan adat istiadat negara penempatan.,

6. Mempunyai tujuan yang akan dicapai yaitu meningkatkan taraf hidup dan mengembangkan diri. (Dirjen Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja Depnakertrans RI, 2000 : 11)

Sedangkan syarat calon TKI menurut UU 39 Tahun 2004 adalah:

1. berusia sekurang-kurangnya 18 (delapan belas) tahun kecuali bagi calon TKI ang akan dipekerjakan pada Pengguna perseorangan sekurang-kurangnya berusia 21 (dua puluh satu tahun);

2. sehat jasmani dan rohani;

3. tidak dalam keadaan hamil bagi calon tenaga kerja perempuan; dan

4. berpendidikan sekurang-kurangnya lulus Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) atau yang sederajat.

II.2 Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI)

Sebagai mitra kerja pemerintah, perusahaan jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI)

mempunyai peran penting dalam pengerahan buruh migran Indonesia. Pelaksanaan penempatan TKI di luar negeri terdiri dari Pemerintah dan pelaksanaan penempatan TKI swasta.

Pasal 8 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No 104/Men/2002 tentang Penempatan Tenaga Kerja Indonesia ke Luar Negeri Mensyaratkan aturan yang cukup ketat dalam memberikan Surat Izin Usaha Perdagangan dengan syarat-syarat antara lain sebagai berikut:

a. Badan hukum berbentuk Perseroan Terbatas (PT);

b. Mempunyai kantor dan peralatan kantor yang lengkap serta alamat yang jelas sesuai dengan surat keterangan domisili dan instansi yang berwenang;

c. Mempunyai nomor pokok wajib pajak (NPWP);

d. Menyetorkan dana jaminan dalam bentuk deposito atas nama menteri qq. PJTKI sebesar RP. 250.000.000,- pada bank nasional di Indonesia yang ditunjuk Menteri;

e. Memiliki modal yang disetor yang tercantum dalam akta pendirian perusahaan sekurang-kurangnya RP. 750.000.000,-;

f. Memberikan surat kuasa kepada Menteri untuk mencairkan deposito dana jaminan;

g. Memiliki surat keterangan undang-undang gangguan;

h. Mempunyai bukti wajib lapor ketenagakerjaan;

i. Mempunyai rencana kegiatan perusahaan untuk 5 tahun kalender berturut-turut;

j. Mempunyai asrama/akomodasi yang memenuhi persyaratan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

k. Mempunyai pegawai yang berpengalaman di bidang ketenagakerjaan;

l. Komisaris dan direksi perusahaan tidak pernah melakukan tindak pidana kejahatan yang berkaitan dengan masalah ketenagakerjaan yang dijatuhi sanksi pidana berdasarkan keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Sedangkan syarat yang telah ditentukan oleh UU No. 39 tahun 2004 yakni:

Syarat PJTKI :

Ø Perusahaan yang akan menjadi pelaksana penempatan TKI swasta wajib mendapat izin tertulis berupa SIPPTKI dari Menteri.

Ø Untuk dapat memperoleh SIPPTKI, pelaksana penempatan TKI swasta harus memenuhi persyaratan :

a. Berbentuk badan hukum perseroan terbatas (PT) yang didirikan berdasarkan peraturan perundangan-undangan;

b. Memiliki modal disetor yang tercantum dalam akta pendirian perusahaan;

c. Menyetor uang kepada bank sebagai jaminan dalam bentuk deposito sebesar Rp.15.000.000,- (lima belas juta rupiah) pada bank pemerintah;

d. Memiliki rencana kerja penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri sekurangkurangnya untuk kurun waktu 3 (tiga) tahun berjalan;

e. Memiliki unit pelatihan kerja; dan memiliki sarana dan prasarana pelayanan penempatan TKI (Pasal 13 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004).

Guna menggali informasi dan memperoleh data mengenai Perlindungan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri, penulis pergi melakukan wawancara dengan beberapa narasumber.

Narasumber yang pertama ialah PT Amri Margatama, sebuah Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) yang berlokasi di Cibubur, Jakarta Timur. Wawancara dilakukan dengan:

  1. Bapak Didik: Kepala Balai Latihan Kerja (BLK) PT Amri Margatama;
  2. Bapak Muh. Yunus: Pengajar Bahasa Arab, Mental, dan Kerohanian Islam;
  3. Empat calon buruh migran, yaitu Lilis Irisnawati, Yulinar, Srimawari, Safitri.

Dari wawancara yang penulis lakukan dengan narasumber pertama, penulis tidak mendapatkan suatu permasalahan yang berarti. Proses perekrutan, pemberangkatan, penempatan, sampai dengan pemulangan TKI yang dilaksanakan oleh PT Amri Margatama tampak berjalan sesuai dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Narasumber yang kedua ialah salah seorang perwakilan Peduli Buruh Migran (PBM), sebuah lembaga yang memberikan pelayanan kesehatan bagi para buruh migran yang menjadi korban kebijakan negara. Wawancara dilakukan pada tanggal 3 Desember 2009 di Kantor Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) yang berlokasi di Jalan Latuharhari No. 4B, Menteng, Jakarta. Sebelum wawancara, penulis menghadiri rapat koordinasi antar elemen masyarakat dan pemerintah yang berkaitan dengan buruh migran. Pembahasan rapat tersebut meliputi ratifikasi konvensi undang-undang buruh migran, Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, rencana peringatan Hari Buruh Migran yang akan jatuh pada tanggal 18 Desember 2009, dan hal-hal lainnya yang terkait buruh migran. Wawancara dilakukan seseorang yang bernama LP, seorang mantan buruh migran yang menjadi korban penipuan yang dilakukan oleh PJTKI yang mengirimnya ke luar negeri.

Narasumber yang ketiga adalah Sekretaris Jenderal Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) yang berlokasi di Jalan Cipinang Kebembem Raya No. 10, Jakarta.

Wawancara ini juga dilaksanakan pada tanggal 3 Desember 2009, dalam rangka memperoleh data dan informasi mengenai buruh migran perempuan yang mengalami kekerasan selama ditempatkan di luar negeri. SBMI merupakan wadah perjuangan bagi kaum buruh migran asal Indonesia, yang meliputi calon buruh migran, buruh migran aktif dan juga mantan buruh migran. SBMI dipilih sebagai salah satu narasumber dikarenakan SBMI merupakan salah satu organisasi buruh migran yang cukup dikenal baik dalam skala nasional maupun internasional (Michele, 2006 : 17) dan sejak didirikan pada tahun 2001 telah memiliki banyak pengalaman dalam menangani pengaduan tindakan kekerasan dan ketidakadilan lainnya yang dialami oleh buruh migran.

Hasil wawancara pertama hanya dilampirkan dalam makalah ini dan tidak dijadikan sebagai bahan pembahasan dalam makalah ini. Hasil wawancara kedua dilampirkan dalam bentuk verbatim sebagai keterangan penunjang analisa kasus. Hasil wawancara ketiga yang menjadi pembahasan utama dalam makalah ini, akan dijabarkan secara umum di bawah ini:

II. 3 Hasil Wawancara dengan perwakilan Peduli Buruh Migran (PBM)

Kronologis kisah seorang perempuan yang dikirim ke Taiwan untuk menjadi perawat, tetapi ternyata berakhir menjadi buruh di perkebunan:

· Seorang perempuan Warga Negara Indonesia (WNI) bernama LP hendak mencari kerja di luar negeri melalui bantuan PJTKI. LP disaring oleh petugas lapangan di kota tempatnya tinggal, Malang.

· Setelah dibawa ke kantor PJTKI di Jakarta, LP harus menjalani seleksi fisik berkedok medical check-up. Saat itu LP mengalami pelecehan karena seleksi fisik yang harus ia jalani tidak dilakukan oleh tenaga kesehatan dan bukan pula oleh sesama perempuan.

· Setelah lulus pada tahap seleksi fisik, LP harus menjalani serangkaian pelatihan dan pendidikan yang diselenggarakan oleh PJTKI yang bersangkutan dalam kurun waktu tertentu.

· Kemudian, untuk dapat diberangkatkan ke negara tujuannya, kartu identitas (KTP) LP dipalsukan. LP yang awalnya penduduk Malang, dengan identitas palsu, berubah menjadi penduduk Cianjur.

· Setelah selesai menempuh pendidikan dan pelatihan, LP diberangkatkan ke Taiwan; negara tujuannya. Dalam perjalanan menuju ke Taiwan, LP terpaksa menandatangani perjanjian kerja (kontrak kerja) dalam bahasa yang tidak ia mengerti. Perjanjian kerja yang harus ia tanda-tangani tidak ditulis dalam bahasa Indonesia. Pada saat yang sama, LP menerima job order yang harus ia laksanakan di Taiwan.

· Sesampainya di Taiwan, ia mendapati kenyataan bahwa ia tidak ditempatkan untuk bekerja sebagai juru rawat (perawat); pekerjaan yang dijanjikan akan diberikan padanya di Taiwan. Dengan dalih lowongan pekerjaan sebagai perawat sudah terisi, LP akhirnya ditempatkan di perkebunan. Merasa telah dibohongi dan dipekerjakan secara tidak manusiawi, LP melarikan diri mencari pertolongan. LP mendatangi Kantor Dagang Indonesia, satu-satunya perwakilan Indonesia di Taiwan, tetapi hanya mendapat tanggapan dingin. Oleh KDI, LP dikembalikan ke agent yang mengirimnya ke Taiwan. Agent tersebut lalu mengembalikan lagi LP ke perkebunan tempat ia dipaksa bekerja.

BAB III

ANALISIS DATA

Prosedur TKI bekerja ke luar negeri

1. Calon TKI mencari informasi lowongan kerja luar negeri ke sumber informasi

2. Calon TKI mengikuti penyuluhan, pendaftaran dan seleksi.

3. Calon TKI mengikuti tes kesehatan, pelatihan kerja dan uji kompetensi, mengurus paspor dan mengikuti program asuransi TKI, serta menandatangani Perjanjian Penempatan (PP).

4. Calon TKI mengikuti pembekalan akhir Pemberangkatan (PAP) dan menandatangai Perjanjian Kerja

5. TKI melalui PPTKIS mengurus Rekomendasi Bebas Fiskal ke Luar Negeri (BFLN/KTKLN) ke BP2TKI.

6. TKI berangkat ke luar negeri dengan membawa dokumen lengkap

7. TKI tiba di Negara tujuan dan melaporkan diri ke Perwakilan RI (KBRI/KJRI)

8. TKI bekerja sesuai dengan PK dan memiliki ijin kerja di negara bersangkutan

9. TKI selesai kontrak melaporkan ke KBRI/KJRI: Kembali ke tanah air atau memperpanjang kontrak kerja.

10. TKI tiba di tanah air.

III.1 Perekrutan dan seleksi

Kegiatan yang masih berkaitan dengan perencanaan SDM adalah perekrutan atau pengadaan tenaga kerja. Perekrutan calon TKI menjadi tahapan penting, hal ini terkait dengan pemilihan atau seleksi calon TKI. Seleksi calon TKI tentunya ada dua sasaran yakni sasaran syarat adminstratif dan syarat keterampilan dan pengetahuan. Syarat administratif yang sering terjadi penyimpangan adalah perbedaan dokumen seperti penerbitan KTP atau keterangan usia maupun pendidkan yang tidak sesuai.

Perekrutan calon TKI bagi PPTKIS mempercayakan kepada petugas lapangan (LP) atau sponsor atau calo. Siapa petugas lapangan adalah mereka yang diangkat oleh PPTKIS untuk mencari calon TKI ke desa atau kelurahan. Petugas lapangan (LP) adalah seorang yang dilengkapi dengan surat resmi yang diketahui oleh Dinas Tenaga Kerja Setempat baik Provinsi/kabupaten kota).

Pasal 34 UU 39 Tahun 2004 Proses perekrutan didahuli dengan memberikan informasi kepada calon TKI sekurang-kurangnya tentang :

a. Tata cara perekrutan

b. dokumen yang diperlukan;

c. hak dan kewajiban calon TKI/TKI;

d. situasi, kondisi, dan resiko di negara tujuan

e. tata cara perlindungan bagi TKI.

f. Informasi disampaikan secara lengkap dan benar.

g. Informasi wajib mendapatkan persetujuan dari instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan dan disampaikan oleh pelaksana penempatan TKI swasta.

Dan persyaratan pengrekrutan calon TKI harus sesuai dengan pasal 35 UU diatas.

Sebelum menjadi seorang buruh migran, mereka hanyalah manusia biasa yang mencari sesuap nasi untuk mempertahankan keluarga agar tetap hidup dan bertahan dalam kemelut untuk mempertahankan hidup. Mereka pun akan melakukan apapun untuk mencapai tujuannya tersebut termasuk menjadi seorang buruh migran. Bukannya mereka tidak mendengar apa yang terjadi pada beberapa orang yang telah menjadi buruh migran, kabar yang baik maupun kabar yang buruk. Pertimbangan untuk menjadi seorang buruh migran salah satunya adalah faktor ekonomi keluarga yang sangat mendesak sedangakan untuk mendapatkan uang untuk pemenuhan ekonomi adalah dengan cara bekerja, sedangkan lapangan pekerjaan yang berada didaerah tersebut sangat sedikit dan upah yang didapat pun sangat sedikit. Seringkali upah yang didapat tidak setimpal dengan kebutuhan keluarga. Oleh karena itu, tidak mengeherankan jika masih banyak masyarakat yang masih menginginkan menjadi buruh migran walaupun tidak ada jaminan bahwa mereka akan selamat dan berhasil ketika selesai menjalankan tugasnya menjadi buruh migran.

Di daerah-daerah tertentu, terutama daerah miskin yang tidak terjamah dengan berkembangnya telekomunikasi saat ini menjadi sasaran para calo atau sponsor untuk mencari calon-calon buruh migran menjadi seorang pekerja di luar negeri. Tidak mengherankan adanya bujuk rayu yang menjadi andalan para calo atau sponsor tersebut untuk merekrut mereka menjadi seorang buruh migran di sebuah PJTKI di Jakarta. Para calon tersebut diiming-imingi berbagai macam pemberian atau hadiah atau dalam bentuk pendapatan yang besar jika mereka menjadi seorang buruh migran.

Bukanya mereka tidak mengetahui bahwa untuk menjadi seorang buruh migran harus mengeluarkan uang yang cukup besar untuk memenuhi persyaratan yang diberikan oleh calo tersebut. Tapi apalah daya, tekanan akan ekonomi lebih kuat sehingga untuk berpikir dengan logis, dengan mempertimbangkan baik atau buruknya menjadi seorang buruh migran di luar negeri.

Alasan-alasan seperti tekanan ekonomi keluarga menjadi faktor utama untuk menjadi seorang buruh migran. Tidak mengherankan ketika wilayah atau desa-desa yang tidak terjamah atau terpencil menjadi sasaran para calo atau sponsor untuk dijadikan kantong-kantong migran. Kantong-kantong migran berarti daerah yang menjadi tempat pengiriman terbesar calon buruh migran.

Melongok kebelakang, ketika melihat sepak terjang para calo/sponsor yang bergerilya dari kampung ke kampung, mencari siapa saja yang mau menjadi buruh migran. Kampung-kampung yang didatangi oleh para calo/sponsor umumnya memang kantong-kantong buruh migran, atau memang merupakan daerah miskin. Mereka inilah yang berinisiatif, membujuk, dan menawarakan beragam janji-janji kepada siapa pun yang berminat menjadi buruh migran (lihat juga http://www.iwork-id.org/index.php?action=news.detail&id_news=50). Para calo atau sponsor biasanya bukanlah orang yang baru disana, walaupun terkadang terdapat orang baru yang menjadi calo atau sponsor, walaupun orang luar yang menjadi calo tetap terdapat dukungan dari pihak-pihak yang terkait dan menjadi orang yang dihormati di desa atau wilayah tersebut misalnya seperti ketua RT ataupun Ketua RW.

Para calo atau sponsor bukanlah tidak mendapat apa-apa dari pekerjaannnya dalam melakukan perekrutan. Setiap calo atau sponsor yang mengirim calon buruh migran ke suatu PJTKI akan mendapatkan bayaran dengan perhitungan berapa orang perorang. “Tiap kepala satu orang pekerja kita, dihargai 2 juta rupiah, sehingga mereka mendapat upah 2 juta Rupiah perkepala dari PJTKI” kata LP. Apapun yang terjadi ketika perekrutan campur tangan para calo menjadi tiang utama dalam menyukseskan pengiriman para calon buruh migran kepada PJTKI. Hal ini dikarenakan para calo atau sponsor maerupakan “tangan pertama” sebagai penyambung tangan dari PJTKI dalam hal perekrutan calon Buruh migran.

Ketika perekrutan terjadi terdapat beberapa dokumen yag harus dilengkapi oleh para calon migran misalnya seperti kartu tanda penduduk, kartu keluarga, pasport, visa, dan segala identitas yang dimiliki sebagai penunjang untuk keberangkatan dan data diri yang menjadi identitas selanjutnya setelah para calon dipekerjakan atau pun ketika berada di penampungan (PJTKI).

Ketika para calon buruh migran tersebut berada di PJTKI, kelengkapan dokumen pun diperiksa sehingga ketika ada kekurangan PJTKI membuat dokumen-dokumen tersebut untuk memenuhi persyaratan seperti pasport, tetapi dokumen tersebut belum tentu asli ada juga yang dipalsukan.

Itu kan banyak yang dipalsukan. Kayak saya. Saya itu orang Malang, tapi KTP saya Cianjur. Itu sudah full plan jadi di sana. Saya cuma kasih foto.. KTP, Paspor besok semua sudah jadi.Kata LP.

Hal ini dapat ditarik kesimpulan berarti adanya pemalsuan identitas para calon buruh migran ketika mereka sampai di PJTKI untuk pemenuhan dokumen pengiriman. Selain itu pula, pemalsuan diperuntukkan agar ketika ada masalah maka masalah tersebut tidak akan dapat diselesaikan dengan baik.

Hanya itu. Setelah itu baru biasanya kita paspor. Nah, paspor itu pun banyak yang dipalsukan agar nanti kalau ada jenazah atau yang meninggal, itu tidak bisa menuntut asuransi, keluarganya tidak punya hak ahli waris.Kata LP.

III.2 Pemeriksaan Kesehatan dan Psikologi

Pemeriksaan kesehatan calon TKI hanya bisa dilakukan di Sarana-Sarana Kesehatan (Sarkes) yang sudah disahkan pemerintah. Prinsipnya pemeriksaan kesehatan calon TKI itu harus prima dan akurat, baru kemudian ditambah prinsip efisien dan ekonomis. Kita ingin mencegah kejadian calon TKI memperoleh sertifikat sehat di sini, tetapi saat diperiksa ulang di negara tempat kerja, dinyatakan tidak layak, dan harus dipulangkan karena alasan tidak sehat.

Buruh migran sebelum diberangkatkan terdapat beberapa tahapan yang harus dilakukan untuk memenuhi dokumen keberangkatan, salah satunya adalah pemeriksaan kesehatan dan psikologi. Pemeriksaan kesehatan dilakukan dengan adanya medical check up yang dilakukan oleh dokter yang telah ditunjuk oleh PJTKI. Tetapi sebelum adanya pemeriksaan oleh dokter, seringkali adanya pemeriksaan fisik yang dilakukan oleh para staf PJTKI. Pemeriksaan fisik dilakukan dengan melakukan pemeriksaan dengan cara para calon buruh migran diminta untuk melepaskan seluruh pakaian yang melekat dibadannya tanpa terkecuali.

”Nah, dimulai awal masuk itu kita sudah mulai cek medis, atau medical check up. Nah, dicek medis itu kita ditelanjangin. Itu kan sudah pelecehan. Kita akan buka baju. Semua dibuka dan itu yang memeriksa semua staf-staf itu laki-laki, perempuan,” selanjutnya LP juga menambahkan, “sedangkan untuk pemeriksaan psikologi jarang sekali dilakukan, hasil medical check up saja dapat dipalsukan begitu juga dengan data pemeriksaan lainnya”

Keterangan M. Chairul Hadi, Sekretaris Jenderal SBMI membenarkan hal tersebut.

“Contoh kasus di brebes misalnya: medical check up yang memang mengharuskan mereka semua diharuskan untuk telanjang. Namun disini permasalahannya adalah para TKW diperiksa oleh laki-laki”

Dalam pasal 48 UU No. 39 Tahun 2004 yakni Pemeriksaan kesehatan dan psikologi bagi calon TKI dimaksudkan untuk mengetahui dengan kesehatan dan tingkat kesiapan psikis serta kesesuaian kepribadian calon TKI dengan pekerjaan yang akan dilakukan di negara tujuan. Serta Sarana kesehatan dan lembaga yang menyelenggarakan pemeriksaan kesehatan dan psikologi dalam ketentuan ini dapat merupakan milik pemerintah baik pusat maupun derah dan/atau masyarakat yang memenuhi persyaratan yang ditetepkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Dan menurut Peraturan Menteri No. PER/19/MEN/V/2006 dalam pasal 18 menyebutkan: calon TKI yang telah lulus seleksi wajib melakukan pemeriksaan kesehatan dan psikologi dengan surat pengantar dari PPTKIS dan pemeriksaan kesehatan dan psikologi calon TKI diselenggarakan oleh sarana kesehatan dan lembaga yang menyelenggarakan pemeriksaan psikologi yang telah mendapatkan akreditasi dari Departemen Kesehatan dan ditunjuk oleh Menteri (Pasal 18 Permen No.PER. 19/MEN/V/2006).

III.3 Pendidikan dan Pelatihan Kerja

Pendidikan dan pelatihan kerja calon TKI, yang selanjutnya disebut diklat calon TKI, adalah proses pelatihan kerja untuk memberi, memperoleh, meningkatkan, dan mengembangkan kompetensi kerja, produktivitas, disiplin, sikap, dan etos kerja pada tingkat keterampilan dan keahlian tertentu sesuai dengan jenjang dan kualifikasi jabatan atau pekerjaan (Pasal 1 ayat 2 PERMEN No. Per.23/MEN/IX/2009).

Selain itu pula, buruh migran diberikan pendidikan dan pelatihan kerja di PJTKI sebelum adanya pemberangkatan.

Nah..gini, kadang-kadang kita di PJTKI tuh di penampungan, kita diajari..mm..apa ya..diajari masak, nyetrika, nyuci, nah..peralatan yang ada di Indonesia ini tidak secanggih apa yang akan dikerjakan disana, satu, kultur budaya, budaya itu kan seharusnya mereka juga..oo..Arab itu budayanya begini, begini,begini.. itu tidak pernah dijelaskan, bahasa, kita belum begitu paham bahasa dimana kita diberangkatkan, itu sudah diberangkatkan, otomatis ya,..ambilkan sendok, kita ambilkan pisau, ambil gelas, kita ambil sapu, kan otomatis karena majikan sudah merasa sudah membeli, dia marah, itu yang paling terjadi di arab itu. Kalau di Malaysia, Malaysia memang begitu...” kata LP.

Hal ini berarti, PJTKI memang memberikan pendidikan dan pelatihan kerja kepada para calon buruh migran. Tetapi pendidikan dan pelatihan kerja tersebut masih dianggap sangat kurang karena adanya perbedaan alat, bahasa, dan kebudayaan yang berada di negara penerima buruh migran tersebut. Faktor bahasa sangat dominan ketika melakukan suatu pekerjaan. Kurangnya informasi dalam bahasa akan menyebabkan adanya salah paham antara buruh migran dengan majikan yang telah membayarnya. Data yang diperoleh SBMI menyatakan bahwa faktor bahasa dan budaya sangat mempengaruhi kemungkinan terjadinya konflik antara buruh migran dengan majikannya.

“Penyebab sering terjadi kekerasan dikarenakan: belum cukup akan kemampuan bahasa, kemampuan pekerjaan, keahlian kerja, ketidaksiapan mereka, perbedaan budaya. Jadi mungkin bisa dibilang 60 % masalah datang dari negara asal (Indonesia). Sebagai contoh kecenderungan di bulan ramadhan mereka diharuskan bekerja 24 jam (Saudi Arabia), pada masa itu waktu istirahat sedikit, lelah, beban kerja banyak, menyebabkan mereka tidak dapat bekerja dengan maksimal sehingga majikan marah dan tejadilah kekerasan. Di Indonesia sebelum berangkat mereka diberikan Pembekalan Akhir Pemberangkatan (PAP) informasi yang diberikan kurang.”

Salah paham tersebut menjadi pemicu adanya penganiayaan dari majikan kepada buruh migran yang bekerja dirumahnya tersebut karena majikan telah merasa bahwa ia memiliki dan telah membayar buruh migran tersebut untuk bekerja dan patuh kepada dirinya. Sudah seharusnya PJTKI yang diberikan kepercayaan oleh negara untuk mengirimkan buruh migran tersebut memberikan pendidikan dan pelatihan kerja yang layak, paling tidak mendekati minimnya kesalahan yang akan timbul oleh perilaku buruh migran tersebut.

III.4 Uji Kompetensi

Uji kompetensi adalah kegiatan penilaian atas kompetensi yang dimiliki oleh seseorang yang merujuk pada standar kompetensi bidang dan jenjang profesi tertentu (Pasal 1 ayat 9 PERMEN No. Per.23/MEN/IX/2009). Setiap calon TKI yang akan bekerja di luar negeri wajib memiliki kompetensi kerja sesuai dengan persyaratan jabatan. Untuk mencapai kompetensi kerja dapat dilakukan melalui diklat calon TKI, Diklat calon TKI mengacu pada standar kompetensi kerja yang telah ditetapkan, Standar kompetensi kerja dapat menggunakan:

a. SKKNI;

b. Standar Internasional; atau

c. Standar Khusus (Pasal 4 PERMEN No. Per.23/MEN/IX/2009).

Sebelum diberangkatkan, adanya uji kompetensi setelah diberikan pendidikan dan pelatihan kerja oleh PJTKI. PJTKI memiliki pengajar dalam pendidikan dan pelatihan kerja tersebut, dan mereka pulalah yang memberikan nilai kelayakan apakah berhasil atau tidak mereka menyelesaikan pendidikan dan pelatihan kerja tersebut. Tetapi yang patut dipertanyakan adalah apakah kompetensi yang menjadi standar para pengajar menyatakan bahwa para calon buruh migran yang ikut serta dalam uji kompetensi tersebut lulus dan layak untuk dikirimkan ke negara tujuan. Jawabannya adalah tidak ada yang memberikan standar kelayakan bagi kelulusan dalam uji kompetensi para buruh migran, sehingga seringkali terjadi adanya perbedaan ajaran antara apa yang diajarkan oleh pengajar dengan majikan ketika mereka bekerja. Oleh karena itu, patutlah sering adanya terjadi kesalahan yang berujung dengan adanya penganiayaan terhadap buruh migran.

III.5 Pengurusan dokumen

Dokumen yang harus di miliki TKI :

a. Medical Report

b. Paspor

c. Visa Kerja

d. Tiket Perjalanan

e. Perjanjian Kerja

f. Kartu Peserta Asuransi

g. Buku Tabungan (lihat juga http://www.sinarharapananda.com/rekrutment. php?lang=id)

Dalam UU 39 Tahun 2004 pasal 51, pengurusan dokumen Pengurusan Dokumen untuk dapat ditempatkan diluar negeri, calon TKI harus memiliki dokumen yang meliputi:

a. Kartu Tanda Penduduk, Ijazah pendidikan terakhir, akte kelahiran atau surat keterangan kenal lahir;

b. Surat keterangan status perkawinan bagi yang telah menikah melampirkan copy buku nikah;

c. Surat keterangan izin suami atau istri, izin orang tua, atau izin wali;

d. Sertifikat kompetensi kerja;

e. Surat keterangan sehat berdasarkan hasil hasil pemeriksaan kesehatan dan psikologi;

f. Paspor yang diterbitkan oleh Kantor Imigrasi setempat;

g. Visa kerja;

h. Perjanjian penempatan kerja;

i. Perjanjian kerja, dan

j. KTKLN.

Dalam Pasal 52 menjelaskan Perjanjian penempatan TKI harus dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh calon TKI dan pelaksana penempatan TKI swasta setelah calon TKI yang bersangkutan terpilih dalam perekrutan serta Perjanjian penempatan TKI. Akan tetapi, beberapa dokumen tersebut seharusnya tidak dikenakan biaya, namun biaya akan muncul pada saat pemprosesan dokumen yang biasanya dibayarkan kepada biro jasa pengurusan dokumen. Persoalan ini sulit dielakkan dalam realita keseharian pengurusan dokumen mengingat ketidaktahuan TKI dalam persoalan administratif seperti yang dipersyaratkan UU Nomor 39 Tahun 2004.

Seperti yang telah disebutkan diatas bahwa keberangkatan buruh migran untuk keluar negeri harus didukung dengan adanya dokumen-dokumen tertentu yang harus dipenuhi, seperti pasport, visa, dan identitas lainnya. Oleh karena itu, sebelum diberangkatkan setiap calon buruh migran harus memiliki identitas diri, visa, pasport dan dokumen lainnya yang diperlukan.

Ketika perekrutan telah disebutkan bahwa ada dokumen yang harus dipenuhi oleh setiap calon buruh migran dan diharapkan dibawa untuk diurus demi keberangkatannya. Tidak akan timbul masalah jika semua dokumen tersebut asli dan legal, tetapi jika dokumen tersebut ilegal atau palsu maka akan terkena dampak yang sangat menyedihkan ketika buruh migran tersebut bekerja di negara dimana ia dipekerjakan. Visa dan pasport dokumen yang paling penting ketika seseorang akan berangkat ke luar negeri baik bertujuan untuk liburan, sekolah, ataupun bekerja. Tetapi sebagaian besar dari buruh migran memiliki visa kunjungan bukan visa bekerja.

“Dan kebanyakan mereka juga diberangkatkan itu, tanpa tahu visa itu visa kerja atau visa turis, visa kunjungan. Itu yang memang menjadi pokok permasalahan.” Kata LP.

Begitu juga dengan pengurusan paport, banyak pasport palsu yang beredar ketika adanya pengiriman buruh migran ke negara peneriman.

Setelah itu baru biasanya kita paspor. Nah, paspor itu pun banyak yang dipalsukan agar nanti kalau ada jenazah atau yang meninggal, itu tidak bisa menuntut asuransi, keluarganya tidak punya hak ahli waris. Kata LP.

Serupa tapi tak sama mengenai Kartu Tanda Penduduk, adanya perubahan alamat dan asal-usul seseorang dalam KTP tersebut. Ketika buruh migran tersebut sampai ke PJTKI yang berada jauh dari daerah asal buruh migran, dengan hanya menggunakan foto saja. Buruh migran mendapat identitas baru dengan adanya Kartu Tanda Penduduk yang dibuat oleh PJTKI tersebut.

Itu kan banyak yang dipalsukan. Kayak saya. Saya itu orang Malang, tapi KTP saya Cianjur. Itu sudah full plan jadi di sana. Saya cuma kasih foto.. KTP, Paspor besok semua sudah jadi.Kata LP.

Dengan demikian, dokumen yang diserah kepada majikan tempat buruh migran tersebut bekerja pun dapat dipastikan bahwa hampir seluruhnya dokumen tersebut palsu. Apalgi ketika buruh migran tersebut tidak nyaman dan tidak suka tinggal di tempat majikannya dan kemudian buruh tersebut melarikan diri tanpa membawa segala dokumen, dapat dipastikan buruh yang melarikan diri tidak akan membawa dokumennya karena berada di majikannya, dan kemudian ke tempat lain yang kemudian dijadikan pekerja dirumahnya justru dapat memperparah keadaan buruh migran tersebut.

“Malaysia dia...jadi ditempatkan di Malaysia, telah bekerja 1 bulan, majikannya jahat sekali, dia disekap, sering dianiaya dia, dipukulin, terus disekap. Nah.. setelah majikannya dia lengah, dia lari, turun dari lantai, turun pakai kain sprai, jadi jatuh dia tinggi sih, katanya 7 meter. Jatuh, lalu ditolong tetangga gitu, dibawa ke rumah sakit. Karena kondisi udah gak ini.. akhirnya begitu di rumah sakit, majikannya kan di telpon..justru majikannya bilang bahwa dia itu tidak berdokumen, dia itu pendatang haram. Padahal dia punya pasport, punya visa..” kata LP.

Selain itu pula terdapat buruh migran yang dibuang begitu saja oleh majikan jika pekerjaannya tidak sesuai dengan yang diminta oleh majikannya tersebut.

“Makanya banyak TKI yang tertangkap, akhirnya dipenjara terus dideportasi. Namanya kalau Arab kan “tarkil” gitu..., makanya mereka di deportasi akhirnya. PJTKI kan tanda tangan akhirnya negara yang membiayai, kalo di pulangkan.. baru nanti setelah di Indonesia, liat dulu. Biasanya kan kasusnya begini, Arab saudi itu banyak yang bohong, bener majikannya tuh banyak yang bohong, jadi mereka itu kadang – kadang e....si pembantu ini majikan tidak suka dengan pembantu ini kemudian mereka dibuang.” Kata LP.

Selain mengenai buruh migran yang melarikan diri, ada pula permasalahan mengenai penempatan buruh migran yang tidak sesuai dengan apa yang diberikan ketika penandatangan perjanjian kerja. Perjanjian kerja ditandatangani ketika buruh migran tersebut berada di pesawat sebelum mereka diberangkatkan, selain itu pula bahasa yang digunakan bukanlah bahasa Indonesia melainkan bahasa Inggris dan bahasa tempat tujuan buruh migran tersebut.

Jadi gini, kita tahunya nanti gini.. nanti kita terbang. Langsung diterbangkan. Kita di pesawat itu baru dikasih, “Nih, job order kamu.”. Nggak, ya tahu dari awal kita terbang ke mana. Itu dikasih tau… “Ini lho.. kamu terbang ke mana. Ini kamu diterima di negara ini.” Abis itu baru di pesawat dikasih job order. Tanda tangan kontrak kerja juga di situ. Kata LP.

Ketika sampai ditempat tujuan, terdapat pula penempatan yang tidak sesuai dengan apa yang dijanjikan.

“Ndak sesuai dengan job order ku yang ada di Indonesia. Saya oke daftar, karena saya akan di jadikan perawat di Taiwan. Ternyata, setelah semua selesai, aku di berangkatkan ke Taiwan 40 orang, Trus sampai Taiwan, Agent tuh bilang apa?? Job order kamu sudah di isi orang..untuk sementara waktu, kamu kerja di perkebunan, ya kan ga benar itu....., Akhirnya kami di buang ke perkebunan.” Kata LP

Ketika para buruh migran tersebut lari dari pekerjaannya maka perlindungan yang diberikan oleh pemerintah tidak dapat melindungi mereka bahkan membuat mereka lebih tersiksa lagi.

“Jadi gini, kalo apabila ada masalah buruh migran yang diluar negeri sebenarnya yang tau duluan itu biasanya keluarga kan..keluarga biasanya dihubungi, baru keluarga kan kadang bingung mau cari perlindungan kemana...nah baru biasanya banyak teman-teman LSM dulu, kita advokasi, kita desak Deplu, kita desak BNP, kita desak KBRI juga untuk cepat memulangkan dan memproses..nah setelah itu mungkin prosesnya berjalan disana oleh Deplu dan Kantor Perwakilan..habis itu,mungkin setelah itu selesai dipulangkan..okelah bisa dipulangkan ke Indonesia. Nah, di Indonesia sendiri ini untuk jaminan kesehatan atau perlindungan itu,tidak pernah ada sama sekali..jadi,pulang ya pulang saja.” Kata LP.

Tidak adanya jaminan akan kesehatan dan keselamatan buruh migran itu sangat kontras dengan kewajiban buruh migran yang diharuskan membayar biaya asuransi dan uang perlindungan sebelum berangkat ke negara tujuan di Bandar Udara.

“Setiap TKW dipungut U$ 15 oleh pemerintah Indonesia untuk alasan perlindungan dan juga asuransi Rp.400.000. Klaim ganti rugi hanya didapatkan jika ada masalah. Hal ini sangat disayangkan karena mereka memberikan konstribusi pada negara tapi negara tidak membantu. Banyak TKW tidak tahu harus berbuat apa apa dan hanya diam saja.” (M. Chairul Hadi, SBMI)

Banyak sekali penindasan yang dilakukan oknum-oknum yang menginginkan keuntungan dari melakukan pemerasan bagi buruh migran yang pulang dengan membawa uang ataupun dideportasikan dari negara majikannya tersebut.

“Ya, memang iya..jadi, buruh migran itu kalau masuk terminal 4 itu sudah kayak masuk neraka, pertama turun dari pesawat itu kita naik bis, di dalam bis itu kita sudah dimintai uang, paksa itu.” Kata LP. “Ya, paling dipersulit.. sampai 4-5 hari tinggal di bandara itu. Itu masuk, sudah masuk ke ruang pendataan, diruang pendataan tuh lebih menakutkan lagi, kita dicek kita bawa apa aja, satu-satunya barang, uang berapa jumlahnya, barang apa yang dibawa, itu harus didata disitu, kan itu rentan! Itu didata semuanya, sehabis itu, itu disuruh dipaksa beli tiket, tiket pulang kerumah, daerah masing-masing, Jawa Timur, Jawa Tengah itu, dan itu harganya jauh lebih mahal daripada tiket yang berada di luar dengan alasan keamanan dan sebagaimanya padahal kalau dipikir enggak, justru gak aman. Setelah itu, mereka naik travel, travel yang disediakan di terminal 4, setelah naik travel itu, mereka yang sukses, itu digiring dulu, harus tuker uang ke money changer dengan dengan kurs sangat rendah, Iya...nah kecuali, dan mereka yang tarkil, mereka yang ndak punya biaya itu, yang dideportasi itu, biayanya dikembalikan lagi ke PJTKI, PJTKI akan meminta denda kepada keluarganya karena dipulangkan kan, sebelum habis kontrak kok dipulangkan, gitu..yang selama ini kita sering alami hal itu,jadi kita ini hanya jadi sapi perah..” kata LP.

Hal yang terjadi saat ini membuat gerah berbagai pihak, mungkin ketika yang berbuat kejahatan adalah pihak lain dari negara majikan mungkin masih bisa dimaklumin dan harus ditindak sesuai dengan hukum. Tetapi sangat mengherankan ketika pihak sendiri yang melakukan kejahatan yang seharusnya malah bertugas untuk melindungi para buruh migran tersebut.

Dengan demikian, dibutuhkan sanksi untuk menindak bagi oknum-oknum yang melakukan kejahatan terhadap para buruh migran sebelum atau pun sesudah keberangkatan buruh migran tersebut.

BAB IV

PENUTUP

IV. 1. Kesimpulan

Dari pembahasan yang telah diuraikan dihubungkan dengan pokok permasalahan yang telah dirumuskan, maka kami dapat menarik kesimpulan bahwa:

1. Permasalahan yang muncul selama proses perekrutan dan pemberangkatan buruh migran ke negara tujuan pada tahap pra keberangkatan yaitu pertama, seleksi yang dilakukan memakai calo dan tidak memakai petugas yang langsung dari pemerintah. Kedua, banyak dokumen-dokumen yang dipalsukan seperti surat pengatar dari keluarga, KTP palsu, dan paspor serta para buruh migran menggunakan Visa turis bukan Visa kerja. Ketiga, pemeriksaan kesehatan dan psikologi, medical check up bisa dibeli. Keempat, terjadi pelecehan atau tindak asusila pada saat pemeriksaan kesehatan dan yang memeriksa adalah laki-laki, bukan perempuan. Kelima, masa pendidikan dan pelatihan kerja tidak ada. Keenam, kontrak kerja dikasih pada saat di pesawat dengan menggunakan bahasa inggris yang tidak dimengerti oleh buruh migran dan dipaksa untuk menandatanganinya. Ketujuh, adanya ketidaksesuaian antara apa yang diperjanjikan bersama antara buruh migran dengan pihak PPTKIS dengan apa yang dikerjakan pada saat ditempatkan. Kedelapan, uji kompetensi bisa di beli. Kesembilan, sering terjadi pemungutan liar dengan dalih untuk asuransi dan keselamatan. Kesepuluh, tidak ada lembaga yang memberikan standar kompetensi untuk menentukan kelulusan TKI untuk bekerja.

2. Kekerasan yang sering dialami oleh buruh migran tidak lain dan tidak bukan karena buruh migran tidak diperlengkapi keahlian khusus yang memadai, misalnya buruh migran perempuan tidak diperlengkapi keahlian dalam bidang teknologi, dan buruh migran perempuan tidak diajarkan kebudayaan tempat tujuan, serta buruh migran perempuan tidak memiliki kemampuan bahasa yang memadai terlebih lagi tidak mengetahui kemana setiap buruh migran mendapat perlindungan secara hukum.

3. Upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia tidak dilaksanakan dengan maksimal. Upaya yang diberikan dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 2004 tentang Perlindungan dan Penempatan TKI di Luar Negeri hanya berpusat pada penempatan saja dan tidak memikirkan upaya untuk melindungi bahkan untuk me-maintenance sehingga upaya perlidungan tidak berarti/signifikan untuk melindungi buruh migran perempuan para tahap pra keberangkatan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pemerintah Indonesia tidak memiliki inisiatif untuk memberikan perlindungan secara hukum bagi buruh migran khususnya kaum perempuan.

IV. 2. Saran

Berdasarkan pembahasan yang telah kami sampaikan, kami memberikan saran dan rekomendasi, agar:

  1. Segera untuk meratifikasi Konvensi Internasional mengenai Perlindungan Buruh Migran yang melindungi hak berserikat bagi pekerja migran, tidak boleh mem-PHK pekerja migran, akses untuk mencari dan mendapatkan pekerjaan, dan akses untuk pindah bekerja dan dapat bekerja mandiri bagi pekerja migran.
  2. Buruh migran harus diikutsertakan dalam berbagai penyuluhan dan sosialisasi pekerjaan yang dihadapi serta solusi untuk mengatasi permasalahan di negara tujuan.
  3. KBRI seharusnya membuat lembaga khusus untuk menampung segala aspirasi buruh migran, khususnya untuk perempuan yang mendapatkan perlakuan yang diskriminasi ataupun kekerasan lainnya.
  4. Mengkoordinasikan dan memberdayakan kembali BNP2TKI di tiap propinsi agar dapat berfungsi kembali.

DAFTAR PUSTAKA

A. Peraturan Perundang-undangan

Indonesia. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Tentang Pendidikan dan Pelatihan Kerja Bagi Calon Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, PERMEN No. Per.23/MEN/IX/2009.

Indonesia. Peraturan Menteri Tentang Pelaksanaan Penempatan dan Perlindungan TKI di luar negeri, Permen No.PER. 19/MEN/V/2006.

Indonesia. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1969 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Tenaga Kerja.

Indonesia. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004Tentang Perlindungan dan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.

UN. Konvensi Buruh Migran Tahun 1990.

B. Buku

Dirjen Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja Depnakertrans RI, pokok-pokok Tenaga Kerja Ke Luar Negeri, (Jakarta : Depnaker RI, 1999/2000).

Michele Ford, Migran Labour in Southeast Asia, Country Study : Indonesia, Flinders Asia Centre & School of Political and International Studies, Flinders University.

Sri Mamudji, dkk. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, 2005, Jakarta : Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Wibawa, Yohanes B. Seri Panduan Buruh Migran Indonesia : Malaysia. Jakarta : Migran CARE PRESS. 2004.

C. Artikel Internet

http://infosbmi.blogspot.com/

http://www.iwork-id.org/index.php?action=news.detail&id_news=50

http://www.sinarharapananda.com/rekrutment.php?lang=id

2 komentar:

PAK SUKIMAN mengatakan...

saya mengucapkan banyak terimakasih kepada MBAH KASSENG yang telah menolong saya dalam kesulitan ini, tidak pernah terfikirkan dari benak saya kalau nomor yang saya pasang bisa tembus dan ALHAMDULILLAH kini saya sekeluarga sudah bisa melunasi semua hutang2 kami,sebenarnya saya bukan penggemar togel tapi apa boleh buat kondisi yang tidak memunkinkan dan akhirnya saya minta tolong sama MBAH KASSENG dan dengan senang hati MBAH KASSENG ini mau membantu saya..,ALHAMDULILLAH nomor yang dikasi MBAH KASSENG semuanya bener2 terbukti tembus dan baru kali ini saya menemukan dukun yang jujur,jangan anda takut untuk menhubungi nya jika anda ingin mendapatkan nomor yang betul2 tembus seperti saya,silahkan hubungi MBAH KASSENG DI 0853-4288-2547
ingat kesempat tidak akan datang untuk yang kedua kalinya dan perlu anda ketahui kalau banyak dukun yang tercantum dalam internet,itu jangan dipercaya kalau bukan nama MBAH KASSENG

Aseph My mengatakan...

CERITA KISAH SUKSES DARI SAYA

Sumpah demi allah ini kisah cerita nyata saya...

Assalamu Alaikum wr-wb, Saya pak Aseph seorang TKI kerja di malaysia. Mohon maaf mengganggu waktu dan aktifitas ibu/bpk, saya cuma bisa menyampaikan melalui pesan singkat dan semoga bermanfaat, Saya sangat berterima kasih banyak kpd MBAH WIRANG atas bantuan nomer togelNya yang beliau berikan kemaren kpd saya untuk 4D , kini kehidupan saya sekeluarga sudah jauh lebih baik dari sebelumnya,ternyata apa yang di tulis oleh orang2 tentang MBAH WIRANG di internet termasuk pak zahid hamidi itu semuanya benar benar terbukti dan saya adalah salah satunya orang yang sudah membuktikannya sendiri,usaha yang dulunya bangkrut kini alhamdulillah sekarang sudah mulai bangkit lagi itu semua berkat bantuan beliau,saya tidak pernah menyangka kalau saya sudah bisa kembali sesukses ini dan kami sekeluarga tidak akan pernah melupakan kebaikan beliau, setiap ada room yg saya temui pasti saya posting nomer beliau agar sahabat2 semua bisa seperti saya.. Bagi anda yang butuh nomer togel silahkan waps +628234'666'7564 Mbah Wirang...






Salam Nak Rantau