Minggu, 20 Desember 2009

KARAKTERISTIK, TANGGUNG JAWAB PROFESI, DAN PELAKSANAAN KODE ETIK PROFESI ADVOKAT DI INDONESIA

BAB I

PENDAHULUAN

I. Latar Belakang

Manusia merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna karena dilengkapi dengan akal, perasaan, dan kehendak[1]. Akal adalah alat berpikir, digunakan untuk menilai mana yang benar dan yang salah, sebagai sumber nilai kebenaran. Perasaan adalah alat untuk menyatakan keindahan, digunakan untuk menilai mana yang indah dan mana yang jelek, sebagai sumber keindahan. Kehendak adalah alat untuk menyatakan pilihan, digunakan untuk menilai mana yang baik dan mana yang buruk, sebagai sumber nilai moral. Jika dihubungkan dengan profesi hukum, maka kebutuhan manusia untuk memperoleh pelayanan hukum termasuk perilaku manusiawi yang dilandasi oleh nilai moral dan nilai kebenaran. Pengemban profesi hukum memiliki tanggung jawab untuk memberikan layanan hukum yang sebaik-baiknya kepada klien yang membutuhkan. Hal ini membeikan kesimpulan bahwa nilai moral dan nilai kebenaran merupakan sesuatu yang harus dijunjung tinggi sebagai pedoman perilaku manusia.

Pada saat ini, permasalahan hukum yang timbul di tengah-tengah masyarakat semakin kompleks. Sebagai contoh, masalah hukum dan keadilan tidak hanya menilai bahwa suatu perbuatan adalah bertentangan atau tidak dengan undang-undang, melainkan juga hukum kebiasaan yang timbul dalam masyarakat. Permasalahan hukum pada saat ini berkisar pada bagaimana cara mempersiapkan hukum yang belum ada, dan menyesuaikan hukum yang telah ada dengan perkembangan tatanan kehidupan dunia. Untuk menjamin proses pemberian layanan hukum yang sehat kepada klien ditengah permasalahan hukum yang semakin kompleks, maka kebutuhan akan etika, standar, dan tanggung jawab profesi hukum menjadi suatu hal yang sangat penting dan mendesak.

Advokat merupakan salah satu profesi hukum yang dapat memberikan bantuan atau layanan hukum kepada masyarakat yang membutuhkan. Bentuk dari layanan hukum ini dapat berupa pemberian nasihat hukum (legal advice), bimbingan hukum, hingga menjadi penerima kuasa di dalam dan diluar pengadilan[2]. Kebutuhan akan etika, standar, dan tanggung jawab profesi bagi profesi advokat menjadi sangat penting untuk mewujudkan peranan advokat yang sesuai dengan harapan masyarakat. Advokat diharapkan sebagai seorang profesional yang memiliki kewenangan integritas untuk memberikan bantuan hukum demi tegaknya hak-hak hukum orang yang membutuhkan jasanya[3]. Advokat juga memiliki tanggung jawab moral untuk menciptakan dan/atau meluruskan kebenaran suatu peristiwa hukum.

Namun, kewenangan untuk memberikan bantuan hukum yang seyogianya dimiliki oleh advokat, dapat juga menimbulkan kemungkinan baginya untuk melakukan perbuatan tercela yang dapat merugikan pemakai jasanya (klien). Kode etik profesi advokat menjadi pedoman perilaku yang harus dilaksanakan oleh advokat agar advokat dapat bertugas sesuai dengan perannya sebagai penegak hukum dan pembela kepentingan hukum kliennya.

II. Pokok Permasalahan

Adapun pokok permasalahan yang akan dibahas dalam critical paper ini adalah sebagai berikut:

1. Apakah yang menjadi karakteristik dasar profesi advokat?

2. Bagaimanakah pengaturan mengenai kode etik profesi advokat?

3. Bagaimanakah hubungan antara tanggung jawab profesi dengan pelaksanaan tugas advokat sebagai profesional?

III. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan critical paper ini adalah:

1. Untuk mengetahui karakteristik dasar profesi advokat.

2. Untuk menjabarkan peraturan-peraturan yang yang mengatur mengenai kode etik profesi advokat, misalnya mengenai kode etik perilaku advokat, sanksi bagi yang melanggar, atau organisasi yang menindak pelanggaran kode etik.

3. Untuk menjelaskan hubungan antara tanggung jawab profesi dengan pelaksanaan tugas advokat sebagai pihak yang profesional di bidang hukum.

BAB II

PEMBAHASAN

I. Karakteristik Dasar Profesi Advokat

A. Profesi Advokat

Secara umum, yang dimaksud dengan profesi adalah pekerjaan dalam arti khusus, yaitu pekerjaan bidang tertentu, mengutamakan kemampuan fisik dan intelektual, bersifat tetap, dengan tujuan memperoleh pendapatan. Profesi juga dapat dirumuskan sebagai pekerjaan tetap di bidang tertentu berdasarkan keahlian khusus yang dilakukan secara bertanggung jawab dengan tujuan memperoleh penghasilan[4]. Pekerja yang menjalankan profesi disebut profesional. Liliana Tedjosaputro, sebagaimana dikutip oleh Supriadi dalam bukunya Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum, menyatakan bahwa, agar suatu lapangan kerja dinyatakan sebagai profesi, maka diperlukan lima hal, yaitu pengetahuan, penerapan keahlian (competence of application), tanggung jawab sosial (social responsibility), self control, dan pengakuan dari masyarakat (social sanction)[5].

Secara tradisional, ada empat jenis profesi, yaitu kedokteran, hukum, pendidikan, dan kependetaan[6]. Sesuai dengan perkembangan zaman, maka jenis-jenis profesi semakin bertambah, seperti profesi akuntan dan profesi teknik. Suatu ciri khas yang membedakan profesi hukum dengan profesi lainnya (karakteristik khusus profesi hukum) adalah profesi hukum sangat bersentuhan langsung dengan kepentingan manusia atau orang lain yang disebut dengan klien[7].

Advokat merupakan salah satu profesi hukum yang telah dikenal di dunia sejak ratusan tahun yang lalu. Keberadaan profesi advokat erat hubungannya dengan penegakkan hukum dan keadilan berdasarkan aspirasi keadaan sosial, hak asasi manusia, dan demokrasi. Ada bermacam-macam istilah yang menyebutkan advokat dari berbagai negara, misalnya advocato, attorney, rechtsanwalt, barrister, procureurs, advocaat, dan abogado. Kata advokat berasal dari bahasa latin, yaitu advocare, yang berarti mempertahankan atau memberikan bantuan kepada orang lain. Black’s Law Dictionary memberikan pengertian profesi advokat, yaitu “to speak in favor of or defend by argument; the one who assists, defends, or pleads for another; the one who renders legal advice and aid and pleads the cause of another before a court or a tribunal; a counselor”. Sedangkan, Declaration of the World Conference on the Independence of Justice atau Universal Declaration on the Independence of Justice memberikan pengertian “Lawyer means a person qualified and authorized to practice before the courts and to advise and to represent his clients in legal matters”. Undang-undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat memberikan pengertian tentang advokat, yaitu orang yang berprofesi memberikan jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan undang-undang tersebut.

Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk diangkat menjadi seorang advokat tercantum pada pasal 3 ayat (1) UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Adapun syarat-syarat tersebut adalah:

1. Warga negara Republik Indonesia

2. Bertempat tinggal di Indonesia

3. Tidak berstatus sebagai pegawai negeri atau pejabat negara

4. Berusia sekurang-kurangnya 25 tahun

5. Berijazah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum

6. Lulus ujian yang diadakan Organisasi Advokat

7. Magang sekurang-kurangnya 2 tahun secara terus-menerus pada kantor advokat

8. Tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih

9. Berperilaku baik, bertanggung jawab, adil, dan mempunyai integritas yang tinggi.

Sebelum menjalankan profesinya, sesuai dengan ketentuan pasal 4 ayat (1) UU No. 18 Tahun 2003, advokat wajib diambil sumpahnya terlebih dahulu. Sumpah dapat dilakukan menurut agama yang dianutnya, atau di hadapan sidang terbuka di Pengadilan Tinggi di wilayah hukumnya. Salinan berita acara sumpah yang dilakukan oleh advokat akan diteruskan kepada Mahkamah Agung, Menteri Hukum dan HAM, dan Organisasi Advokat.

Lembaga advokat di Indonesia pertama kali diperkenalkan oleh pemerintahan kolonial Belanda. Segala pengaturan mengenai profesi advokat harus mengikuti peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh pemerintah Belanda, antara lain Reglement op de Rechterlijke Organisatie en het Beleid der Justitie in Indonesie (stbl. 1847: 23 jo. stbl 1848: 57), pasal 185 sampai dengan pasal 192 dilengkapi dengan tambahannya, Bepalingen Betreffende het kostuum der Rechterlijke Ambtenaren dat der Advokaten procureurs en Deuwaarders (stbl. 1848: 8), Bevoegdheid department hoof in bergerlijke zaken van land (stbl. 1910: 446 jo. stbl 1922: 523), dan Vertegenwoordiging van de land in rechten (K.B.S. 1922: 522)[8]. Luhut M. P. Pangaribuan memberikan penjelasan bahwa istilah advokat merupakan istilah resmi profesi dalam sidang peradilan Indonesia[9]. Istilah ini pertama kali ditemukan dalam Bab IV ketentuan Susunan Kehakiman dan Kebijaksanaan Mengadili (RO). Seseorang menjadi resmi sebagai advokat untuk menjalankan profesinya setelah memperoleh gelar meester in de rechten (Mr).

Pada saat ini, penyebutan profesi advokat sering digandengkan dengan pengacara. Kedua profesi ini memang sama-sama bergerak di bidang bantuan hukum, khususnya litigasi. Perbedaan antara dua profesi ini adalah di bidang kompetensinya. Untuk pengacara, wilayah bantuan hukum yang dapat ditanganinya adalah satu wilayah pengadilan tinggi, sedangkan wilayah bantuan hukum yang dapat ditangani advokat meliputi wilayah hukum seluruh Indonesia. Pengacara diangkat dengan keputusan ketua pengadilan tinggi tempat pengacara itu berpraktek, sedangkan pengangkatan advokat dilakukan oleh Organisasi Advokat dan salinan surat pengangkatan tersebut diserahkan kepada Mahkamah Agung dan Menteri Hukum dan HAM[10].

Sebagai profesional di bidang hukum, profesi advokat juga memiliki organisasi yang menaungi seluruh advokat di Indonesia. Hanya saja keberadaan organisasi profesi ini masih belum sesuai dengan amanah UU No. 18 Tahun 2003 Tentang Advokat. Pasal 28 ayat (1) undang-undang tersebut memberikan amanah untuk membentuk satu organisasi yang menjadi wadah profesi yang bebas dan mandiri dengan tujuan meningkatkan kualitas profesi advokat. Organisasi tunggal tersebut harus ada selambat-lambatnya 24 bulan sejak undang-undang advokat diundangkan (pasal 32 ayat (4) UU No. 18 Tahun 2003). Mengikuti amanah tersebut, pada 21 Desember 2004 (20 bulan setelah undang-undang tersebut diundangkan), dibentuklah organisasi Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI). Organisasi PERADI tersebut merupakan gabungan dari seluruh organisasi advokat yang ada di Indonesia, yaitu Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN), Ikatan Penasehat Hukum Indonesia (IPHI), Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI), Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Serikat Pengacara Indonesia (SPI), Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI), Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI), dan Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM)[11]. Suatu kesalahan didalam pendirian organisasi tersebut, yang sebagaimana dituturkan oleh Bapak Taufik Rahman, S.H, M.H[12], adalah bahwa kedelapan organisasi yang bergabung ini bersama-sama melaksanakan tugas dan wewenang organisasi advokat, tanpa menghilangkan eksistensi dari organisasi-organisasi yang telah ada sebelumnya (sehingga tidak ada organisasi tunggal)[13]. Pada awal tahun 2008, berdiri lagi satu organisasi advokat yang bernama Kongres Advokat Indonesia (KAI). Oleh karena itu, hingga saat ini, amanah pasal 28 ayat (1) UU No. 18 Tahun 2003 masih belum dilaksanakan.

B. Karakteristik Khusus Profesi Advokat

Sebelum diundangkannya UU No. 18 Tahun 2003, Bapak Koes Pramudjo, S.H.[14], berpendapat bahwa karakteristik khusus advokat adalah lulusan fakultas hukum yang telah menangani sejumlah perkara pidana dan perdata. Dahulu, untuk diangkat menjadi advokat (diambil sumpahnya), seorang calon advokat harus menyerahkan dokumen yang menunjukkan bahwa ia telah menangani sepuluh kasus pidana dan sepuluh kasus perdata kepada Menteri Kehakiman. Setelah memenuhi syarat tersebut, barulah calon advokat dapat diambil sumpahnya sebagai advokat[15].

Menurut Bapak Taufik Rahman, S.H., M.H., karakteristik khusus profesi advokat yang membedakannya dengan profesi hukum lainnya adalah bahwa advokat membela kepentingan hukum klien yang memiliki masalah dalam dirinya[16]. Sama halnya dengan yang diutarakan oleh Bapak Taufik Rahman, S.H., M.H., narasumber lainnya, Bapak Koes Pramudjo, S.H., mengatakan bahwa karakteristik khusus profesi advokat adalah membela kepentingan hukum klien sebagaimana yang tercantum dalam surat kuasa. Surat kuasa yang dimaksud dalam hal ini adalah surat kuasa khusus. Dasar hukumnya adalah pasal 123 ayat (1) H.I.R. Beliau menambahkan bahwa meskipun klien menggunakan jasa advokat dari suatu kantor advokat yang berisikan banyak advokat, tetap saja advokat-advokat yang tidak dimasukkan namanya di dalam surat kuasa khusus tidak dapat berperkara mewakili klien dalam proses persidangan.

Dalam wawancaranya, Bapak Koes Pramudjo, S.H., memberikan perbedaan mengenai karakteristik profesi advokat dengan profesi jaksa, hakim, dan notaris. Notaris asal katanya adalah notarius dari bahasa Latin yang berarti harafiah mencatat. Menurut Beliau, karakteristik profesi notaris adalah melakukan pencatatan, misalnya dalam mencatat pendirian Perseroan Terbatas (PT), mencatat perjanjian jual-beli, dan mencatat surat wasiat dalam hukum waris. Semua bentuk catatan tersebut dituangkan dalam akta notariil, sehingga isi dari akta yang dicatat oleh notaris tersebut memiliki kekuatan hukum. Karakteristik profesi jaksa, menurut beliau, adalah penuntut umum. Jaksa adalah orang yang mewakili kepentingan umum apabila hak seseorang atau sekelompok orang dilanggar dalam bentuk tindak pidana. Jaksa juga merupakan pengacara negara, yang mewakili kepentingan negara dalam bidang hukum perdata dan hukum tata usaha negara. Sedangkan, karakteristik profesi hakim adalah melakukan penemuan hukum (rechtsvinding) terhadap kasus yang diadili melalui putusan pengadilan.

Beberapa peraturan yang mendukung pendapat tersebut adalah pasal 54 dan 55 KUHAP, serta pasal 118 ayat (1) dan pasal 123 ayat (1) H.I.R. Pasal 54 dan 55 KUHAP berisikan tentang hak tersangka maupun terdakwa untuk mendapatkan bantuan hukum. Tersangka atau terdakwa berhak mendapatkan bantuan hukum dari seorang atau lebih penasehat hukum, selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan. Tersangka atau terdakwa berhak untuk memilih sendiri penasehat hukumnya[17]. Tersangka atau terdakwa juga berhak untuk menghubungi penasehat hukumnya pada saat yang diinginkannya pada saat penahanan (pasal 57 ayat (1) KUHAP). Pasal 118 ayat (1) dan pasal 123 ayat (1) H.I.R berisikan tentang adanya bantuan hukum yang dapat dikehendaki oleh para pihak yang berperkara.

Meskipun undang-undang telah memberikan dasar hukum mengenai bantuan hukum kepada pihak yang berperkara, masih banyak masyarakat awam yang cenderung menilai bahwa advokat membela klien dengan segala cara sehingga klien tersebut menang dalam perkara yang dihadapinya. Perspektif terburuk dari masyarakat adalah ketika seorang atau sekelompok advokat memenangkan perkara dari terdakwa dalam kasus pidana. Masyarakat awam seringkali beranggapan bahwa pihak terdakwa merupakan orang yang bersalah, tetapi masih saja dapat dimenangkan perkaranya dengan bantuan advokat. Padahal, advokat bertugas untuk membela kepentingan hukum kliennya, bukan perbuatannya. Advokat berkewajiban untuk memastikan bahwa kliennya tidak diproses secara sewenang-wenang oleh pihak yang berwenang. Bapak Taufik Rahman, S.H., M.H., mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kepentingan hukum adalah segala sesuatu yang terkait dengan pasal-pasal yang ada dalam undang-undang dan penerapannya. Misalnya, dalam KUHAP diatur bahwa terdakwa berhak untuk mendapat kunjungan keluarga dalam masa penahanan, maka penyidik maupun penuntut umum tidak boleh melarang terdakwa untuk tidak menemui keluarganya maupun sebaliknya.

C. Hubungan Antara Tanggung Jawab Profesi Advokat dengan Profesi yang Dijalankan oleh Advokat

Yang dimaksud dengan tanggung jawab profesi menurut Black’s Law Dictionary adalah ”one engaged in one of learned professions on in an occupation requiring a high level training and proficiency.” Unsur yang ada dalam definisi tanggung jawab profesi adalah adanya orang yang memberikan jasa dan tanggung jawab dari pengemban profesi atau pemberi jasa terhadap jasa yang diberikannya. Tanggung jawab profesi terdiri atas dua macam, yaitu tanggung jawab profesi berdasarkan kode etik organisasi profesi yang bersangkutan (intern), dan tanggung jawab profesi berdasarkan hukum dan peraturan perundang-undangan (ekstern). Tanggung jawab profesi yang berdasarkan hukum didefinisikan sebagai tanggung jawab hukum pemberi jasa atau pengemban profesi atas jasa yang diberikan kepada klien atau tanggung jawab hukum pengemban profesi terhadap pihak ketiga. Franz Magnis-Suseno dalam bukunya “Etika Sosial”, sebagaimana dikutip E. Sumaryono dalam “Etika Profesi Hukum Norma-norma Bagi Penegak Hukum” menyatakan bahwa setiap pemegang profesi dituntut dua jenis keharusan, yaitu keharusan untuk menjalankan profesinya secara bertanggung jawab, serta keharusan untuk tidak melanggar hak-hak orang lain[18].

Secara umum, tugas seorang advokat adalah menjadi penasehat hukum dalam perkara-perkara yang dihadapi oleh kliennya. Esensi dibalik tugas tersebut adalah memberikan pelayanan kepada klien tidak hanya semata-mata di bidang litigasi, melainkan juga memberikan nasehat hukum atau nasehat lainnya. Banyak sekali masyarakat yang tidak mengerti akan hukum yang meminta bantuan kepada para advokat untuk dibela kepentingan hukumnya. Pemberian bantuan hukum seorang advokat, baik yang tertera dalam surat kuasa khusus untuk mewakili berperkara maupun tanpa persetujuan pemberi kuasa, dapat dilakukan sepanjang tidak melampaui batas-batas tindakan hukum.

Esensi dari tugas pokok advokat adalah melayani dan mengabdi. Advokat yang ditunjuk oleh klien wajib memberikan pelayanan, jika menolak maka advokat dapat dianggap telah melanggar sumpah jabatan dan melanggar peraturan kehormatan. Advokat memiliki hak untuk meminta honor dari jasa yang diberikan olehnya. Namun, advokat tidak dibenarkan untuk menolak permohonan bantuan hukum dari klien yang tidak mampu. Advokat tidak dibenarkan untuk melepaskan tugasnya yang mengakibatkan kerugian kepada klien. Apabila advokat melakukan perbuatan yang merugikan klien, maka menurut pasal 58 dan 96 Rv, advokat dapat dikenakan sanksi untuk membayar ganti kerugian yang telah diderita kliennya.

Pada dasarnya, advokat tetaplah manusia yang berarti bahwa advokat memiliki kewajiban untuk saling menghormati dan menghargai sesama manusia. Advokat memiliki kebebasan bicara selayaknya warga negara dan dilindungi oleh hukum. Advokat juga bebas untuk bertindak asalkan bertanggung jawab terhadap tindakannya. Advokat tidak dibenarkan untuk melakukan penghinaan atau penuduhan dengan kata-kata yang menyakitkan hati kepada pihak lawannya. Advokat diharapkan untuk sedapat mungkin menghidari tindakan untuk melukiskan secara gelap kelakuan lawan dan kecenderungan untuk melakukan penghinaan dann ucapan yang bertentangan dengan kepentingan tugas umum yang diembannya.

II. Pengaturan-pengaturan Mengenai Kode Etik Profesi Advokat

A. Pengertian Kode Etik Profesi

Profesi adalah suatu masyarakat moral yang memiliki cita-cita dan nilai bersama. Masyarakat ini dipersatukan oleh kesamaan latar belakang pendidikan dan keahlian, sehingga tertutup bagi orang lain yang berbeda dari itu. Dengan demikian, profesi dapat dianggap sebagai suatu kelompok tertentu yang memiliki kekuasaan tersendiri dan tanggung jawab khusus sesuai dengan pekerjaan yang dilaksanakan oleh para profesionalnya. Hal ini dapat menimbulkan monopoli atas suatu keahlian tertentu, sehingga dapat menimbulkan bahaya profesi, misalnya seorang klien yang menggunakan jasa profesi tertentu memiliki kecurigaan bahwa ia merasa dipermainkan, tetapi tidak ada yang dapat membuktikan apa yang terjadi karena profesi bersifat tertutup. Oleh karena itu, untuk mengimbangi dan mengeliminasi sisi negatif profesi ini, maka setiap profesi harus merumuskan kode etik yang sesuai dan diberlakukan secara menyeluruh untuk semua orang yang bekerja dalam bidang tersebut (para profesional)[19].

Beberapa ahli telah memberikan definisi mengenai kode etik profesi. Oemar Seno Adji, dalam bukunya Etika Profesional dan Hukum: Profesi Advokat, menyatakan bahwa peraturan-peraturan mengenai profesi yang pada umumnya mengatur hak-hak yang fundamental dan mempunyai peraturan-peraturan mengenai tingkah laku atau perbuatan dalam melaksanakan profesinya yang dalam banyak hal disalurkan melalui kode etik[20]. Kode etik profesi harus diikuti oleh para profesional yang menyandang profesi yang bersangkutan. Bertens menyatakan bahwa kode etik profesi merupakan norma yang ditetapkan dan diterima oleh kelompok profesi, yang mengarahkan atau memberi petunjuk kepada anggotanya bagaimana seharusnya berbuat dan sekaligus menjamin mutu moral profesi itu di mata masyarakat[21]. Apabila satu anggota kelompok profesi itu berbuat menyimpang dari kode etiknya, maka kelompok profesi itu akan tercemar di mata masyarakat. Oleh karena itu, kelompok profesi harus menyelesaikannya berdasarkan kekuasaannya sendiri.

Pada dasarnya, kode etik merupakan pedoman dasar sekaligus tolak ukur bagi anggota profesi. Kode etik harus disusun sendiri oleh organisasi profesi, karena hanya organisasi itulah yang mengetahui falsafah profesi. Perumusan kode etik profesi tidak dapat dipaksakan dari luar organisasi profesi. Oleh karena itu, kode etik profesi hanya akan berlaku efektif apabila dijiwai oleh cita-cita dan nilai-nilai yang hidup dalam lingkungan profesi itu sendiri[22].

Ada dua fungsi utama kode etik profesi. Fungsi yang pertama adalah untuk menjamin kepastian dari pihak klien bahwa kepentingannya akan terjamin. Daryl Koehn dalam bukunya The Ground of Professional Ethics menekankan bahwa janji publik seorang profesional yang sepihak, tak bersyarat, untuk melayani tujuan khusus dari kelompok orang tertentu memberikan landasan pada otoritas kaum profesional yang mengesahkan kekuasaan mereka untuk memulai dan melaksanakan atau memberi hak atas tindakan yang mengubah kehidupan demi kepentingan klien[23]. Fungsi kedua dari kode etik profesi adalah sebagai sarana kontrol sosial. Kode etik memberikan semacam kriteria bagi para calon anggota kelompok profesi dan membantu mempertahankan pandangan para anggota lama terhadap prinsip profesional yang telah digariskan. Kompleksitas dan spesialisasi masyarakat modern sedikit banyak telah mempersulit untuk menentukan apakah seorang anggota kelompok profesional menjalankan kewajibannya atau tidak[24].

Kanter memberikan fungsi tambahan lainnya dari kode etik profesi. Yang pertama adalah kode etik profesi penting untuk mencegah pengawasan ataupun campur tangan yang dilakukan oleh pemerintah atau oleh masyarakat. Kode etik profesi digunakan untuk menyelenggarakan dan menetapkan patokan-patokan tertentu bagi kalangan profesional, sehingga dapat memberikan argumentasi kepada masyarakat atau klien yang beranggapan bahwa kaum profesional cenderung mengakibatkan hukum menjadi negatif karena memonopoli keahlian. Selain itu, fungsi yang kedua adalah kode etik perlu untuk pengembangan patokan kehendak yang lebih tinggi[25]. Hal ini disebabkan bahwa pada dasarnya, kode etik dapat disesuaikan dengan perkembangan zaman, yang juga mengakibatkan kewajiban profesi yang semakin berkembang.

Setiap kode etik profesi harus dibuat secara tertulis yang tersusun secara teratur, rapi, lengkap, tanpa cacat, dan dalam bahasa yang baik. Sumaryono menyatakan bahwa alasan mengapa perumusan kode etik harus dalam bentuk tertulis adalah karena fungsi dari kode etik itu sendiri, yaitu sebagai sarana kontrol sosial, untuk mencegah campur tangan pihak lain, dan mencegah kesalahpahaman dan konflik. Beliau menyebutkan ada kelemahan dari bentuk tertulis itu, yaitu:

1. Bahwa kalangan profesional adalah orang yang realistis, yang berjalan sesuai dengan kenyataan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Idealisme yang terumuskan dalam kode etik tidaklah selalu sesuai dengan fakta yang terjadi. Hal ini menyebabkan para profesional berpaling pada kenyataan dan mengabaikan idealisme yang terkandung dalam kode etik. Beliau menyebutkan bahwa kode etik profesi tidak lebih dari pajangan tulisan berbingkai.

2. Kode etik profesi tidak dilengkapi oleh sanksi-sanksi yang diberlakukan terhadap pelanggarannya. Hal ini memungkinkan kaum profesional yang tidak memiliki integritas atau yang berintegritas lemah untuk berbuat hal-hal yang menyimpang dari kode etik profesinya[26].

B. Pengaturan Kode Etik Profesi Advokat

Advokat merupakan suatu profesi terhormat (officium noble) yang dalam menjalankan profesinya berada dibawah perlindungan hukum, undang-undang, dan kode etik. Kode etik menjadi hukum tertinggi yang dibebankan kepada advokat sebagai suatu kewajiban, tetapi juga memberikan jaminan dan perlindungan dalam pelaksanaan profesinya. Kode etik advokat memberikan kewajiban kepada advokat untuk selalu jujur dan bertanggung jawab dalam melaksanakan profesinya baik kepada klien, pengadilan, negara, masyarakat, dan terutama pada dirinya sendiri[27].

Untuk diangkat sebagai advokat, seorang calon advokat harus memenuhi syarat-syarat yang telah diatur dalam pasal 3 ayat (1) UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Seorang calon advokat harus memiliki latar belakang pendidikan tinggi hukum, yaitu lulusan fakultas hukum. Hal itu harus dibuktikan dengan ijazah yang diterbitkan oleh perguruan tinggi yang bersangkutan.

Setelah menempuh pendidikan hukum di perguruan tinggi, maka calon advokat harus melalui tahap selanjutnya, yaitu pendidikan profesi advokat. Disini, menurut Bapak Taufik Rahman, S.H., M.H., terdapat perbedaan sikap antara Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) dan Kongres Advokat Indonesia (KAI). Menurut PERADI, setelah seorang calon advokat dinyatakan telah lulus dari fakultas hukum, maka ia harus mengikuti pendidikan profesi advokat yang diselenggarakan PERADI. Setelah selesai pendidikan profesi advokat, maka calon advokat dapat menempuh ujian advokat yang diselenggarakan PERADI. Berbeda dengan KAI, KAI memberlakukan sistem dimana seorang calon advokat yang telah menempuh pendidikan hukum di perguruan tinggi untuk mengikuti ujian advokat terlebih dahulu. Ketika calon advokat dinyatakan lulus dari ujian, maka ia diharuskan mengikuti pendidikan profesi advokat yang diselenggarakan KAI. Ketika telah lulus dari tahap tersebut, maka peraturannya kembali ke peraturan UU No. 18 Tahun 2003, yaitu calon advokat diwajibkan magang di kantor advokat selama minimal 2 tahun[28]. Dalam jangka waktu 2 tahun ini, seorang calon advokat boleh berpindah kantor advokat. Namanya juga dicantumkan dalam daftar calon advokat yang dikeluarkan oleh organisasi advokat yang bersangkutan. Jika calon advokat telah menempuh magang selama 2 tahun, maka ia dapat diangkat menjadi advokat, setelah diambil sumpahnya di hadapan sidang terbuka di Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya. Salinan berita acara sumpah akan diteruskan kepada Mahkamah Agung, Menteri Hukum dan HAM, dan organisasi advokat yang bersangkutan.

Pasal 26 ayat (1) UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat mengatur ketentuan bahwa perlu disusun kode etik profesi advokat oleh organisasi advokat. Kode etik profesi advokat berdasarkan amanah UU No. 18 Tahun 2003 pertama kali disusun oleh sebuah komite kerja yang dinamakan Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI). KKAI terdiri atas delapan organisasi advokat, yaitu IKADIN, AAI, APSI, IPHI, HAPI, AKHI, SPI, dan HKHPM. Kode etik profesi advokat yang disusun oleh KKAI tersebut dinamakan Kode Etik Advokat Indonesia. Dalam Kode Etik Advokat Indonesia, terdapat suatu pernyataan bahwa setiap calon advokat yang diambil sumpahnya, wajib mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah dirumuskan. Kode Etik Advokat Indonesia adalah hukum tertinggi dalam menjanlankan profesi advokat, yang menjamin dan melindungi, tetapi membebankan kewajiban kepada setiap advokat untuk jujur dan bertanggung jawab dalam menjalankan profesinya baik kepada klien, pengadilan, negara, atau masyarakat, terutama kepada dirinya sendiri[29].

Apa sajakah yang termasuk ke dalam kode etik profesi advokat? Jenis etika profesi advokat Indonesia terdiri atas lima bagian besar, yaitu mengenai kepribadian advokat, hubungan dengan klien, hubungan dengan teman sejawat, cara bertindak dalam menangani perkara, dan ketentuan lain yang tidak termasuk dalam empat bagian sebelumnya. Kepribadian advokat yang paling utama adalah bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan melaksanakan tugasnya dengan menjunjung tinggi hukum berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Apabila dihubungkan dengan pekerjaan profesinya, maka seorang advokat harus bersedia memberikan nasehat dan bantuan hukum kepada klien tanpa mendiskriminasikan klien, dengan cara yang jujur dan bertanggung jawab. Apabila dihubungkan dengan karakteristik profesinya, maka seorang advokat adalah profesional yang bebas dan mandiri, serta tidak dipengaruhi oleh siapapun dalam memperjuangkan hukum dan hak asasi manusia. Seorang advokat harus bersikap sopan dalam menjalankan profesinya dan tidak dibenarkan untuk melakukan pekerjaan tercela yang merendahkan martabat profesi dan dirinya sendiri.

Kode etik profesi advokat dalam hubungannya dengan klien yang paling utama adalah mendahulukan kepentingan klien daripada kepentingan pribadi. Selain itu, kode etik penting lainnya adalah seorang advokat harus menjaga kerahasiaan klien seumur hidup. Sekali membela klien, seorang advokat dilarang untuk membela orang lain yang berhadapan dengan orang yang pernah menjadi kliennya, untuk menjaga kerahasiaan mantan kliennya. Berhubungan dengan surat kuasa, seorang advokat harus menggunakan hak-haknya sesuai dengan keadaan klien. Advokat tidak dibenarkan memberikan keterangan yang menyesatkan kepada klien dan mengekang kebebasan klien dalam mempercayai advokat lain.

Kode etik profesi advokat dalam hubungannya dengan rekan sejawat yang paling utama adalah saling mempercayai dan menghargai. Apabila klien mempercayakan advokat lain untuk menangani perkaranya, maka advokat yang terdahulu harus menyerahkan semua keterangan dan dokumen milik klien kepadanya. Suatu kekurangan dalam kode etik profesi advokat adalah kode etik ini tidak mengatur secara jelas mengenai perebutan klien antara sesama advokat. Kode etik profesi advokat dalam hubungannya dengan cara berperkara yang paling utama adalah advokat dalam menjalankan profesinya harus berdasarkan itikad baik. Seorang advokat tidak dibenarkan untuk menemui saksi-saksi dari pihak lawan untuk mendengarkan keterangannya di luar persidangan.

Masih banyak lagi kode etik profesi advokat diluar empat bagian tersebut. Misalnya, advokat tidak dibenarkan untuk menawarkan jasanya dengan menggunakan perantara. Selain itu, advokat tidak dibenarkan untuk memasang iklan yang semata-mata untuk menarik perhatian dengan ukuran yang besar atau bentuk yang istimewa. Seorang advokat tidak dibenarkan untuk melakukan rangkap jabatan, misalnya selain berprofesi sebagai advokat, juga berprofesi sebagai notaris atau sebagai pejabat negara. Sehubungan dengan advokat yang menjadi pejabat negara, nama advokat yang tertera dalam papan nama kantor advokat harus diganti, karena dianggap sebagai menduduki jabatan rangkap.

Bapak David M. L. Tobing, S.H., M.Kn.[30], memberikan beberapa kasus mengenai pelanggaran kode etik[31]. Yang pertama adalah ketika Beliau melaporkan Bapak Todung Mulya Lubis ke Dewan Kehormatan PERADI karena Bapak Todung membuat pendapat hukum mengenai kasus yang masih belum diputuskan oleh hakim. Beliau mengasumsikan hal tersebut sebagai sarana mencari publisitas di luar jalur, yaitu dengan cara menangani perkara sebaik-baiknya. Beliau juga menambahkan ketika Bapak Mas Achmad Santosa diangkat sebagai pelaksana wakil ketua KPK. Pada saat itu, nama kantor advokat milik Bapak Santosa masih menggunakan nama Santosa. Pada dasarnya, hal ini tidak dibenarkan karena akan dianggap sebagai jabatan rangkap yang dilarang UU No. 18 Tahun 2003. Namun, tidak ada pihak yang melaporkan pelanggaran kode etik ke Dewan Kehormatan.

Sanksi yang dikenakan untuk pelanggaran kode etik diatur pada pasal 7 UU No. 18 Tahun 2003 dan pasal 16 Kode Etik Advokat Indonesia. Sanksi tersebut diberikan sesuai dengan beratnya pelanggaran yang dilakukan, yaitu:

1. Peringatan biasa diberikan apabila sifat pelanggarannya tidak berat.

2. Peringatan keras diberikan bilamana sifat pelanggarannya berat atau advokat mengulangi pelanggaran kode etik yang pernah dilakukannya atau tidak mengindahkan sanksi pelanggaran kode etik yang diterimanya.

3. Pemberhentian sementara diberikan bilamana sifat pelanggarannya berat, tidak mengindahkan dan menghormati sanksi peringatan keras, serta masih mengulangi melakukan pelanggaran kode etik.

4. Pemecatan dari organisasi advokat diberikan bilamana advokat melakukan hal yang merendahkan martabat organisasi dan profesi.

Berdasarkan pasal 26 ayat (4) UU No. 18 Tahun 2003, pengawasan atas kode etik advokat dilakukan oleh organisasi advokat. Untuk melaksanakan tugas tersebut, maka organisasi advokat membentuk Dewan Kehormatan. Tugas dan wewenang dari Dewan Kehormatan adalah memeriksa dan mengadili pelanggaran kode etik profesi advokat berdasarkan tata cara yang dirumuskan oleh Dewan Kehormatan itu sendiri[32]. Dalam hierarki organisasi PERADI, kedudukan Dewan Kehormatan PERADI sejajar dengan kedudukan ketua umum. Hal yang sama juga berlaku kepada organisasi KAI. Kedua organisasi tersebut sama-sama mengaplikasikan aturan pasal 26 ayat (4) UU No. 18 Tahun 2003.

Bapak David M. L. Tobing, S.H., M.Kn., menjelaskan bahwa pengawasan yang dilakukan oleh Dewan Kehormatan bersifat pasif, yang artinya adalah Dewan Kehormatan tidak secara aktif mencari advokat yang melakukan pelanggaran kode etik[33]. Pelanggaran kode etik profesi akan diproses oleh Dewan Kehormatan setelah memperoleh aduan secara tertulis dari pihak lain, yaitu rekan sesama profesi, klien, klien lawan, maupun masyarakat. Untuk mengajukan aduan ke Dewan Kehormatan, pelapor harus membawa bukti-bukti yang cukup berkaitan dengan aduannya. Dua narasumber lainnya, yaitu Bapak Koes Pramudjo, S.H., dan Bapak Taufik Rahman, S.H., M.H., memberikan pandangan mereka (mengenai Dewan Kehormatan) bahwa pada dasarnya, pengawasan yang dilakukan Dewan Kehormatan tidak efektif[34]. Beberapa alasan yang dikemukakan antara lain Dewan Kehormatan yang terdiri atas advokat yang merupakan rekan seprofesi dan bersifat pasif (hanya memproses laporan)[35]. Saran yang diajukan oleh narasumber adalah dibentuknya organisasi pengawasan eksternal yang terdiri dari unsur aparat dan masyarakat guna menyeimbangi kekuasaan dan wewenang Dewan Kehormatan[36].

III. Tanggung Jawab Profesi Terkait Dengan Pelaksanaan Tugas Sebagai Profesional

A. Pengaturan Mengenai Benturan Kepentingan

Pengaturan mengenai benturan kepentingan sebagai bagian dari UU No. 18 Tahun 2003 maupun pengaturan internal organisasi advokat, pada dasarnya masih belum terlalu luas. Ketika menghadapi suatu kasus yang mengandung unsur benturan kepentingan, seorang advokat harus mengedepankan kejujuran dan memilih untuk bersikap mengundurkan diri dari kasus yang ditanganinya. Pengaturan mengenai benturan kepentingan terdapat pada pasal 4 huruf j Kode Etik Advokat Indonesia. Peraturan yang diberikan oleh Kode Etik Advokat Indonesia terlalu singkat dan tidak ada ketentuan selanjutnya, sehingga seringkali terjadi benturan kepentingan yang tidak dilaporkan kepada Dewan Kehormatan.

Bapak David M. L. Tobing, S.H., M.Kn., berpendapat bahwa benturan kepentingan tidak hanya muncul dari segi hubungan antara klien dengan advokat saja. Benturan kepentingan juga dapat timbul akibat profesi itu sendiri. Beliau mencontohkan dirinya sendiri, bahwa Beliau juga dapat melakukan benturan kepentingan apabila bekerja sebagai notaris disamping sebagai advokat. Beliau tidak menyangkal bahwa benturan kepentingan terkadang memiliki manfaat, misalnya dapat digunakan untuk melakukan proses mediasi. Advokat yang pernah menangani klien yang satu dengan yang lainnya yang sedang berperkara dapat mengajukan diri sebagai mediator dengan asumsi bahwa ia merupakan pihak netral dan tetap memegang teguh rahasia masing-masing klien. Advokat dapat bekerja dengan dasar kepercayaan yang diberikan oleh kedua belah pihak untuk memudahkan proses mediasi.

B. Tanggung Jawab Hukum Advokat Dalam Pelaksanaan Tugasnya

Dalam menjalankan profesinya, advokat memiliki tanggung jawab, baik kepada dirinya sendiri maupun terhadap lembaga atau organisasi advokat yang menaunginya. Tanggung jawab tersebut muncul dari kesadaran terhadap diri sendiri dan disesuaikan dengan nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Ketika advokat tidak menjalankan profesinya sebagaimana mestinya, ia akan menerima sanksi organisatoris dari organisasi advokat. Yang dimaksud dengan tanggung jawab hukum adalah tanggung jawab yang telah dimasukkan substansinya ke peraturan perundang-undangan.

Salah satu isu mengenai tanggung jawab hukum adalah bantuan hukum cuma-cuma. Pemberian bantuan hukum kepada golongan yang mengalami kesulitan perekonomian merupakan salah satu bagian dari profesi advokat. Hal ini berkaitan dengan prinsip equality before the law dan hak untuk didampingi oleh advokat sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia. Pada kenyataannya, tidak banyak advokat yang bergerak dalam bidang ini. Menurut Frans Hendra Winarta, untuk mengatasi permasalahan ini, perlu diadakan kaderisasi terhadap mahasiswa Fakultas Hukum agar senantiasa siap memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada golongan miskin[37]. Peran Lembaga Bantuan Hukum menjadi suatu hal yang sangat dibutuhkan guna menjamin kepentingan hukum para pencari keadilan yang tidak mampu. Bapak Taufik Rahman, S.H., M.H., berpendapat bahwa peran Lembaga Bantuan Hukum dalam memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma perlu ditingkatkan kembali, mengingat semakin banyak pencari keadilan yang tidak mampu. Menurut Beliau, alasan ketidakberdayaan LBH adalah ketidakberanian LBH untuk melakukan kaderisasi terhadap calon advokat dan adanya persaingan dengan advokat dari organisasi. Advokat dari organisasi memiliki nilai tambah karena dianggap elit oleh masyarakat awam. Salah satu rekomendasi yang diberikan oleh Beliau adalah dalam kepentingan penyidikan, sebaiknya penyidik menghadirkan ahli hukum non-advokat untuk mendampingi tersangka/terdakwa (dalam ranah hukum pidana)[38].


BAB III

PENUTUP

I. Kesimpulan

Advokat merupakan salah satu profesi hukum yang telah lama ada dan pada saat ini telah menyebar ke seluruh dunia. Advokat merupakan profesi terhormat (officium noble) yang menjalankan profesinya dibawah perlindungan hukum, undang-undang, dan kode etik. Di Indonesia, profesi advokat diatur dengan UU No. 18 Tahun 2003 Tentang Advokat.

Karakteristik khusus profesi advokat adalah membela kepentingan hukum klien yang memberikan kuasanya secara khusus melalui surat kuasa. Sebelum diundangkannya UU No. 18 Tahun 2003, seorang calon advokat baru dapat diambil sumpahnya setelah menangani sepuluh perkara pidana dan sepuluh perkara perdata, dan dibuktikan melalui dokumen-dokumen yang berkaitan dengan litigasi. Tanggung jawab yang diemban oleh advokat adalah memberikan pelayanan dan bantuan hukum kepada klien. Profesi advokat merupakan profesi yang bebas dan tidak terikat dengan birokrasi, dan dilindungi hukum berdasarkan kode etik profesi.

Kode etik profesi advokat di Indonesia dirumuskan oleh Komite Kerja Advokat Indonesia yang merupakan gabungan dari organisasi-organisasi advokat yang ada di Indonesia. Kode Etik Advokat Indonesia memuat enam bagian besar kode etik profesi advokat, yaitu mengenai kepribadian advokat, hubungan dengan klien, hubungan dengan rekan sejawat, cara bertindak mengenai perkara, ketentuan-ketentuan lain tentang kode etik, dan pelaksanaan kode etik. Sebelum diangkat sebagai advokat, calon advokat mengucapkan sumpah jabatan yang secara tersirat mengakui dan sepakat untuk tunduk terhadap kode etik advokat tersebut.

Penegakan kode etik profesi advokat dilakukan oleh Dewan Kehormatan. Setiap organisasi advokat memiliki Dewan Kehormatannya sendiri. Pengawasan yang dilakukan oleh Dewan Kehormatan bersifat pasif, yang artinya memproses pelanggaran kode etik ketika terdapat aduan atau laporan dari pihak lain. Sanksi yang dijatuhkan kepada advokat yang terbukti melakukan pelanggaran kode etik adalah peringatan biasa, peringatan keras, pemberhentian sementara, dan pemecatan dari organisasi advokat.

Pengaturan mengenai benturan kepentingan dalam UU No. 18 Tahun 2003 tidak terlalu luas. Pasal 4 huruf j Kode Etik Advokat Indonesia juga mengatur mengenai benturan kepentingan, tetapi masih singkat sehingga banyak terjadi benturan kepentingan saat advokat menangani suatu perkara. Meskipun berstatus profesional, ada kalanya advokat tidak menghiraukan benturan kepentingan, tetapi tidak sedikit yang memanfaatkan benturan kepentingan untuk menyelesaikan permasalahan klien melalui jalan damai (mediasi).

Tanggung jawab hukum adalah tanggung jawab advokat yang dimasukkan substansinya ke dalam peraturan perundang-undangan. Salah satu isu mengenai tanggung jawab hukum advokat adalah mengenai bantuan hukum cuma-cuma. Prinsip yang mendasari bantuan hukum cuma-cuma adalah equality before the law dan hak untuk didampingi advokat sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia. Peran Lembaga Bantuan Hukum dalam memberikan bantuan cuma-cuma semakin berkurang karena mendapatkan persaingan dari advokat yang berasal dari organisasi.

II. Saran

Dewan Kehormatan sebagai pengawas pelaksanaan kode etik profesi advokat harus dapat meningkatkan peranannya menjadi lebih aktif dalam mengawasi pelaksanaan kode etik. Dewan Kehormatan diharapkan mampu lebih bersikap investigatif terhadap dugaan pelanggaran kode etik profesi advokat. Pelaksanaan kode etik profesi sebenarnya menguntungkan bagi pihak advokat maupun klien, karena pekerjaan advokat akan dilindungi oleh hukum, sedangkan klien merasa puas telah mendapatkan jasa yang sebaik-baiknya dari advokat.

Saran lainnya adalah kembali menggalakkan peran Lembaga Bantuan Hukum untuk memberikan bantuan hukum cuma-cuma. Pada saat ini, banyak sekali pencari keadilan yang mengalami kesulitan perekonomian sehingga tidak dapat menggunakan jasa advokat organisasi. Yang perlu dilakukan adalah kaderisasi terhadap mahasiswa atau calon advokat sehingga dapat bersaing dengan advokat dari organisasi. Citra Lembaga Bantuan Hukum dapat ditingkatkan secara perlahan-lahan dengan menangani kasus sebaik-baiknya atau memberikan bantuan hukum dengan konsisten.


DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Adji, Oemar Seno. Etika Profesional dan Hukum: Profesi Advokat. Jakarta: Erlangga, 1991.

Kansil, C. S. T. dan Christine S. T. Kansil. Pokok-pokok Etika Profesi Hukum. Jakarta: Pradnya Paramita, 2003.

Kanter, E. Y. Etika Profesi Hukum: Sebuah Pendekatan Sosio-Religius. Jakarta: Storia Grafika, 2001.

Lubis, Suhrawadi K. Etika Profesi Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 1994.

Muhammad, Abdulkadir. Etika Profesi Hukum. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2001.

Pangaribuan, Luhut M. P. Advokat dan Contempt of Court: Suatu Proses di Dewan Kehormatan Profesi. Edisi Revisi. Jakarta: Djambatan, 2002.

Prints, Darwan. Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar. Jakarta: Djambatan, 1989.

Soesilo, R. R.I.B/H.I.R Dengan Penjelasan. Bogor: Politeia, 1995.

Sumaryono, E. Etika Profesi Hukum Norma-norma Bagi Penegak Hukum. Yogyakarta: Kanisius, 1995.

Supriadi. Etika & Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2006.

INTERNET

Lubis, Todung Mulya. “Quo Vadis Advokat Indonesia.” d=2>. 29 Oktober 2009.

Perhimpunan Advokat Indonesia. “Sejarah PERADI.” 01af48e03ce&cgyid=c980253e8d2fdcd8e8601ae113fa151a>. 29 Oktober 2009.

Winata, Frans Hendra. “Dimensi Moral Profesi Advokat dan Pekerja Bantuan Hukum.” . 29 Oktober 2009.

JURNAL, ARTIKEL, & MAKALAH

Sompie, Ronny F. “Advokat.” Ombudsman (Juni 2008): 32-33.

PERATURAN ORGANISASI ADVOKAT

Komite Kerja Advokat Indonesia. Kode Etik Advokat Indonesia.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Indonesia. Undang-undang Tentang Hukum Acara Pidana. UU No. 8 Tahun 1981. LN Tahun 1981 No. 76. TLN No. 3209.

________. Undang-undang Tentang Advokat. UU No. 18 Tahun 2003. LN Tahun 2003 No. 49. TLN No. 4288



[1] Abdulkadir Muhammad, Etika Profesi Hukum (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2001), hal. 1.

[2] Ronny F. Sompie, “Advokat”, Ombudsman (Juni 2008): 32.

[3] Ibid, hal. 32.

[4] Abdulkadir Muhammad, op. cit, hal. 58.

[5] Supriadi, Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal. 16.

[6] Suhrawadi K. Lubis, Etika Profesi Hukum (Jakarta: Sinar Grafika, 1994), hal. 10.

[7] Ibid, hal. 19.

[8] Supriadi, op.cit, hal. 56.

[9] Luhut M. P. Pangaribuan, Advokat dan Contempt of Court: Suatu Proses di Dewan Kehormatan Profesi (Jakarta: Djambatan, 2002), Edisi Revisi, hal. 6.

[10] Indonesia, Undang-undang Tentang Advokat, UU No. 18 Tahun 2003, LN Tahun 2003 No. 49, TLN No. 4288, pasal 2 ayat (3).

[11] Perhimpunan Advokat Indonesia, “Sejarah Peradi,” , 29 Oktober 2009.

[12] Bapak Taufik Rahman, S.H., M.H. adalah salah seorang narasumber penulis. Beliau merupakan advokat di SMARTS Law Firm, yang beralamat di Gedung Selmis Lantai 1, Jl. Asemberis Raya No. 52, Tebet.

[13] Wawancara dilakukan pada hari Kamis tanggal 19 November 2009 di kantor SMARTS Law Firm di Gedung Selmis Lantai 1, Jl. Asemberis Raya No. 52, Tebet.

[14] Bapak Koes Pramudjo, S.H., adalah salah seorang narasumber penulis. Beliau merupakan advokat yang berkantor di daerah Pesona Khayangan (tidak disebutkan secara rinci).

[15] Wawancara dilakukan di kediaman Bapak Koes Pramudjo, S.H., di Pesona Khayangan Blok FS No. 6, Depok pada hari Senin, 2 November 2009.

[16] Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Taufik Rahman, S.H., M.H.

[17] Darwan Prints, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, (Jakarta: Djambatan, 1989), hal. 17.

[18] E. Sumaryono, Etika Profesi Hukum Norma-norma Bagi Penegak Hukum (Yogyakarta: Kanisius, 1995), hal.148.

[19] E. Y. Kanter, Etika Profesi Hukum (Jakarta: Storia Grafika, 2001), hal. 67.

[20] Oemar Seno Adji, Etika Profesional dan Hukum: Profesi Advokat (Jakarta: Erlangga, 2001), hal. 8.

[21] Abdulkadir Muhammad, loc.cit, hal. 77.

[22] Ibid, hal. 77.

[23] E.Y. Kanter, op.cit, hal. 67.

[24] Ibid, hal. 68.

[25] Ibid, hal. 68.

[26] Abdulkadir Muhammad, loc.cit, hal. 78.

[27] Komite Kerja Advokat Indonesia, Kode Etik Advokat Indonesia, Pembukaan.

[28] Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Taufik Rahman, S.H., M.H.

[29] Komite Kerja Advokat Indonesia, Kode Etik Advokat Indonesia, Pembukaan.

[30] Bapak David M. L. Tobing, S.H., M.Kn., adalah salah satu narasumber penulis. Beliau adalah Senior Partner pada Kantor Hukum ADAMS&CO Counsellors at Law yang beralamat di ADAMS&CO Counsellors at Law Office, Wisma Bumiputera, Level 15th Jl. Jend. Sudirman Kav.75, Jakarta.

[31] Wawancara dilakukan di Kantor Hukum ADAMS&CO Counsellors at Law di ADAMS&CO Counsellors at Law Office, Wisma Bumiputera, Level 15th Jl. Jend. Sudirman Kav.75, Jakarta, pada hari Selasa, 20 Oktober 2009.

[32] Indonesia, op.cit, pasal 26 ayat (5) dan pasal 10 butir 1 Kode Etik Advokat Indonesia.

[33] Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak David M. L. Tobing, S.H., M.Kn.

[34] Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Taufik Rahman, S.H., M.H., dan Bapak Koes Pramudjo, S.H. Kedua narasumber memberikan pandangan yang sama mengenai keefektifan Dewan Kehormatan yang ada pada saat ini.

[35] Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Taufik Rahman, S.H., M.H., dan Bapak Koes Pramudjo, S.H. Kedua narasumber memberikan pendapat yang kurang lebih sama dengan apa yang dijelaskan di atas.

[36] Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Koes Pramudjo, S.H.

[37] Frans Hendra Winata, “Dimensi Moral Profesi Advokat dan Pekerja Bantuan Hukum”, diakses pada tanggal 19 Oktober 2009.

[38] Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Taufik Rahman, S.H., M.H.

0 komentar: