Minggu, 20 Desember 2009

Selayang Pandang Mengenai Hakim

Pada awalnya profesi diawali dengan nama etika yang mengatur bagaimana seseorang yang mengemban jabatan dan pekerjaan tertentu dapat menjalankannya dengan koridor-koridor yang ada. Di dunia profesi hukum dikenal dengan nama Etchics of Legal Profession, dimana telah beribu tahun yang lalu etika ini dibuat dan dibangun disetiap bidang pekerjaan yang mempunyai suatu pengaturan kode etik. Kode etik inipun identik dengan profesi dokter, hakim, jaksa, bahkan seorang advokat. Sejalan dengan kode etik ini yang semakin hari terjadi pelanggaran yang cukup banyak, seperti halnya di dunia kepengacaraan pernah dinyatakan dalam sebuah pernyataan yaitu “Let’s kill the lawyer”. Begitu bobroknya etika dikalangan advokat pada masa itu, sehingga muncul kekecewaan yang mendalam dan ditambah lagi seringnya advokat melukai keadilan. Walaupun demikian, Mahdi Suseno mencatat setidaknya ada 4 (empat) hal yang menjadi pertimbangan dunia profesional mempunyai etika, antara lain:

1. Berani berbuat dan bertindak sesuai dengan tuntutan profesi

2. Sadar akan kewajibannya

3. Memenuhi idealisme yang tinggi

4. Mempunyai pedoman perilaku (professional of conduct)

Begitu juga dengan tanggung jawab moral yang selalu dipertanyakan dalam menghadapi relaita-realita dunia hukum, sehingga memunculkan adanya dorongan yang begitu besar untuk membuat dunia profesi lebih teratur dan menghindari kesalahpahaman tentang profesi yang sedang dijalaninya. Berkaitan dengan hal diatas juga penting untuk melakukan pengaturan terhadap profesi hakim.


Berawal dari hukum yang mengatur segala tindak atau perilaku masyarakat, dimana akan diterapkan apabila terjadi peristiwa konkrit yang menimbulkan sesuatu yang dinamakan kasus. Mengingat sistem hukum yang Indonesia anut adalah Civil Law bawaan dari negara Belanda yang mendasarkan pada hukum atau aturan yang tertulis, berbeda dengan sistem hukum Common Law yang mengacu pada segala aturan yang tidak tertulis. Akan tetapi, pengaturan tersebut sering dirasakan tidak pas dengan peristiwa konkrit, begitu juga dengan peristiwa kongkrit yang tidak pernah pas dengan kasus, karena bagaimanapun juga hukum adalah buatan manusia, buatan yang selalu mengalami kekurangan disana-sini yang tidak bisa mengakomodasi seluruh permasalahan, sehingga cara membuatnya tidak akan pernah bisa mencakup semua problematika masyarakat.

Namun demikian, hukum itu sendiri merupakan pertarungan antara tiga hal, apabila digambarkan akan berupa:


Artinya, dalam proses pembuatan hukum terjadi perbenturan yang begitu dahsyat antara ideologi (misalnya ideologi komunis, pancasila), kepentingan, serta nilai (nilai budaya, religius, dan lain sebagainya). Oleh sebab itu, hakim adalah pelaksana kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan yang pada dasarnya adalah mengadili. Dengan demikian, Hakim sebagai profesi yang menjalani sekaligus mengadili hukum mempunyai tugas bukan sebagai corong dari undang-undang saja, akan tetapi sebagai pelaksana keadilan dan kebenaran yang sesungguhnya. Mencari keadilan yang sejatinya tidak hanya di dasarkan pada ketentuan yang tertulis saja, akan tetapi aturan yang tidak tertulis pun menjadi materi pokok yang harus dipertimbangkan. Pasal 16 ayat (1) jo. Pasal 28 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menekankan adanya hukum yang berasal dari lapisan bawah (the law of coming the bottom up). Sejalan dengan pasal diatas, Satjipto Rahardjo mengatakan “celakalah apabila hukum ditafsirkan undang-undang dan peraturan, sehingga akan terjadi negara undang-undang dan negara peraturan”, mengingat Indonesia adalah negara hukum, maka dapat dikatakan bahwa hukum menekankan aspek nilai yang benar-benar hidup dalam masyarakat.

Akan tetapi, dalam menjalankan tugas seringkali profesi hakim mendapat berbagai tekanan (pressure), antara lain:

1. Dari pihak penguasa (politik)

2. Dari atasan langsung

3. Dari masyarakat (demo)

4. Dari pihak yang berperkara

5. Dari diri pribadi (kebutuhan ekonomi, hubungan keluarga, sahabat)

Oleh karena itu dibutuhkan suatu upaya-upaya untuk membentengi hakim, dengan cara yaitu:

1. Pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidup yang sepadan bagi dirinya beserta keluarga, sehingga dapat hidup dengan tenang dan mempunyai daya tahan terhadap godaan.

2. Sarana dan prasarana yang memadai untuk mendukung pelaksanaan tugas.

3. Pendidikan dan pembinaan yang cukup, sehingga dapat menjadi seorang profesional yang handal.

4. Norma-norma yang baku dan ketentuan-ketentuan mengenai hak dan kewajiban.

5. Perlindungan atas pelecehan terhadap tugas hakim dan perlindungan atas ancaman pyshik dan teror, serta perlindungan atas intervensi terhadap kemandirian.

6. Pengawasan sebagai suatu sistem kontrool untuk mencegah terjadinya penyimpangan-penyimpangan yang tidak diinginkan.

7. Pembebasan dari tuntutan ganti rugi karena adanya kesalahan dalam pembuatan yang merupakan pelaksanaan tugasnya dalam bidang peradilan.

8. Pengharagaan agi yang telah melaksankana tugasnya dengan baik dan sanksi baid yang melakukan pelanggaran.

9. Meingkatkan budaya hukum masyarakat.

Dari pembahasan diatas juga perlu diperhatikan juga perlunya pengaturan dari etika profesi hakim. Dari etimologinya etika berasal dari bahasa Yunani “Ethikos”yang berarti moral dan “Ethos” yang berarti karakter. Ethika merupakan filsafat moral untuk mendapatkan petunjuk tentang perilaku yang baik, berupa nilai-nilai luhur dan aturan-aturan pergaulan yang baik dalam hidup bermasyarakat dan kehidupan pribadi seseorang. Sedangkan Profesi adalah bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian, keterampilan, kejuruan tertentu. Profesi juga dapat diartikan pula sebagai pekerjaan tetap bidang tertentu berdasarkan keahlian khusus yang dilakukan secara bertanggung jawab dengan tujuan memperoleh penghasilan. Etika dibagi menjadi 2 (dua) bagian besar yaitu:

1. Etika moral adalah kaedah-kaedah atau norma-norma etika yang mencakup teori nilai tentang hakekat apa yang baik dan apa yang buruk.

2. Etika profesi adalah etika khusus yang diciptakan untuk kebaikan jalannya profesi yang bersangkutan, karena setiap profesi mempunyai identitas, sifat/ciri dan standar profesi tersendiri sesuai dengan kebutuhan profesi masing-masing.

Etika profesi memiliki kaedah-kaedah pokok:

1. Profesi harus dipandang sebagai pelayanan dan oleh karena itu sifat tanpa pamrih menjadi ciri khas dalam mengembangkan profesi.

2. Pelayanan profesional dalam mendahulukan kepantingan pencari keadilan mengacu pada nilai-nilai luhur.

3. Pengembangan profesi harus selalu berorientasi pada masyarakat sebagai keseluruhan.

4. Persaingan dalam pelayanan berlangsung secara sehat sehingga dapat menjamin mutu dan peningkatan mutu pengemban profesi.

Contoh dari kode etik hakim (the 4 commandments for judges):

1. To hear courteously (mendengar dengan sopan, beradab)

2. To answer wisely (menjawab bijaksana, arif)

3. To consider soberly (mempertimbangkan tak terpengaruh)

4. To decide impartially (memutus tak berat sebelah)

Standar etika yang harus dipenuhi hakim menurut Prof. Maurice Rosenberg:

1. Moral courage: Pay for God’s guidance

2. Decisiveness: Punctual and correct

3. Fair and upright

4. Patience: Able to listen with mounth closed and mind open

5. Healthy: physical and mental

6. Consideration for others: kind and understanding

7. Industrious, serious not lazy: no unimportant cases

8. Profesional: neatpersolan appearance

9. Dignity: honourable/devine job

10. Dedicated, devotion as a lifetime job

11. Loyal to court/judiciary

12. Active in work and prfesional activities

13. Knowledge of community and resources: guidance of society

14. Sense of humor (not depressive)

15. Above averaga law school record

16. Above average reputation for profesional ability

17. Good family situation

Perlambang atau sifat hakim:

1. Kartika à Bintang yang melambangkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Hakim harus percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaanya masing-masing.

2. Cakra à senjata ampuh dari Dewan Keadilan yang memiliki arti Adil.

Dalam kedinasan, hakim harus bersikap adil, tidak memihak, bersunguh-sungguh dalam mencari kebenaran dan keadilan, memutus perkara berdasarkan keyakinan hati nurani, dan dapat mempertanggung jawabkannya kepada Tuhan. Di luar kedinasan, hakim harus saling menghargai, tertib dan lugas, berpandangan luas, dan saling pengertian.

3. Candra à Bulan yang menerangi kegelapan yang berarti bijaksana atau berwibawa.

Dalam kedinasan, hakim harus berkepribadian, bijaksana, berilmu, sabar, tegas, disiplin, dan penuh pengabdian pada pekerjaan.

Di luar kedinasan, hakim dapat dipercaya, penuh rasa tanggung jawab, menumbuhkan rasa hormat, anggun, dan berwibawa.

4. Sari à Bunga yang memberikan keharuman bagi kehidupan yang berarti budi luhur atau kelakuan yang tidak tercela.

Hakim harus tawakal, sopan, ingin meningkatkan pengabdian dalam tugas, bersemangat ingin maju, dan tenggang rasa.

5. Tirta à air yang membersihkan segala kotoran yaitu seorang hakim harus berlaku jujur

Dalam kedinasan, hakim harus jujur, tidak membeda-bedakan orang, bebas dari pengaruh siapapun, sepi ing pamrih, dan tabah. Di luar kedinasan, hakim tidak boleh menyalahgunakan kepercayaan dan kedudukan, tidak boleh berjiwa mumpung, dan waspada.

0 komentar: