Rabu, 23 Desember 2009

KONTROVERSI PADA PENGATURAN KEBIJAKAN KASUS LUMPUR LAPINDO

Menyikapi semua permasalahan yang terjadi pada korban lumpur Lapindo akan sangat berdampak sekali pada penerapan dari regulasi yang akan dipakai terutama dalam bidang agraria. Jaminan kepastian hukum dalam bidang pertanahan menginginkan seseorang menguasai tanah dengan aman dan mantap, sehingga penguasaan yang mantap tersebut ditinjau dari aspek waktu/lamanya seseorang dapat mempunyai/menguasai tanahnya dan isi kewenangan dari hak atas tanah tersebut sedangkan penguasaan secara aman berarti bebas/diindungi dari/terhadap gangguan-gangguan dan adanya upaya untuk menanggulanginya.

Gangguan-gangguan dalam lingkup pertanahan terjadi, ketika penguasaan tanah masyarakat pada kabupaten Sidoarjo yang dikatakan oleh DPR, yang mengatasnamakan kepentingan rakyat itu menyatakan bahwa lumpur Lapindo adalah sebuah bencana alam. Melihat studi regulasi maka dapat disimpulkan bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, pada pasal 1 angka 2, Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor.

Nampaknya, DPR sebagai representasi rakyat sudah tertidur dengan perbuatan yang dilakukannya, karena dalam undang-undang yang baru dikeluarkan pada tahun 2007 oleh dan atas kewenangan mereka, DPR tidak dapat membedakan bencana alam dengan bencana nonalam. Apabila kita melihat perumusan pasalnya, bencana alam dapat dikatakan terjadi karena kehendak alam, bukan dari perbuatan manusia sehingga dapat dikatakan bencana alam itu terjadi dengan sendirinya, tanpa ada campur tangan dari manusia. Selain itu, dalam Undang-Undang Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana tersebut, hanya menyatakan pengaturan serangkaian peristiwa yang diatur secara limitatif (terbatas) yaitu meliputi gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor, tanpa ada satupun yang menyatakan adanya lumpur yang meluap.

Lain halnya dengan bencana nonalam, berdasarkan pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, Bencana nonalam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit. Dengan demikian, jelas sekali bahwa kejadian dari lumpur Lapindo merupakan bencana nonalam, karena dalam perumusan pasal melihat dari interpretasi gramatikal dapat ditarik benang merah yaitu terjadi karena kegagalan dari perbuatan manusia yang melekat padanya (unsur subjekivitas), bukan terjadi dengan sendirinya. Akan tetapi, perdebatan tersebut semakin memperlihatkan bahwa DPR yang membuat undang-undang tetapi tidak dapat mengetahui bahkan tidak memahami apa yang sebenarnya terjadi dilapangan dalam hal kaitannya dengan penerapan kesejahteraan bagi rakyat yang menjadi korban lumpu Lapindo. Apakah ini yang disebut dengan Perwakilan Rakyat? Saya rasa tidak! Mengapa? Karena setiap ucapan dari DPR tidak pernah mengungap undang-undang yang disahkannya itu pada tanggal 26 April 2007, bisa kita bayangkan mereka-mereka yang duduk di kursi DPR yang telah rakyat percayakan kepada mereka untuk menyelesaikan kasus ini, mempunyai pandangan yang tidak berdasar dan menghiraukan fakta-fakta yang terjadi dalam lapangan bahkan memunculkan permasalahan baru yang tidak ada jalan keluarnya.

Penerapan penyelesaian masalah yang kacau memperlihatkan pemerintah belum mengakomodasi hak-hak rakyat dalam melindunginya dari pihak penguasa. Bersumber dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau yang lebih dikenal dengan UUPA telah dibuat perangkat ketentuan- ketentuan yang mengatur tentang bagaimana penguasa dapa menguasai tanah yang diperlukannya apabila tanah tersebut dikuasai rakyat. Ketentuan-ketentuan itu adalah ketentuan-ketentuan tentang pembebasan hak atas tanah atau yang lebih dikenal dengan pembebasan tanah dan ketentuan-ketentuan tentang pencabutan hak dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 berdasarkan Pasal 18 UUPA. Pada asasnya apabila penguasa ataupun pengusaha memerlukan tanah untuk keperluan apapun maka cara untuk memperoleh tanah yang diperlukannya harus melalui jalan musyawarah antara pihak yang memerlukan tanah hingga dicapai suatu kata sepakat antara kedua belah pihak.

Akan tetapi, dari sekian banyaknya masalah tanah yang terjadi, yang paling sering dirasakan oleh masyarakat adalah masalah ketidaksepakatan anatara para pihak dalam menentukan besarnya ganti rugi tanah yang dibebaskan, dalam hal ini rakyat sempat tidak sepakat dengan besarnya ganti rugi yang harus dibayarkan kepada mereka. Lalu timbul pertanyaan apakah pengaturan tentang pembebasan tanah ini merupakan jaminan kepastian hukum dan sarana perlindungan hukum terhadap gangguan penguasaan tanah rakyat oleh penguasa atau merupakan sarana untuk memudahkan penguasa untuk mendapatkan tanah-tanah akibat dari lumpur yang meluap.

Walaupun demikian, masalah utama yang membuat jurang yang dalam antara kelemahan-kelemahan ketentuan yang ada dan praktek pelaksanaannya adalah masalah penentuan ganti rugi, dan keberlakuan Perpres Nomor 14 tahun 2007. Sisi regulasi masih lemah dan pelaksanaanya kacau, sehingga perlu tenaga ekstra untuk menyelesaikan masalah ini.

Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa peraturan mengenai pembebasan tanah belum sepenuhnya menjamin keamanan bagi hak-hak atas tanah individu. Terlebih lagi praktek pelaksanaan peraturan tersebut belum konsisten dalam menjamin kepentingan rakyat yang menjadi korban lumpur Lapindo, sudah tidak ada waktu lagi untuk mencari-cari kesalahan, kini saatnya untuk beraksi bukan memperbanyak rapat di Kantor Presiden yang hanya membicarakan politik tentang strategi untuk mengelabui rakyat, sehingga kita dapat mengaharapkan terbentuknya suatu etos kerja yang baik dalam pemerintahan tanpa adanya kecurangan dan ketidakdewasaan sifat pemerintah untuk menyelesaikan “PR” yang telah menumpuk serta saya berharap pemerintah menjadi parasit dari bertumbuhan bangsa ini dan juga tidak ada lagi “nobita-nobita” dalam pemerintahan yang sering menunda pekerjaan dalam hal ini kasus lumpur Laindo.

0 komentar: