Minggu, 20 Desember 2009

Gugatan Majalah Time Melawan Suharto


Profesi jurnalisme digerakkan dengan kode etik yang dianut oleh jurnalisnya. Akan tetapi, profesi ini tidak berada di ruang hampa. Struktur sosial yang menjadi ruang bagi institusi media jurnalisme dengan sendirinya ikut menentukan keberadaan profesi jurnalisme. Landasan hukum dan praktek politik dalam interaksi institusi media jurnalisme dengan institusi lainnya dalam struktur sosial selama belum berlandaskan paradigma yang mengakui hak warga dalam perspektif civil centered, akan menjadi kendala dan ancaman terus menerus terhadap keberadaan profesi dan media jurnalisme yang bertolak dari norma kebebasan pers.[1]

Hal itu terjadi pada kasus gugatan perkara perdata yang dilakukan oleh keluarga mantan Presiden Indonesia, H.M. Suharto terhadap majalah Times mengenai tulisan dan gambar yang bersifat provokatif sehingga mengarahkan kepada penghinaan. Walaupun perkara ini diambil melalui jalur perdata dengan dasar Pasal 1365 KUHPerdata dan Pasal 1372 KUHPerdata, ada beberapa permasalahan yang perlu dibahas terkait dengan kebebasan pers itu sendiri.

Dalam kasus gugatan terhadap majalah Times dinyatakan antara lain:[2]

1. “SUHARTO INC. How Indonesia’s Longtime boss built a family fortune” (terjemahan bebasnya: “Perusahaan SUHARTO bagaimana Pimpinan Indonesia sekian lama membangun kekayaan Keluarga”).

2. Gambar pembanding sedang memeluk antara lain gambar rumah.

3. “Emerged that a straggering sum of money linked to Indonesia had been shifted from a bank in Switzerland to another in Austria, now considered a safer for hush-hush deposits” (terjemahan bebasnya: “terdapat Laporan bahwa uang dalam jumlah yang sangat besar yang terkait dengan Indonesia telah dialihkan dari bank Swiss ke bank lain di Austria, yang saat ini dianggap sebagai surga yang aman bagi deposito-deposito rahasia”).

4. “Time has learned that $ 9 billion of Suharto money was transfered from Switzerland to a nominee bank account in Austria” (terjemahan bebasnya: “Time telah berhasil mengetahui bahwa US$ 9 milyar uang Suharto telah ditransfer dari Swiss ke sebuah rekening tertentu di Bank Austria”).

5. It is very likely that none of the Suharto companies has ever paid more than 10% of its real tax obligations” (terjemahan bebasnya “Nampaknya tidak satupun perusahaan milik Suharto pernah membayar lebih dari 10% kewajiban-kewajiban pajak miliknya”).

Dari gugatan yang dilakukan oleh keluarga H.M. Suharto terdapat bahasan yang menarik, yaitu:

1. Apakah majalah Time dapat menggunakan ketentuan dalam Pasal 5 ayat (2) Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, mengenai Hak Jawab?

2. Seberapa bebaskah perusahaan pers seperti Time mendapatkan kebebasan pers?

Hak Jawab dalam Pasal 5 ayat (2) Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers[3] menyatakan bahwa Pers wajib melayani Hak Jawab. Merujuk dalam Pasal 1 angka 11 dinyatakan bahwa Hak Jawab adalah seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.

Sekilas, dari membaca ketentuan mengenai lembaga Hak Jawab ini, tampaknya penggunaa lembaga Hak Jawab merupakan suatu keharusan. Namun, menurut Prof. DR. Indriyanto Seno Adji, SH, MH menyatakan apabila suatu penerbitan pers itu telah melakukan pelanggaran terhadap rambu-rambu yang membatasi kebebasan pers itu, maka pihak yang merasa dirugikan atas isi penerbitan pers itu menilai lembaga Hak Jawan adalah alternatif sifatnya, artinya tanpa menggunakan lembaga Hak Jawab itupun maka pihak yang dirugikan atas pemberitaan tetap tidak kehilangan haknya untuk melakukan penuntutan pidana maupun perdata.[4] Adapun pertimbangannya yaitu:

1. Lembaga Hak Jawab tidak bersifat Imperatif, artinya tidak merupakan suatu keharusan bagi pihak yang dirugikan untuk mempergunakan lembaga Hak Jawab itu. Sebaliknya, apabila lembaga Hak Jawab akan dipergunakan, maka sifatnya adalah imperatif bagi penerbitan pers untuk memberikan tempat dan ruang bagi pihak yang dirugikan sebagai akibat adanya isi pemberitaan yang merugikan tersebut.

2. Lembaga Hak Jawab tidak bersifat Responsif, artinya penggunaan lembaga Hak Jawab ini bersifat sepihak dari pihak yang dirugikan sebagai akibat adanya isi pemberitaan yang merugikan tersebut, tanpa adanya respon dari pihak penerbit yang justru sangat diharapkan dari pihak yang dirugikan.

3. Lambaga Hak Jawab tidak proporsional, artinya penggunaan lembaga Hak Jawab ini menjadi tidak sepadan dengan akibat adanya isi pemberitaan yang sangat merugikan seseorang, yaitu tercemar nama baik, kehormatan, kedudukan, harkat, dan martabatnya.

4. Lembaga Hak Jawab bersifat limitatif, artinya penggunaan lembaga ini adalah alternatif saja. Dalam hal isi suatu pemberitaan telah melanggar rambu-rambu dari kebebasan pers, maka tidak menjadi krwajiban dari pihak yang dirugikan akibat adanya pemberitaan pers untuk mempergunakan lembaga Hak Jawab tersebut.

Dalam kaitannya dengan isi pemberitaan yang sifatnya prejudicial dan mengandung penghinaan, bahkan substansi pemberitaan menimbulkan suatu misleading conclusion atau dapat terjadi apabila isinya telah memberikan suatu opini dan konklusi yang menyesatkan atau salah, serta berakibat mencemarkan segala hak, kehormatan dan nama baik yang tercemar itu.[5]

Walaupun demikian, dengan tidak digunakan suatu lembaga Hak Jawab tidaklah menghilangkan hak seseorang, badan hukum atau organisasi untuk melakukan tuntutan secara hukum apabila pemberitaan suatu perusahaan pers melanggar rambu-rambu kebebasan pers. Perlu diingat, dalam hukum Indonesia, pemakaian Hak jawab sama sekali tidak menyingkirkan hak-hak yang muncul dalam hukum perdata maupun akibat hukum pidananya. Sejalan dengan pendapat ini, menurut Wina Armada, menyatakan bahwa walaupun mereka yang telah dirugikan oleh pemberitaan pers, misalnya namanya dicemarkan, sudah memakai Hak jawab, mereka tetap saja dapat menuntut pers yang bersangkutan ke pengadilan.[6]

Akan tetapi, menurut Arifin A. Tumpa, apabila Hak Jawab sudah dilaksanakan oleh pers, 50% persoalan selesai, sehingga hal tersebut melindungi kemerdekaan pers.[7] Apabila dikaitkan dengan kasus majalah Time yang melakukan perbuatan melawan hukum (PMH), maka dapat disimpulkan bahwa Time dapat menggunakan lembaga Hak Jawab, akan tetapi perlu diingat bahwa dengan digunakannya lembaga Hak Jawab, tidak membuat keluarga H.M. Suharto tidak bisa menggugat secara perdata maupun menuntut secara pidana.

Pemuatan tulisan dan gambar oleh majalah Time tidaklah dapat diartikan sebagai bagian dari wacana kebebasan yang absolut dari pers. Kehendak adanya suatu wacana baru berupa kebebasan pers absolut yang membenarkan adanya suatu pelanggaran etika dan hukum adalah jelas bertentangan dengan prinsip universal dari kebebasan pers yang tetap menitikberatkan terhadap pertanggung jawaban sosial (social responsibility). Convention on the Freedom of Information tahun 1985 di Roma memberikan batasan sebagai rambu-rambu terhadap kebebasan pers, yaitu apabila pemberitaan pers yang secara substansial memuat:[8]

1. National security and public order (keamanan nasional dan ketertiban umum);

2. Expression to war or to national, racial or religious hatred (pemidanaan terhadao hasutan untuk menimbulkan kebencian ras atau agama);

3. Incitement to violence and crime (hasutan untuk melakukan kekebrasan dan kejahatan);

4. Attacks on founders of religion (serangan terhadao pendiri agama yang menimbulkan pelanggaran terhadap delik blasphemy);

5. Public health and moral (kesehatan dan moral);

6. Rights, honour and reputation of other (hak-hak, kehormatan dan nama baik seseorang, yang umumnya memuat delik penghinaan);

7. Fair administration of justice (umumnya menyangkut delik-delik yang bersangkutan dengan pengadilan, kemudian merupakan suatu bentuk daru contempt of court).

Dalam kaitannya dengan perkara ini menjadi jelas bahwa tulisan dan gambar seperti yang termuat dalam majalah Time adalah suatu bentuk pelangaran hak-hak, kehormatan, dan nama baik H.M. Suharto. Sebagai suatu majalah berskala internasional, baik institusi dan personalitasnya, majalah Time tidaklah mempunyai imunitas terhadap hukum, artinya majalah Time tetap bertanggung jawab terhadap substansi pemberitaan yang mengandung tuduhan penghinaan.

Melihat gugatan dari keluarga H.M. Suharto, yang mendasarkan pada Pasal 1372 KUHPerdata[9] dan Pasal 310 KUHP[10] terjadi suatu perbedaan pendapat mengenai relevansinya. Walaupun secara eksplisit, gugatan perdata berdasarkan Pasal 1372 KUHPerdata tidak dapat diartikan mengikuti persyaratan substansial dari unsur Pasal 310 KUHP. Oleh karena itu, Pasal 1372 KUHPerdata dan Pasal 310 KUHP tidak terdapat keterkaitan normatif antara kedua ketentuan tersebut, artinya gugatan perdata tentang penghinaan (Pasal 1372 KUHPerdata) tidaklha harus menunggu putusan pidana tentang penghinaan (Pasal 310 KUHPerdata).

Selain itu, apabila terdapat pendapat soal kaitan antara Pasal 1372 KUHPerdata dengan Pasal 310 KUHP, memang secara tidak langsung perkara ini berkaitan dengan Verspeidingdelict (delik penyiaran), yaitu delik penistaan/pencemaran sebagai bagian umum dari kelompok delik penghinaan, dimana dalam sistem hukum Anglo Saxon dikenal sebagai kelompok Libel yang tertuang dalam bentuk pernyataan tertulis, tercetak atau dalam bentuk permanen lainnya, selain itu terdapat bentuk Slander yang tertuang dalam bentuk ucapan lisan.[11] Baik Libel maupun Slander merupakan defamatory statement, yaitu suatu bentuk pernyataan-pernyataan mengenai suatu orang dan yang membawa orang tersebut dalam apa yang kemudian disebut sebagai kebencian ataupun penghinaan.[12]

Berkaitan dengan kebebasan pers dalam perkara gugatan mantan Presiden R.I., H.M. Suharto, maka dapat ditarik benang merah mengenai arti kebebasan pers itu sendiri, yaitu kebebasan pers tidaklah bersifat absolut total sebagaimana harapan majalah Time, karena kebebasan itu ada limitasinya, sebagaimana telah digarikan melalui konvensi internasional, hukum positif maupun doktrin. Sebagai bukti bahwa kebebasan pers tidak bersifat absolut adalah penerbitan majalah Time tanggal 16 April 2001 yang memuat gambar ilustrasi sketsa Nabi Muhammad SAW. Pemuatan gambar tersebut jelas sebagai bentuk pelanggaran dari limitasi kebebasan pers, yaitu attack on founders of religion, yang menimbulkan kemarahan umat Islam di dunia, sehingga secara terbuka majalah Time meminta maaf atas kekeliruan tersebut. Kebebasan pers yang absolut justru akan menimbulkan tirani kekuasaan yang otoriter bagi pers itu sendiri. Oleh karena itu, tentunya pers yang bebas (freedom of the press) tidak berarti bebas memberikan suatu pemberitaan tanpa batas dengan membentuk opini atau konklusi yang menyesatkan bagi masyarakat.[13]

Apabila kita melihat esensi dari undang-undang pers itu sendiri tercantum dalam penjelasan umum undang-undang pers yang menyebutkan:

“Pers yang merniliki kemerdekaan untuk mencari dan menyampaikan informasi juga sangat penting untuk mewujudkan Hak Asasi Manusia yang dijamin dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, antara lain yang menyatakan bahwa setiap orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi sejalan dengan Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Hak Asasi Manusia Pasal 19 yang berbunyi : "Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hak ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan, dan untuk mencari, menerima, dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang batas-batas wilayah ".

Terlepas dari permasalahan tersebut kebebasan pers jangan sampai dibenturkan dengan asas praduga tak bersalah (Presumption of Innocence) dan hendaknya membuang jauh-jauh asas praduga bersalah (Presumption of Guilty).


[1] Ashadi Siregar, Kendala Bagi Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Pers, http://www.pdfsearchengine.com, diakses pada tanggal 28 Maret 2009.

[2] Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia (MARI) Nomor 3215 K/PDT/2001 tanggal 30 Agustus 2007.

[3] Indonesia (a), Undang-Undang Nomor Pers, UU Nomor 40 Tahun 1999, LN Nomor 166 Tahun 1999, TLN Nomor 3887.

[4] Indriyanto Seno Adji, Hukum dan Kebebasan Pers, (Jakarta: Diadit Media, 2008), hal. 38.

[5] Ibid.

[6] Wina Armada, Mengugat Kebebasan Pers, Cet. I, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993), hal. 100.

[7] Buletin Etika: Berita Dewan Pers, Menjaga Kebebasan Pers, Vol. 66, ed. Oktober 2008, hal. 1.

[8] Oemar Seno Adji, Perkembangan Delik Pers di Indonesia, (Jakarta: Erlangga, 1991), hak. 35.

[9] Pasal 1372 KUHPerdata berisi Tuntutan perdata tentang hal penghinaan diajukan untuk memperoleh penggantian kerugian serta pemulihan kehormatan dan nama baik. Dalam menilai satu sama lain, hakim harus memperhatikan kasar atau tidaknya penghinaan, begitu pula pangkat, kedudukan dan kemampuan kedua belah pihak, dan keadaan.

[10] Pasal 310 KUHP berisi Barangsiapa dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan suatu hal, dengan maksud yang jelas agar hal itu diketahui umum, dianeam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

[11] Indriyanto Seno Adji, op. cit., hal 60.

[12] Joseph Dean & Philip Wittenberg. Dangerous Words: “A Guide to the Law of Libel”, hal. 39.

[13] Indriyanto Seno Adji, op. cit., hal 68.

0 komentar: