Rabu, 23 Desember 2009

Grasi di Indonesia

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sejak dahulu, grasi telah dikenal dan dipraktekkan oleh para kaisar atau raja pada masa monarki absolut, seperti misalnya pada zaman Yunani dan Romawi erta ada abad ertengahan di Eropa dan Asia. Kaisar atau Raja diangggap sebagai sumber dari segala kekuasaan termasuk di dalam kekuasaan bidan peradilan.[1] Sedangkan dewasa ini pemberian grasi oleh Kepala Negara juga masih dipraktekkan oleh banyak negara. Hal itu diberikan pada saat-saat tertentu, dengan cara memberikan remisi (pengurangan hukuman) kepada sebagian narapidana yang sedang menjalani hukuman.

Demikian juga halnya di Indonesia, setiap tanggal 17 Agustus Kepala Negara memberikan remisi kepada narapidana tertentu yang menunjukkan kelakukan yang baik. Remisi itu diberikan sebagai tanda kegembiraan atas kemerdekaan yang dicapai pada tanggal dan bulan tersebut dan agar para narapidana ikut merasakan kegembiraan pada saat yang bersejarah.

Tujuan pemberian grasi dalam bentuk pemberian remisi ini adalah untuk kepentingan para terhukum sendiri, karena telah menunjukan kelakuan yang baik sewaktu menjalani hukuman, disamping itu tujuannya adalah kepentingan negara dimana para terhukum tersebut akan lebih cepat kembali ke masyarakat. Hal ini sesuai dengan tujuan lembaga Pemasyarakatan itu sendiri. Disamping kedua bentuk pemberian grasi di atas, pada era ini banyak ditemukan perkara-perkara yang telah diputuskan oleh pengadilan untuk dimohonkan grasi kepada Presiden. Pemberian grasi pada zaman dahulu adalah atas insiatif dari kaisar, sedang dewasa ini inisiatifnya datang dari pihak terhukum sendiri yaitu dengan jalan permohonan kepada Kepala Negara, dimana pada masa dahulu sifat pemberiannya adalah sebagai hadiah atau anugerah berdasarkan kemurahan hati kaisar atau raja secara pribadi, sehingga yang memperoleh grasi tersebut berhak untuk menolaknya.[2]

B. Perumusan Masalah

Dari pembahasan diatas, penulis ingin menyampaikan beberapa inti permasalahan, antara lain:

  1. Bagaimana penerapan grasi dalam kasus Pencurian oleh terpidana Anak Agung Putu Pariadi?
  2. Apakah grasi yang diberikan bersifat menghapus atau meringankan terpidana Anak Agung Putu Pariadi?

BAB II

KASUS

Kasus posisi pada keputusan Presiden ini dengan nama terpidana Anak Agung Putu Pariadi, lahir di Negara, Bali pada tahun 1959, dengan putusan pengadilan Negeri Mataram di ampenan No. 048/PN.MTR/Pid.Sum/1981 tanggal 4 April 1981 telah dijatuhi pidana selama 3 (tiga) bulan dikurangi dengan waktu selama berada dalam tahanan sementara karena dipersalahkan melakukan kejahatan “ yang karena kealpaannya menyebabkan orang lain mati”, berupa perubahan pidan penjara yang dijatuhkan kepadanya menjadi pidana penjara selama 3 (tiga) bulan dikurangi dengan waktu selama berada dalam tahanan sementara dengan ketentuan bahwa pidana itu tidak perlu dijalani kecuali jika dikemudian hari ada perintah lain dengan keputusan pengadilan, yaitu karena terpidana melakukan tindak pidana lagi sebelum lampau masa percobaan yang lamanya 1 (satu) tahun.

Keputusan Presiden tersebut di atas memutuskan bahwa hukuman yang telah divoniskan terhadap si terpidana baru dapat dilaksanakan apabila terpidana tersebut kembali melakukan tindak pidana pada masa percobaan selama 1 (satu) tahun yang harus dijalaninya. Artinya, si terpidana tetap divonis pidana selama 3 (bulan) dipotong masa tahanan sementara, namun vonis tersebut tidak perlu dijalankan apabila selama 1 (satu) tahun masa percobaan, terpidana tersebut tidak melakukan tindak pidana kembali.

Dengan demikian, berdasarkan kesimpulan kelompok kami, grasi yang diberikan oleh presiden merupakan grasi yang menghapuskan pelaksanaan pidana, karena

BAB III

ANALISIS KASUS

A. Pengertian

Ditinjau dari segi bahasa grasi berasal dari bahasa latin yaitu berasal dari kata gratia yang berarti pengampunan. Grasi mempunyai arti memberi ampunan terhadap seseorang yang telah melakukan kesalahan. Permohonan grasi ini diajukan oleh yang dihukum bersalah kepada kepala negara atau presiden. Pemberian grasi merupakan hak prerogratif kepala negara.[3] Suatu hak merupakan ketidakharusan peranan terhadap sesuatu menurut hukum yang berlaku.[4] Oleh karena pemberian grasi merupakan suatu hak, maka kepala negara tidak berkewajiban untuk mengabulkan semua permohonan grasi yang ditujukan kepadanya.

Pemberian grasi oleh kepala negara kepada si terhukum pada umumnya dilatarbelakangi oleh hal-hal sebagai berikut;[5]

a. Seandainya dipandang adanya kekurang layakan dalam penerapan hukum, maka pemberian grasi dalam hal ini adalah untuk memperbaiki penerapan hukum;

b. Seandainya dipandang bahwa para terhukum sangat dibutuhkan negara atau pada mereka terdapat penyesalan yang sangat mendalam, maka dalam hal ini pemberian grasi adalah demi kepentingan negara.

Pertimbangan pemberian grasi kepada si terhukum lebih dititikberatkan pada memberi penilaian kembali terhadap putusan hakim. Dalam hal ini putusan tersebut dinilai kembali apakah putusan tersebut telah sesuai dengan kesalahan yang terbukti dilakukan oleh si terhukum atau apakah putusan tersebut ternyata terlalu berat dibandingkan dengan keadaan atau situasi pada saat putusan tersebut dijatuhkan. Dengan demikian, pemberian grasi merupakan suatu koreksi atas putusan hakim dengan dasar alasan-alasan yang telah diketahui setelah hakim menjatuhkan putusannya.[6]

Dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Permohonan Grasi (UU Permohonan Grasi), tidak disebutkan secara jelas mengenai pengertian grasi. Namun, pengertian grasi dapat kita simpulkan dari pasal 1 UU Permohonan Grasi yang berbunyi;

“Atas hukuman-hukuman yang dijatuhkan oleh keputusan kehakiman, baik militer maupun sipil, yang tidak dapat diubah lagi, orang yang dihukum atau pihak lain dapat memajukan permohonan grasi kepada Presiden.”

Berdasarkan bunyi pasal tersebut, dapat disimpulkan bahwa grasi merupakan pengampunan yang dapat diajukan kepada Presiden atas hukuman-hukuman yang dijatuhkan kepada si terhukum.

Pasal 1 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi (UU Grasi) memberikan pengertian mengenai grasi yaitu sebagai pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden.[7] Pada penjelasan pasal 2 UU Grasi dinyatakan bahwa putusan pengadilan yang dapat dimintakan grasi adalah putusan pengadilan sipil atau putusan pengadilan militer.[8] Dengan demikian tidak ada perubahan yang menonjol dalam pengertian grasi menurut kedua UU tersebut.

Grasi, pada dasarnya, pemberian dari Presiden dalam bentuk pengampunan yang berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan putusan kepada terpidana. Dengan demikian, pemberian grasi bukan merupakan persoalan teknis yuridis peradilan dan tidak terkait dengan penilaian terhadap putusan hakim. Pemberian grasi bukan merupakan campur tangan Presiden dalam bidang yudikatif, melainkan hak prerogatif Presiden untuk memberikan ampunan. Kendati pemberian grasi dapat mengubah, meringankan, mengurangi, atau menghapuskan kewajiban menjalani pidana yang dijatuhkan pengadilan, tidak berarti menghilangkan kesalahan dan juga bukan merupakan rehabilitasi terhadap terpidana.

B. Dasar Hukum Pemberian Grasi

Sebelum tahun 2002, pemberian grasi didasarkan pada Undang-undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Permohonan Grasi (UU Permohonan Grasi). Namun, setelah tahun 2002 pemberian grasi didasarkan pada Undang-undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi (UU Grasi).

Ruang lingkup permohonan dan pemberian grasi menurut UU Permohonan Grasi yaitu semua putusan pengadilan sipil maupun pengadilan militer yang telah berkekuatan hukum tetap. Sedangkan ruang lingkup permohonan dan pemberian grasi menurut UU Grasi yaitu terhadap semua putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Putusan tersebut adalah pidana mati, penjara seumur hidup atau penjara paling rendah dua tahun.

C. Bentuk-bentuk Grasi

Pemberian grasi oleh Presiden akan mengakibatkan penerima grasi tidak usah menjalankan pidana yang dijatuhkan oleh hakim. Pemberian grasi tersebut dapat berbentuk pembebasan dari seluruh pidana, pembebasan sebagian dari pidana, atau perubahan jenis pidana dari pidana berat menjadi pidana ringan.[9]

Dalam UU Permohonan Grasi tidak disebutkan dengan jelas bentuk-bentuk grasi yang dapat diberikan oleh Presiden. Sedangkan bentuk-bentuk grasi yang dapat diberikan kepada Presiden berdasarkan UU Grasi yaitu;[10]

1. peringanan atau perubahan jenis pidana; atau

2. pengurangan jumlah pidana; atau

3. penghapusan pelaksanaan pidana.

Keppres yang memberikan grasi berupa pembebasan dari seluruh pidana akan mengakibatkan terhukum tidak usah lagi menjalankan pidananya atau dengan kata lain terhukum dibebaskan dari masa menjalankan pidana. Sedangkan grasi yang meringankan akan mengakibatkan pidana yang dijatuhkan kepada si terhukum menjadi dikurangi.

D. Prosedur dan Proses Permohonan Grasi

Berdasarkan UU Permohonan Grasi, prosedur permohonan grasi yaitu sebagai berikut;[11]

1. Surat permohonan yang diajukan oleh terhukum atau orang lain dengan persetujuan terhukum harus ditujukan kepada Presiden dan diajukan kepada Panitera Pengadilan atau Mahkamah Militer yang memutus pada tingkat pertama atau pada pembesar di Daerahnya apabila pemohon bertempat tinggal di luar daerah hukum pengedilan itu atau jika Panitera tidak berada di tempatnya.

2. Permohonan grasi itu harus diajukan paling lambat 14 hari terhitung setelah putusan berkekuatan hukum tetap. Untuk hukuman mati permohonan grasi dapat diajukan paling lambat 30 hari setelah putusan tersebut berkekuatan hukum tetap.

3. Setelah menerima permohonan yang diajukan, Panitera Pengadilan mengirimkan surat permohonan tersebut beserta berita-berita acara sidang, surat putusan yang bersangkutan atau salinannya, dan banding serta kasasi (bila ada) kepada Ketua Pengadilan /Mahkamah Militer/Militer Tinggi yang memutus pada tingkat pertama. Kemudian Ketua Pengadilan Negeri/Mahkamah Militer tersebut mengirimkan surat-surat itu beserta pertimbangannya kepada Jaksa/Kepala Kejaksaan Negeri yang menuntut pada tingkat pertama.

4. Jaksa/Kepala Kejaksaan Negeri segera meneruskan berkas perkara beserta pertimbangannya kepada Mahkamah Agung (MA).

5. MA segera meneruskan berkas-berkas tersebut beserta pertimbangan yang diberikan kepada Menteri Kehakiman. MA terlebih dahulu meneruskan surat-surat tersebut kepada Jaksa Agung dalam hal:

a. Apabila putusan pengadilan itu mengenai hukuman mati;

b. Apabila MA memerlukan pendapat Jaksa Agung tentang kebijaksanaan penuntutan;

c. Apabila Jaksa Agung sebelumnya mengemukakan keinginannya untuk diminta pertimbangannya.

Jaksa Agung kemudian mengirimkan berkas-berkas tersebut kembali beserta pertimbangannya kepada MA.

6. Menteri Kehakiman segera meneruskan surat-surat tersebut beserta pertimbangannya kepada Presiden melalui Sekretariat Negara.

7. Presiden kemudian memberikan keputusannya, apakah mengabulkan permohonan grasi atau menolaknya.

8. Keputusan Presiden (Keppres) tersebut disampaikan kepada Menteri Kehakiman dengan membuat salinan dan petikan keputusan. Kemudian Menteri Kehakiman segera mengumumkan Keppres tersebut.

9. Salinan Keppres beserta lampirannya dikirimkan kepada instansi-instansi terkait.



[1] Nisfsu Sya’ban, Hak Presiden Dalam Memberi Grasi, Amnesti, dan Rehabilitasi, Skripsi Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1985, hal. 1.

[2] Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Bagian Dua, (Jakara: Balai Lektur Mahasiswa, 1975), hal. 303.

[3] E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta: Storia Grafika, 2002), hal 448.

[4] Purnadi Purbacaraka dan A. Ridwan Halim, Filsafah Hukum Pidana dalam Tanya Jawab, (Jakarta: Penerbit Rajawali, 1982), hal. 27.

[5] E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, op. cit., hal. 449.

[6] Lihat Wiryono Prodjodikoro dalam Nisfu Sya’ban, Hak Presiden dalam Memberi Grasi, Amnesti, Abolisi dan Rehabilitasi,” (Skripsi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1985), hal. 47.

[7] Indonesia, Undang-undang tentang Grasi, UU No. 22 Tahun 2002, LN No. 108 Tahun 2002, TLN 4234, Pasal 1 angka 1

[8] Ibid., Penjelasan Pasal 2 ayat 1.

[9] E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, op. cit., hal. 449.

[10] Indonesia, op. cit., Pasal 4 ayat 2.

[11] Nisfu Sya’ban, op. cit., hal. 74-77.

0 komentar: