Rabu, 23 Desember 2009

Analisis Putusan Mahkamah Agung No. 383 K/TUN/2003

Pemeriksaan Kasasi pada tingkat terakhir bagi pencari keadilan memang sangat dibutuhkan, setidaknya hal ini telah mengakomodasi hak asasi manusia sebagaimana diamanatkan pada Undang-Undang Dasar 1945. Oleh karena itu, pemeriksaan kasasi ini diharapkan dapat menemukan kunci dari kebuntuan dari aparat penegak keadilan dalam menyelesaikan masalah peradilan, khususnya peradilan tata usaha negara (TUN).

Pemeriksaan perkara Tata Usaha Negara tidak terlepas dari Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB), ssetidaknya dalam menerbitkan suatu keputusan (beschikking) ada pegangan yang perlu diperhatikan yaitu konsiderans yang menampakkan berbagai alasan yang mendukung diterbitkannya suatu keputusan.[1]

Dalam Putusan Mahkamah Agung No. 383 K/TUN/2003, merupakan sengketa tata usaha negara karena objek sengketa yang dipermasalahkan adalah perubahan Setipikat Hak Milik No. 1432 atas nama Wasimin Kasnawijaya tertanggal 29 Januari 2001 dengan surat ukur (GS) No. 20/20 llir/2002 tertanggal 29 Januari 2002 yang dibuat oleh Badan Pertanahan Kota Palembang yang menjadi Tergugat, sedangkan pihak Wasimin Kasnawijaya menjadi Tergugat II Intervensi.

A. Objek Sengketa Tata Usaha Negara

Objek sengketa tersebut merupakan ruang lingkup dari Keputusan Tata Usaha Negara, karena berdasarkan Pasal 1 butir 3 Undang-undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yaitu keputusan tersebut bersifat konkrit, individual, dan final. Bersifat konkret artinya objek yang diputuskan dalam keputusan TUN itu tidak abstrak, tetapi berwujud, tertentu atau dapat ditentukan.[2] Dalam permasalahan ini sertipikat yang dikeluarkan oleh BPN Palembang bersifat konkrit, karena memuat hal-hal yang berwujud dalam penguasaan tanah atas nama Wasimin Kasnawijaya. Sedangkan bersifat individual artinya keputusan TUN itu tidak ditujukan untuk umum, tetapi tertentu baik alamat maupun hal yang dituju.[3] Dalam kasus ini sertipikat hak milik dikatakan individual karena memuat nama dan hal-hal tertentu yang menidentifikasikan bahwa sertipikat tersebut milik Wasimin Kasnawijaya. Sedangkan bersifat final artinya akibat hukum yang ditimbulkan serta dimaksudkan dengan mengeluarkan penetapan tertulis itu harus benar sudah merupakan akibat hukum yasng definitif, dengan perkataan lain bahwa keputusan tersebut hanya menimbulkan suatu macam akibat hukum tertentu.[4] Dalam kasus diatas dengan penerbitan keputusan TUN berupa Sertipikat hak milik atas nama Wasimin Kasnawijaya menimbulkan suatu akibat hukum karena adanya peralihan hak milik dari pemilik lama menjadi kepunyaan pemilik baru dengan dikeluarkannya Setipikat Hak Milik No. 1432. Dengan demikian, sengketa yang tedapat dalam kasus ini masih dalam ruang lingkup dari Tata Usaha Negara.

B. Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara

Kompetensi peradilan tata usaha berkaitan dengan masalah kewenangan untuk mengadili. Kompetensi dibagi menjadi 2 (dua) yaitu kompetensi relatif dan kompetensi absolut. Kompetensi relatif artinya kewenangan mengadili didasarkan pada dimana perkara dapat diajukan, misalnya di PTUN Palembang, atau PTUN Lampung. Sedangkan kompetensi absolut artinya kewenangan mengadili didasarkan pada pengadilan apa yang berwenang untuk memeriksa dan mengadili, misalnya Pengadilan Tata Usaha Negara ataukah Pengadilan Umum.

Dalam kasus ini, karena yang dipermasalahkan adalah penerbitan Sertipikat hak milik yang dikeluarkan oleh pejabat TUN dalam hal ini adalah Kepala Badan Pertanahan Kota Palembang, maka kompetensi absolut dari kasus ini yang mengajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Palembang sudah tepat. Lalu berkaitan dengan kompetensi relatif yang memilih kota Palembang sebagai tempat yang berwenang untuk memeriksa dan mengadili adalah tepat, karena pejabat yang mengeluarkan keputusan TUN di kota Palembang. Berdasarkan Pasal 54 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1986 menyatakan bahwa “gugatan sengketa Tata Usaha Negara diajukan kepada Pengadilan yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan tergugat.” Artinya kompetensi harus ditujukan ke tempat kediaman tergugat. Dalam kasus ini tempat kediaman tergugat di Jalan Kapten A. Rivai No. 99, Palembang, dimana hal ini telah sesuai dengan pengajuan perkara Tata Usaha Negara tersebut.

C. Tenggang Waktu Pengajuan Gugatan

Pasal 55 UU No. 5 Tahun 1986 menyatakan “gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu sembilan puluh hari tehitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.” Artinya gugatan yang menjadi sengketa Tun harus diajukan paling lambat 90 hari sejak diterima atau diumumkan. Perlu dicermati bahwa kata “atau” berarti fakultatif, bisa pada waktu diterima, bisa juga pada waktu diumumkan.

Dalam kasus ini penggugat yaitu Sandy Hasan baru mengetahui bahwa sertipikat hak milik atas nama Wasimin Kasnawijaya diterbitkan pada tanggal 29 Januari 2002, sedangkan Sandy Hasan menggugat pada tanggal 10 Juni 2002, artinya Sandy sudah lewat tenggang waktu 90 hari yang telah diamanatkan dalam Pasal 55 UU No. 5 Tahun 1986. Akan tetapi, berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 5 K/TUN/1992 tanggal 21 Januari 1993, perhitungan tenggang waktu 90 hari seperti dimaksud pada pasal 55 adalah sejak Penggugat mengetahui adanya Keputusan Tata Usaha Negara yang merugikan pihaknya tersebut. Oleh karena itu, pertimbangan mengenai pengajuan gugatan sudah tepat, karena Sandy Hasan sebagai Penggugat baru mengetahui adanya penerbitan sertipikat sejak bulan April 2002.

D. Masuknya Pihak Intervensi

Berdasarkan Pasal 83 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1986 “selama pemeriksaan berlangsung, setiap orang yang berkepentingan dalam sengketa pihak lain yang sedang diperiksa oleh Pengadilan, baik atas prakarsa sendiri dengan mengajukan permohonan, maupun atas prakarsa Hakim dapat masuk dalam sengketa Tata Usaha Negar, dan bertindak sebagai:

a. Pihak yang membela haknya, atau

b. Peserta yang bergabung dengan salah satu pihak yang bersengketa.”

Dalam kasus ini, adanya pihak yang merasa dirugikan atas gugatan yang dilakukan oleh Sandy Hasan sebagai Penggugat, sehingga Wasimin Kasnawijaya mengajukan permohonan untuk ikut serta membela haknya. Konsekuensi logis dengan adanya asas erga omnes, artinya putusan itu tidak hanya berlaku bagi para pihak yang bersengketa juga berlaku bagi pihak-pihak lain yang terkait.[5] Intervensi dimungkinkan dalam setiap Peradilan Tata Usaha Negara, karena putusan yang dibuat Majelis Hakim juga akan berdampak langsung dengan pihak-pihak yang tidak digugat oleh Penggugat, oleh karena itu proses intervensi ini sangat efesien dan efektif dalam suatu badan peradilan.

E. Pemeriksaan Judex Juris di Tingkat Mahkamah Agung

Berdasarkan Pasal 30 Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, pada tingkat kasasi hanya diperiksa mengenai:

  1. tidak berwenang atau melampaui batas wewenang;
  2. salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku;
  3. lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan.

Dalam Putusan Mahkamah Agung tersebut, kami setuju karena Majelis Hakim Pengadilan Tinggi dalam pertimbangannya melihat bahwa Pengadilan Tinggi memutus tanpa adanya dasar 2 (dua) alat bukti yang diperoleh dari keyakinan Hakim, dimana pertimbangan Putusan Pengadilan Negeri Palembang yang terdapat kelalaian memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang dapat menyebabkan batalnya putusan. Berdasarkan Pasal 107 UU No. 5 Tahun 1986 menyatakan bahwa “Hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian beserta penilaian pembuktian, dan untuk sahnya pembuktian diperlukan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti berdasarkan keyakinan Hakim.” Jika kita menrujuk mengenai alat bukti, maka berdasarkan Pasal 100 UU No. 5 Tahun 1986, alat bukti dibagi menjadi 5:

1. Surat atau tulisan

2. Keterangan ahli

3. Keterangan saksi

4. Pengakuan para pihak

5. Pengetahuan hakim

Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa Hakim dalam menjatuhkan putusan harus berdasarkan 2 alat bukti, dan dalam kasus ini Pengadilan Negeri tidak mempertimbangkan alat bukti mana saja yang dipakai. Apabila dipakai hanyalah 1 alat bukti saja yaitu alat bukti surat, sehingga dengan keterbatasan alat bukti ini putusan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi yang memeriksa judex factie (fakta-fakta) haruslah dibatalkan dengan Mengadili Sendiri.

Oleh karena kewenangan dari Mahkamah Agung yang hanya memeriksa judex juris (penerapan hukum) saja, maka menurut hemat kami Putusan Pengadilan Tinggi dalam perkara a quo haruslah dikuatkan sedangkan Putusan Pengadilan Negeri sesuai dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 588 K/Sip/1975 tertanggal 13 Juli 1976 jo. MARI No. 638 K/Sip/1969 tertanggal 22 Juli 1970 haruslah dibatalkan.



[1] P.M. Hadjon, et. al., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1944), hal. 275.

[2] Indroharto, S.H., Peradilan Tata Usaha Negara Buku I Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara, cet. 9, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2004), hal. 172.

[3] Ibid.

[4] Ibid, hal. 173.

[5] Anna Erliyana, S.H., M.H., dan Seomaryono, S.H., Tuntunan Praktik Beracara di Peradilan Tata Usaha Negara, (Jakarta: PT. Primamedia Pustaka, 1999), hal. 2.

0 komentar: