Rabu, 23 Desember 2009

Analisis Mendalam Putusan Mahkamah Agung No. 383 K/TUN/2003

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum Tata Usaha Negara atau Hukum Administrasi Negara dapat diartikan sebagai keseluruhan aturan-aturan hukum yang berkaitan dengan penyelenggaraan urusan pemerintahan negara atau dengan singkat dapat pula disebut dengan nama hukum pemerintahan (negara).[1] Selain pengertian mengenai Hukum Adminstrasi Negara diatas, kita juga mengenal pengertian tentang Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara..

Pengadilan Tata Usaha Negara sebagai pengadilan yang menjalankan tugasnya dalam memeriksa dan memutus sengketa di bidang Hukum Acara Tata Usaha Negara tentu saja telah banyak menangani perkara-perkara dibidang administrasi negara. Perkara-perkara itu kadang ada yang langsung selesai di tingkat pertama, namun ada juga yang selesai sampai di tingkat terakhir yaitu Mahkamah Agung. Salah satu perkara mengenai Tata Usaha Negara itu adalah mengenai sengketa tanah yang terjadi antara Sandy Hasaan sebagai Penggugat berlawanan dengan Kepala Kantor Badan Pertanahan Kota Palembang sebagai Tergugat. Kasus inilah yang akan kami bahas di dalam makalah ini dimana pembahasan pada bab berikutnya akan kami mulai dengan penjelasan kasus posisi dilengkapi dengan analisa putusan dari tingkat Pengadilan Negeri sampai analisa ke tingkat Mahkamah Agung, dimana analisa kami akan mengkaitkan dengan teori-teori Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha Negara.

B. Perumusan Masalah

Dari pembahasan diatas, penulis ingin menyampaikan beberapa inti permasalahan, antara lain:

1. Apakah dalam kasus sengketa kepemilikan Sertipikat Hak Milik termasuk kompetensi dari Peradilan Tata Usaha Negara untuk memeriksa dan mengadili?

2. Apakah Putusan Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, ataupun Mahkamah Agung sudah tepat?

BAB II

KASUS POSISI

Text Box: PENGGUGAT : Sandy Hasaan pemilik tanah dengan sertifikat Hak Milik No. 377 kelurahan 20 Ilir tanggal 10 Januari 1973. melawan  TERGUGAT I: Kepala Kantor Badan Pertanahan (BPN) Kota Palembang.  TERGUGAT II INTERVENSI : Wasimin Kasna Wijaya pembeli lelang eksekusi.


Permasalahan tersebut bermula ketika Sandy Hasaan memiliki sebidang tanah dengan sertipikat hak milik No. 377 Kelurahan 20 Ilir tanggal 10 Januari 1973 Palembang dengan luas tanah tersebut adalah 1575 M dan GS No. 847/ 1974 (tanggal 21 November 1972) yang terletak di jalan Veteran Lorong Pagar Alam I No. 96, dimana tanah tersebut oleh Sandy Hasaan di bebani dengan hak tanggungan pada PT. Bank Internasional Indonesia (BII) di Jakarta. Namun, sebelumnya telah terjadi sengketa antara Sandy Hasaan di Pengadilan Negeri Palembang dengan No. Perkara No.17/ Pdt.G/ 2000.PN-Plg yang berdasarkan Surat Pengakuan Hutang tanggal 10 Oktober 1996 dimana pengadilan negeri Palembang pada tanggal 31 Mei 2001 telah diputus Verstek, karena Sandy tidak hadir dalam persidangan. Sandy mengajukan perlawanan namun oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Palembang telah dinyatakan lewat waktu. Berdasarkan putusan verstek tersebut, maka sertipikat hak milik No 377 atas nama Sandy Hasaan telah dilelang oleh kantor lelang Negara Palembang dengan risalah lelang No. 209/2001 tanggal 26 November 2001.

April 2002 sertipikat hak milik tersebut telah diubah oleh Wasimin Kasnawija dengan nomor sertipikat No. 1342 Kelurahan 20 Ilir I dan telah diterbitkan pada tanggal 29 Januari 2002 dengan surat ukur No. 20/20Ilir/2002 yang dikeluarkan oleh Kepala BPN Kota Palembang. Setelah itu, sertipikat tersebut telah dihapus dan dialihkan kepada Wasimin sebagai pembeli lelang sesuai dengan Pasal 190 ayat (3) dan (4) Peraturan Menteri Negara Agraria No. 3 tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No.24 tahun 1997 tentang pendaftaran tanah..

BAB III

ANALISIS KASUS

A. Analisis Putusan Pengadilan Negeri No. 20/G/TUN/2002/PTUN. PLG

Keputusan tata usaha negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat TUN yang berisi tindakan hukum TUN yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata (Pasal 1 butir 3 UU No. 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara).

Pokok sengketa dalam PTUN adalah keputusan TUN yang dianggap penggugat merugikan kepentingan atau haknya. Keputusan TUN dalam kasus ini yang disengketakan adalah terbitnya atau beredarnya dua Sertifikat Hak Milik (SHM). Dalam konsep hukum tanah nasional, sertifikat hak milik merupakan alat bukti yang kuat dalam pembuktian di pengadilan, dimana dalam hal ini terdapat 2 (dua) serifikat dengan nama pemilik yang berbeda yaitu Sandy Hasaan dan Wasimin Kasna Wijaya. Berdasarkan uraian kasus posisi diatas, terdapat beberapa hal yang patut dicermati, yaitu:

a. Subjek KTUN

Subjek TUN yang dimaksud dalam hal ini adalah siapa sajakah pihak-pihak yang berperkara dalam proses PTUN ini. Berdasarkan pada hukum acara peradilan tata usaha negara, pada pemerikasaan PTUN ini terlihat bahwa terdapat kedudukan yang tidak seimbang antara pihak Penggugat dan Tergugat PTUN. Ketidakseimbangan itu ada pada kedudukan kepala badan pertanahan kota Palembang adalah sebagai pejabat tata usaha negara yang memiliki kedudukan lebih tinggi daripada Sandy Hasaan yang hanya sebagai rakyat biasa.

b. Objek Sengketa Tata Usaha Negara pada MA

Objek yang dipersengketakan dalam tata usaha negara yang terhadap keputusan tata usaha negara adalah keputusan tata usaha negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986. Dalam perkara ini objek kasasi merupakan keputusan tata usaha negara yaitu keputusan Kepala Badan Pertanahan Kota Palembang yang telah menerbitkan sertipikat pengganti hak milik No. 1342/20 Ilir tertanggal 29 Januari 2001 dengan Surat Ukur No. 20/20 Ilir/2002 tertanggal 29 Januari 2002.

Berdasarkan hal tersebut, maka memang benar bahwa perkara tersebut adalah termasuk dalam objek sengketa tata usaha negara yang dapat dimohonkan pemeriksaaan kasasi atas putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Medan No. 05/BDG/2003/PT.TUN-MDN.

c. Masuknya pihak intervensi sebagai tergugat II intervensi

Berdasarkan Pasal 83 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1986 menyatakan

“selama pemeriksaan berlangsung, setiap orang yang berkepentingan dalam sengketa pihak lain yang sedang diperiksa oleh Pengadilan, baik atas prakarsa sendiri dengan mengajukan permohonan, maupun atas prakarsa Hakim dapat masuk dalam sengketa Tata Usaha Negar, dan bertindak sebagai:

i. Pihak yang membela haknya, atau

ii. Peserta yang bergabung dengan salah satu pihak yang bersengketa.”

Dalam kasus ini, adanya pihak yang merasa dirugikan atas gugatan yang dilakukan oleh Sandy Hasan sebagai Penggugat, sehingga Wasimin Kasnawijaya mengajukan permohonan untuk ikut serta membela haknya. Konsekuensi logis dengan adanya asas erga omnes, artinya putusan itu tidak hanya berlaku bagi para pihak yang bersengketa juga berlaku bagi pihak-pihak lain yang terkait.[2] Intervensi dimungkinkan dalam setiap Peradilan Tata Usaha Negara, karena putusan yang dibuat Majelis Hakim juga akan berdampak langsung dengan pihak-pihak yang tidak digugat oleh Penggugat, oleh karena itu proses intervensi ini sangat efesien dan efektif dalam suatu badan peradilan.

d. Penerbitan dua buah SHM oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN)

SHM atas tanah tersebut, pertama kali diterbitkan pada tanggal 10 Januari 1973 atas nama penggugat lalu kemudian pada tanggal 29 Januari 2001 dikeluarkan SHM atas tanah yang sama dengan nama tergugat II intervensi. Tergugat II intervensi mengklaim bila tanah tersebut didapatkannya dari lelang yang dilakukan setelah tanggal 26 Oktober 2001. Konsekuensi logis dari sistem publikasi atas tanah yang digunakan di Indonesia adalah sistem negatif, yang artinya negara tidak menjamin data yang disajikan dalam kantor pertanahan karena data yang disajikan dalam pendaftaran tidak boleh begitu saja dipercaya kebenarannya. Berdasarkan sistem yang kita anut ini, kita dapat melihat bila memang wajar saja bila dikemudian hari akan timbul permasalahan seperti ini. Kantor pertanahan seharusnya menjalankan tugas dengan cermat dan hati-hati agar tidak menerbitkan 2 SHM yang berbeda. Hal ini memperlihatkan kantor pertanahan tidak menjalankan tugas dalam mendata hak atas tanah yang telah didaftarkan sebelumnya, sehingga permohonan SHM berikutnya dapat dikabulkan.

e. Tenggang Waktu Mengajukan Gugatan 90 hari

Tenggang waktu gugat adalah batas waktu atau kesempatan yang diberikan oleh Undang-undang kepada seseorang atau badan hukum perdata untuk memperjuangkan haknya dengan cara mengajukan gugatan melalui PTUN.[3] Mengenai tenggang waktu ini diatur dalam Pasal 55 Undang-undang No. 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dimana dinyatakan bila “gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu 90 (Sembilan puluh) hari sejak saat diterimanya atau diumumkannya keputusan badan atau pejabat TUN.” Artinya gugatan yang menjadi sengketa TUN harus diajukan paling lambat 90 hari sejak diterima atau diumumkan. Perlu dicermati bahwa kata “atau” berarti fakultatif, bisa pada waktu diterima, bisa juga pada waktu diumumkan. Pertimbangan yang diberikan oleh hakim mengenai jangka waktu ini memang sudah sewajarnya karena majelis hakim melihat bila perhitungan tenggang waktu 90 hari adalah sejak penggugat mengetahui perihal keputusan TUN tersebut. Dalam kasus ini penggugat yaitu Sandy Hasan baru mengetahui bahwa sertipikat hak milik atas nama Wasimin Kasnawijaya diterbitkan pada tanggal 29 Januari 2002, sedangkan Sandy Hasan menggugat pada tanggal 10 Juni 2002, artinya Sandy sudah lewat tenggang waktu 90 hari yang telah diamanatkan dalam Pasal 55 UU No. 5 Tahun 1986. Akan tetapi, berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 5 K/TUN/1992 tanggal 21 Januari 1993, perhitungan tenggang waktu 90 hari seperti dimaksud pada pasal 55 adalah sejak Penggugat mengetahui adanya Keputusan Tata Usaha Negara yang merugikan pihaknya tersebut. Oleh karena itu, pertimbangan mengenai pengajuan gugatan sudah tepat, karena Sandy Hasan sebagai Penggugat baru mengetahui adanya penerbitan sertipikat sejak bulan April 2002.

f. Nilai Pembuktian

Hal tersebut merupakan bagian dari pasal 107 Undang-undang No.9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dimana dinyatakan “Hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian, dan untuk sahnya pembuktian diperlukan sekurang-kurangnya dua alat bukti berdasarkan keyakinan hakim”. Pasal ini mengatur ketentuan dalam rangka usaha menemukan kebenaran materil. Berbeda dengan system hukum pembuktian dalam hukum acara perdata, maka dengan memperhatikan segala sesuatu yang terjadi dalam pemeriksaan tanpa bergantung pada fakta dan hal yang diajukan oleh para pihak, Hakim Peradilan Tata Usaha Negara dapat menetukan sendiri, yaitu Apa yang harus dibuktikan, Siapa yang harus dibebani pembuktian, hal apa yang harus dibuktikan oleh pihak yang berperkara dan hal apa saja yang harus dibuktikan oleh hakim sendiri, Alat bukti mana saja yang diutamakan untuk dipergunakan dalam pembuktian, Kekuatan pembuktian yang telah diajukan.

Berdasarkan kasus tersebut, kita dapat melihat bila majelis hakim memutus perkara hanya berdasarkan dari pertimbangan alat bukti yang diberikan para pihak berupa surat atau tulisan, salah satunya adalah SHM. Meskipun Pasal 107 diatas telah menyebutkan sekurang-kurangnya 2 alat bukti. Pasal 100 UU No. 9 Tahun 2004 menyebutkan alat bukti yang dipergunakan dalam pembuktian dalam PTUN, ialah surat atau tulisan, keterangan ahli, keterangan saksi, pengakuan para pihak, dan pengetahuan hakim. Tampaknya hal ini luput dari perhatian hakim sehingga menurut kami dengan lalainya hakim memperhatikan hal tersebut, dapat menyebabkan batalnya putusan pengadilan.

Berdasarkan pertimbangan terakhir tersebut dimana hakim telah lalai untuk memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan maka kami tidak setuju dengan putusan yang telah dijatuhkan hakim pada tingkat pertama ini dikarenakan pertimbangan hakim dalam memutus kasus ini yang menyalahi aturan khususnya Pasal 107 Undang-undang No.9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

Berdasarkan beberapa pokok pertimbangan hakim diatas, kami setuju atas putusan pada tingkat PTUN mengenai Subjek, Objek, Tenggang Waktu Mengajukan Gugatan PTUN, akan tetapi kami tidak setuju dengan nilai pembuktian mengenai pertimbangan hukum dari pembuktian itu sendiri. Sehingga mengenai substansi perkara kami tidak sependapat dengan putusan tersebut.

B. Analisis Putusan Pengadilan Tinggi Putusan Perkara No. 05/BDG/2003/ PT.TUN-MDN

Dalam kasus ini, keputusan tata usaha Negara berupa penerbitan sertipikat hak milik tidak dapat diajukan banding administratif. Hal ini dikarenakan menurut ketentuan di dalam pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, apabila keberatan terhadap penerbitan suatu sertipikat hak milik maka dapat mengajukan gugatan langsung ke Pengadilan. Oleh karena itu, terbukti bahwa perkara ini tidak dapat dikenai ketentuan dalam pasal 48 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004. Selanjutnya, seperti yang telah dijelaskan pada pembahsan sebelumnya, penerbitan sertipikat hak milik nomor 1342 juga tidak dapat dikenai ketentuan dalam pasal 49 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004.

Dalam hal ini, pemeriksaan banding atas perkara penerbitan sertipikat hak milik nomor 1342 terhadap tanah yang terletak di Palembang, dilakukan oleh Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Medan. Hal ini dinilai sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Menurut pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1990 tentang Pembentukan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta, Medan, dan Ujung Pandang j.o. pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 maka Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Medan memang berwenang untuk memeriksa dan memutus perkara banding dalam wilayah hukum Daerah Istimewa Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Sumatera Selatan, Jambi, Bengkulu, dan Lampung. Oleh karena itu, objek sengketa tata usaha Negara terkait penerbitan sertipikat hak milik nomor 1342 terhadap tanah di Palembang, Sumatera Selatan adalah benar termasuk kompetensi relative pengadilan tinggi tata usaha Negara Medan.

Menurut pasal 123 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 maka diketahui bahwa permohonan banding paling lambat diajukan 14 hari setelah putusan Pengadilan Tata Usaha Negara diberitahukan kepada pemohon banding. Dalam hal ini, pemohon banding adalah Kepala Kantor Badan Pertanahan Nasional kota Palembang dan Wasimin Kasnawijaya. Keduanya hadir dalam pembacaan putusan pengadilan tata usaha Negara pada tanggal 23 Oktober 2002. Oleh karena itu, keduanya memiliki jangka waktu sampai dengan tanggal 6 November 2002. Akan tetapi, Kepala Kantor Badan Pertanahan Nasional kota Palembang telah mengajukan permohonan banding kepada panitera pengadilan tata usaha Negara pada tanggal 4 November 2002. Sementara itu, Wasimin Kasnawijaya mengajukan permohonan banding pada tanggal 31 Oktober 2002. Oleh karena itu, pengajuan permohonan banding yang diajukan oleh Kepala Kantor Badan Pertanahan Nasional kota Palembang dan Wasimin Kasnawijaya telah sesuai dengan ketentuan yang terdapat di dalam pasal 123 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004.

Dalam hal pengajuan permohonan banding maka ada beberapa persyaratan formal yang harus dipenuhi. Persyaratan formil tersebut antara lain 1) pengiriman salinan putusan dan berita acara pengadilan tata usaha Negara kepada pengadilan tinggi tata usaha Negara paling lambat 60 hari (pasal 126 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004), dan 2) bagi para pihak yang membuat memori banding atau kontra memori banding maka harus menyerahkan salinannya kepada pihak lawan melalui perantaraan pengadilan (pasal 126 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004). Dalam kasus ini, pernyataan permohonan pemeriksaan banding adalah tanggal 4 November 2002. Oleh kerana itu, pengadilan tata usaha Negara memiliki waktu sampai dengan tanggal 3 Januari 2003. Akan tetapi pengadilan tata usaha Negara kota Palembang telah mengirimkan salinan putusan dan berita acara pengadilan tata usaha Negara kepada pengadilan tinggi tata usaha Negara Medan pada tanggal 6 November 2002. Oleh karena itu, telah terpenuhilah ketentuan di dalam pasal 126 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004. Dalam perkara ini, para pemohon banding telah membuat memori banding dan termohon banding membuat kontra memori banding. Baik pemohon maupun termohon banding telah mengirimkan salinannya kepada pihak lawan masing-masing melalui perantara kepaniteraan pengadilan tata usaha Negara kota Palembang. Oleh karena itu, perkara ini juga telah memnuhi ketentuan dalam pasal pasal 126 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004.

Dalam perkara ini, alat bukti yang digunakan oleh pemohon banding adalah kutipan risalah lelang No. 209/2001 tanggal 26 November 2001, kwitansi pelunasan harga lelang nomor: KW. 432/209/2001 tanggal 26 November 2001 dan Surat penetapan Ketua Pengadilan Negeri Palembang tanggal 6 Agustus 2001 Nomor 02/17/Pen.Pdt.G/2000/Eks/2001/PN.Plg. Ketiga alat bukti tersebut termasuk ke dalam alat bukti kelompok surat sebagaimana diatur di dalam pasal 100 ayat (1) 122 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004. Lebih jelasnya, alat bukti berupa kutipan risalah lelang dan surat penetapan Pengadilan Negeri Palembang termasuk ke dalam kelompok surat jenis akta otentik. Sedangkan alat bukti berupa kwitansi pelunasan harga lelang adalah termasuk kelompok surat jenis akta dibawah tangan. Hal ini diatur di dalam pasal 101 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004.

C. Analisis Putusan Mahkamah Agung No. 383 K/TUN/2003

Pemeriksaan Kasasi pada tingkat terakhir bagi pencari keadilan memang sangat dibutuhkan, setidaknya hal ini telah mengakomodasi hak asasi manusia sebagaimana diamanatkan pada Undang-Undang Dasar 1945. Oleh karena itu, pemeriksaan kasasi ini diharapkan dapat menemukan kunci dari kebuntuan dari aparat penegak keadilan dalam menyelesaikan masalah peradilan, khususnya peradilan tata usaha negara (TUN). Pemeriksaan perkara Tata Usaha Negara tidak terlepas dari Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB), ssetidaknya dalam menerbitkan suatu keputusan (beschikking) ada pegangan yang perlu diperhatikan yaitu konsiderans yang menampakkan berbagai alasan yang mendukung diterbitkannya suatu keputusan.[4]

Terhadap putusan pengadilan tinggi tata usaha negara dapat dimohonkan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung yang berdasarkan ketentuan dalam Pasal 131 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 1986. Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat dianalisis Putusan Mahkamah Agung No. 383 K / TUN / 2003 berdasarkan ketentuan dalam hukum acara peradilan tata usaha negara yaitu:

a. Tenggang Waktu Kasasi

Tenggang waktu pengajuan kasasi mengacu pada UU Nomor 14 Tahun 1985 yaitu permohonan kasasi diajukan dalam tenggang waktu 14 hari setelah putusan banding diterima para pihak, dalam waktu 7 hari permohonan tersebut diberitahukan kepada pihak lawan dan dalam waktu 14 hari memori kasasi sudah diterima kepaniteraan PTUN. Kontra memori kasasi selambat-lambatnya 14 hari sesudah disampaikan memori kasasi harus sudah diterima di kepaniteraan PTUN dan dalam waktu 30 hari sesudah permohonan kasasi diajukan berkas perkara sudah harus dikirim ke Mahkamah Agung.

Berdasarkan putusan Mahkamah Agung diketahui tenggang waktu pengajuan kasasi adalah tepat dan perkara dapat diperiksa oleh Mahkamah Agung. Tenggang waktu pengajuan permohonan kasasi tepat di hari ke 14 setelah putusan banding diterima oleh pemohon kasasi yang dalam hal ini adalah Sandy yang diwakili kuasa hukumnya, dimana putusan banding diterima pemohon kasasi pada tanggal 20 Juni 2003 dan permohonan kasasi diajukan pada tanggal 04 Juli 2003. Memori kasasi diajukan pemohon pada hari ke 13 setelah permohonan kasasi diterima yaitu pada tanggal 17 Juli 2003. Pengajuan kontra memori kasasi oleh termohon kasasi juga masih dalam tenggang waktu yang telah ditetapkan.

b. Alasan Permohonan Kasasi Terkait Pemeriksaan Judex Juris di Tingkat Mahkamah Agung

Alasan mengajukan kasasi merujuk pada Pasal 30 UU Nomor 5 Tahun 2004 mengenai Mahkamah Agung yang menyebutkan bahwa:

“Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi membatalkan putusan atau penetapan pengadilan-pengadilan dari semua lingkungan peradilan karena:

a. tidak berwenang atau melampaui batas wewenang

b. salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku

c. lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan.”

Berdasarkan ketentuan pasal tersebut dan dihubungkan dengan Putusan Mahkamah Agung No. 383 K/TUN/2003 maka pertimbangan hakim Mahkamah Agung, kasasi yang diajukan tersebut tidak memenuhi Pasal 30 UU Nomor 5 Tahun 2004. Dalam putusan Mahkamah Agung tersebut menyatakan bahwa pemohon kasasi tidak menunjukkan kesalahan dalam menerapkan hukum yang dilakukan oleh Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Medan. Alasan pemohon kasasi dalam pengajuan permohonan kasasi dinilai sebagai pengulangan fakta belaka. Memang apabila ditinjau lebih lanjut ternyata dalam memori kasasi yang dibuat oleh pemohon kasasi terlihat alasan kasasi tidak menunjukkan dengan jelas alasan yang ada dalam Pasal 30 UU Nomor 5 Tahun 2004. Pemohon tidak menjelaskan mengapa salah menerapkan hukum dan bagaimana seharusnya hukum yang diinginkan diterapkan dalam pemeriksaaan tersebut, bukan hanya alasan yang ingin dikabulkan oleh majelis hakim saja yang diungkapkan.

Dalam Putusan Mahkamah Agung tersebut, kami setuju karena Majelis Hakim Pengadilan Tinggi melihat bahwa Pengadilan Tinggi memutus tanpa adanya dasar 2 (dua) alat bukti yang diperoleh dari keyakinan Hakim, dimana pertimbangan Putusan Pengadilan Negeri Palembang yang terdapat kelalaian memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang dapat menyebabkan batalnya putusan. Berdasarkan Pasal 107 UU No. 5 Tahun 1986 menyatakan bahwa “Hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian beserta penilaian pembuktian, dan untuk sahnya pembuktian diperlukan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti berdasarkan keyakinan Hakim.” Jika kita merujuk mengenai alat bukti, maka berdasarkan Pasal 100 UU No. 5 Tahun 1986, alat bukti dibagi menjadi 5, yaitu Surat atau tulisan. Keterangan Ahli, Keterangan Saksi, Pengakuan Para Pihak, Pengetahuan Hakim.

Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa Hakim dalam menjatuhkan putusan harus berdasarkan 2 alat bukti, dan dalam kasus ini Pengadilan Negeri tidak mempertimbangkan alat bukti mana saja yang dipakai. Apabila dipakai hanyalah 1 alat bukti saja yaitu alat bukti surat, sehingga dengan keterbatasan alat bukti ini putusan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi yang memeriksa judex factie (fakta-fakta) haruslah dibatalkan dengan Mengadili Sendiri. Oleh karena kewenangan dari Mahkamah Agung yang hanya memeriksa judex juris (penerapan hukum) saja, maka menurut hemat kami Putusan Pengadilan Tinggi dalam perkara a quo haruslah dikuatkan sedangkan Putusan Pengadilan Negeri sesuai dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 588 K/Sip/1975 tertanggal 13 Juli 1976 jo. MARI No. 638 K/Sip/1969 tertanggal 22 Juli 1970 haruslah dibatalkan.

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari pembahasan yang telah diuraikan dihubungkan dengan pokok permasalahan yang telah dirumuskan, maka kami dapat menarik kesimpulan bahwa:

1. Sengketa sertipikat Hak Milik Nomor 1342/20 Ilir tertanggal 29 Januari 2001 dengan Surat Ukur No. 20/20 Ilir/2002 tertanggal 29 Januari 2002 Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, karena dalam kasus ini sertipikat hak milik harus dipandang sebagai suatu keputusan yang berlaku individual, konkret dan final.

2. Dalam Putusan Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi maupun Mahkamah Agung yang menyangkut masalah subjek, objek, kompetensi, tenggang waktu mengajukan gugatan dalam sengketa TUN ini sudah tepat, akan tetapi dalam pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Negeri yang mengabulkan permohonan Penggugat seluruhnya, kami menilai kurang tepat karena berdasarkan Pasal 100 UU No. 5 Tahun 1986 Hakim harus menilai beban pembuktian selama persidangan, terlebih mengenai Alat Bukti yang dipakai. Hal ini mengindikasikan bahwa putusan yang dibuat oleh Pengadilan Negeri tidak dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.

B. Saran

Berdasarkan pembahasan yang telah kami sampaikan, penulis memberikan saran dan rekomendasi, agar para aparatur penegak hukum termasuk calon aparatur penegak hukum kelak di masa datang, selalu mempertimbangkan permasalahan dengan menyeluruh sehingga mendapatkan suatu penafsiran yang tidak salah, terutama para Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Tinggi hendaknya mempertimbangkan seluruh fakta dan dasar-dasar hukum dalam membuat putusan tidak salah menerapkan produk legislasi dan Hakim pada Mahkamah Agung sebagai “pagar” terakhir penegak keadilan hendaknya memberikan alasan-alasan yang jelas dan lengkap mengenai penerapan hukum yang salah, serta undang-undang tidak ditafsirkan secara leterlijk saja, tetapi juga sumber hukum tidak terbatas dari perundang-undangan, akan tetapi meliputi juga doktrin, yurisprudensi hakim dan lain-lain.

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Hadjon, P.M., et. al., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1944)

Indroharto. Peradilan Tata Usaha Negara Buku I Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara, cet. 9, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2004)

Soemaryono, SH dan Anna Erliyana, SH., MH. Tuntutan Praktik Beracara di Peradilan Tata Usaha Negara, (Jakarta: Primamedia Pustaka, 1999)

B. Peraturan Perundang-Undangan

Indonesia, Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, UU Nomor 5 Tahun 1986, LN Nomor 77 Tahun 1986, TLN Nomor 2334.

Indonesia, Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, UU Nomor 5 Tahun 1986, LN Nomor 35 Tahun 2004, TLN Nomor 4380.

Indonesia, Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman, UU Nomor 4 Tahun 2004, LN Nomor 8 Tahun 2004, TLN Nomor 4358.



[1] Indroharto, S.H., Peradilan Tata Usaha Negara Buku I Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara, cet. 9, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2004), hal. 27.

[2] Soemaryono, dan Anna Erliyana, op. cit., hal. 2.

[3] Soemaryono, SH dan Anna Erliana, SH., MH, Tuntutan Praktik Beracara di Peradilan Tata Usaha Negara, (Jakarta: Primamedia Pustaka, 1999), hal .3.

[4] P.M. Hadjon, et. al., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1944), hal. 275.

0 komentar: