Rabu, 23 Desember 2009

Class Action Banjir Jakarta

BAB II

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi telah mengubah berbagai kehidupan terutama dalam bidang lingkungan hidup. Begitu dekatnya menusia hidup berdampingan dengan lingkungan hidup, tak heran ketika lingkungan mulai berubah, secara langsung manusia akan mengalami dampak yang begitu besar dan sulit untuk mencegah dengan waktu singkat, begitu juga dengan Banjir Jakarta.

Banjir Jakarta merupakan suatu bencana yang seharusnya dapat diperkirakan oleh manusia sebelumnya terutama bagi pemerintah daerah setempat agar dapat menanggulangi secara dini, akan tetapi dalam prakteknya belum ada satu langkah yang konkrit untuk menanggulangi permasalahan banjir di Jakarta. Permasalahan yang begitu kompleks mengenai masalah banjir membuat isu ini menjadi isu yang paling atas bagi Gubernur DKI Jakarta untuk menyelesaikan pekerjaan rumah yang telah menumpuk.

Banjir Jakarta dibutuhkan peran serta masyarakat yang sangat kuat untuk mengubah kondisi yang selalu menimpa masyarakan Jakarta melalui penegakan hukum yang kuat sehingga norma-norma yang berada dalam masyarakat dan dalam peraturan perundang-undangan dapat diterapkan dengan baik, yang pada akhirnya akan hukum dapat menjadi senjata yang diunggulkan sebagai pengatur di masyarakat.

Terkait dengan hukum, Ahli hukum seperti Apeldoorn seperti dikuitip Huijbers menyatakan bahwa definisi hukum yang dirumuskan oleh ahli hukum tidak mampu mencakup semua segi dalam hukum. Hukum itu banyak seginya, memiliki ruang lingkup yang sangat luas, jadi tidak mungkin untuk dirumuskan dalam suatu definisi yang hanya memuat beberapa kalimat saja. Namun, disadari pula bahwa definsi hukum sangat perlu untuk menentukan ke arah mana seorang ahli hukum berjalan.[1] Sedangkan hukum menurut Gurvitch yang diedit oleh Mannheim merupakan suatu usaha untuk mewujudkan keadilan dalam masyarakat melalui aturan yang memuat perintah, aturan tersebut bersumber dari fakta normatif dalam masyarakat tersebut.[2]

Menurut Soekanto bahwa secara konseptual inti penegakan hukum adalah keserasian hubungan antara nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah yang mantap dan berwujud dengan perilaku sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan, memlihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.[3] Lebih lanjut dikatakan bahwa penegakan hukum bukanlah semata-mata berarti pelaksanaan perundang-undangan.[4]

Sejalan dengan pendapat diatas, Rahardjo menjelaskan bahwa penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan. Keinginan-keinginan hukum adalah pikiran-pikiran badan pembuat undang-undang yang diumuskan menjadi kenyataan pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan hukum itu.[5] Suharto yang dikutip dari Salam menyebutkan bahwa penegakan hukum adalah suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan aparat penegak hukum baik tindakan pencegahan maupun penindakan dalam menerapkan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku guna menciptakan suasana aman, damai, dan tertib demi kepastian hukum dalam masyarakat.[6]

Sehubungan dengan hal di atas, hukum yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 19997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-undang itu merupakan penyempurnaan dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1982 tentan Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-undang inilah akan dilihat sejauhmana dapat ditegakkan oleh aparat penegak hukum.

Penegakan hukum tidak saja berlaku dalam tata hubungan manusia dengan manusia, akan tetapi jua manusia dengan lingkungan hidup. Hubungannya adalah pengakan hukum lingkungan hidup merupakan upaya untuk mencapai ketaatan terhadap peraturan dan persyaratan dalam ketentuan hukum yang berlaku secara umum dan individual, melalui pengawasan dan penerapan secara administratif, keperdataan, dan kepidanaan.[7] Secara lebih khusus upaya penegakan hukum lingkungan dapat berupa menemukan sumber masalah lingkungan hidup yang disebabkan pencemaran dan atau perusakan yang menjadi solusi untuk menghentikan pencemaran dan atau perusakan, mencegah bertambah parahnya keadaan dan melakukan tindakan terhadap penyebab masalah lingkungan hidup itu.[8]

Upaya untuk melakukan penegakan hukum lingkungan hidup dituntut adanya aparat penegak hukum. Penegak hukum merupakan anggota masyarakat yang diberikan wewenang oleh undang-undang melakukan penegakan hukum.[9] Kalangan yang secara langsung berkecimpung di bidang penegakan hukum meliputi kehakiman, kejaksaan, kepolisian, kepengacaraan, dan permasyarakatan. Undang-undang lingkungan hidup dapat berfungsi sebagai payung (umbrella act) bagi penyusun peraturan baru maupun bagi penyesuaian peraturan lama, yang didasarkan pada asas dan prinsip pokok sebagaimana tercantum dalam undang-undang lingkungan hidup[10], sehingga memungkinkan seluruh pihak masuk untuk mencegah terjadinya kerusakan lingkungan.

Dasar penyusunan hukum lingkungan hidup mengikuti sistem hukum pada umumnya, yaitu hukum privat lingkungan (hukum perdata) dan hukum publik meliputi hukum administrasi lingkungan hidup dan hukum pidana lingkungan hidup. Dalam hukum publik biasanya pemerintah berinisiatif dalam penegakan hukum sedangkan penegakan hukum privat biasanya anggota masyarakat memiliki inisiatif.

Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 merupakan hukum materiil yang memuat ketentuan-ketentuan yang mengatur perlindungan lingkungan hidup terhadap perbuatan masyarakat. Mas Achmad Santosa mengemukakan bahwa undang-undang tersebut memuat, antara lain: unsur-unsur dasar, tujuan dan target pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia, pengaturan tentang hak-hak dan kewajiban dan peran masyarakat, kelembagaan, pelestarian fungsi lingkungan hidup, persyaratan pengelolaan lingkungan hidup, penyelesaian sengketa lingkungan hidup, dan penyidikan serta pengaturan pidana.[11] Hardjasoemantri mengilustrasikan kekuatan penegakan hukum dengan kelima jari yaitu:[12]

  1. Ibu jari sebagai pemimpin
  2. Telunjuk sebagai ilmuwan, karena diharapkan menunjukkan jalan bagi rakyat ke mana mereka harus pergi
  3. Jari tengah sebagai penghubung, misalnya wartawan dan komunikator lainnya
  4. Jari manis sebagai hartawan, dengan cincin di jari manis itu
  5. Kelingking sebagai rakyat

Artinya, peran serta semua lapisan akan terus mengalir dan menciptakan suatu kondisi kesadaran hukum serta penegakan hukum yang lebih baik lagi terutama di bidang perdata. Dari berbagai pendapat diatas, maka dapat dinyatakan bahwa penegakan hukum lingkungan adalah kegiatan yang mencakup, antara lain:

  1. Pencegahan meliputi pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli;
  2. Penindakan meliputi pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penahanan, dan penangkapan.

Diharapkan dengan adanya upaya penegakan hukum (enforcement) yang ditujukan kepada sasaran akhir yaitu terlindungnya ekosistem dan fungsi lingkungan hidup.

B. Rumusan Permasalahan

Dari pembahasan diatas, penulis ingin menyampaikan beberapa inti permasalahan, antara lain:

1. Bagaimana cara penegakan hukum lingkungan ditinjau dari hukum perdata dalam kasus Banjir Jakarta?

2. Apakah Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah tepat dengan konsep Penegakan Hukum Lingkungan?

3. Bagaimana Strategi Politik Hukum Lingkungan di bidang perdata dalam mengakomodasi semua aparat penegak hukum dalam menjalankan amanat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup?

C. Tujuan dan Manfaar Penelitian

1. Tujuan Umum

Pembahasan ini dilakukan untuk mengkaji penegakan hukum lingkungan atas kasus Banjir yang terjadi di Jakarta tahun 2002.

2. Tujuan Khusus

Berdasarkan tujuan umum tersebut dapat dirumuskan tiga tujuan khusus dari Pembahasan dalam bentuk analisa kasus ini, yaitu:

a. Merumuskan permasalahan dan penyebab banjir di Jakarta.

b. Memberikan langkah-langkah dalam mengatasi kendala yang dihadapi dalam menerapkan konsep penegakan hukum lingkungan di Indonesia.

c. Menggagas strategi politik hukum lingkungan dalam mengakomodasi semua aparat penegak hukum dalam menjalankan amanat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

3. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Untuk memberikan rekomendasi khususnya kepada pemerintah dalam menjalankan upaya penegakan hukum lingkungan di bidang perdata.

2. Untuk menyebarkan informasi kepada masyarakat dalam menghadapi permasalahan lingkungan dalam rangka menumbuhkan kesadaran hukum yang berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup..

D. Metode Penulisan

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kepustakaan dan wawancara. Tipe penelitian yang digunakan menurut sifatnya adalah penelitian deskriptif, menurut bentuknya adalah penelitian preskriptif, menurut tujuannya adalah penelitian problem solution, menurut penerapannya adalah penelitian berfokus masalah, dan menurut ilmu yang digunakan adalah monodisipliner.

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier sebagai berikut.[13]

  1. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat berupa peraturan perundang-undangan Indonesia.
  2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang erat kaitannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisa, memahami, dan menjelaskan bahan hukum primer, yang antara lain adalah teori para sarjana, buku, penelusuran internet, artikel ilmiah, dan surat kabar.
  3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan atas bahan hukum primer dan sekunder, misalnya kamus.

Mengenai alat pengumpul data, penulis memakai studi dokumen. Metode pendekatan analisis data yang dipergunakan adalah metode analisis kualitatif sehingga menghasilkan sifat dan bentuk laporan deskriptif analitis

BAB II

PERMASALAHAN

BAB III

KASUS

Kasus ini sering dikenal dengan nama Banjir Jakarta, yang terjadi pada Bulan Januari 2002 hingga Februari 2002 yang terjadi diseluruh wilayah Jakarta. Kasus ini dilakukan dengan sistem Gugatan Class Action atau Gugatan Perwakilan Kelas dengan kuasa hukum dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta di Jalan Diponegoro Nomor 74, Jakarta Pusat

melawan

1. Negara Republik Indonesia cq. Presiden Republik Indonesia sebagai Tergugat I dengan kuasa hukum Yoseph Suardi Sabda, S.H., LL.M.,

2. Negara Republik Indonesia cq. Presiden Republik Indonesia cq. Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Tergugat II dengan kuasa hukum Mohammad Assegaf, S.H.

3. Negara Republik Indonesia cq. Presiden Republik Indonesia cq. Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Propinsi Jawa barat sebagai Turut Tergugat dengan kuasa hukum Ganda Asmana Zebua, S.H.

Pada tanggal 14 Januari 2002 terdapat 153 lokasi genangan air akibat hujan dengan rincian 52 lokasi di Jakarta Pusat, 28 lokasi di Jakarta Timur, 17 lokasi di Jakarta Utara, 6 lokasi di Jakarta Barat, 50 lokasi di Jakarta Selatan. Sehari setelah kejadian itu tanggal 15 Januari 2002 kadin DPU DKI , IGK Suena memperkirakan curah hujan akan lebih parah dari 2 hari sebelumnya dan diketemukan fakta bahwa di Jakarta Utara debit air menjadi tinggi yaitu 160 mm/detik.

Selanjutnya tanggakl 23 Januari 2002 Kali Kedaung, Jakarta Barat meluap dan menggenangi wilayah Daan Mogot. Tanggal 27 Januari 2002 ruas jalan Jakarta Barat dan Jakarta Utara terputus akibat hujan, terutama di ruas jalan Puri Kembang, jalan Duri Kosambi, Rawa Buaya.

Tanggal 28 Januari 2002 Saluran Mookervaart, Jalan Daan Mogot meluap hingga sepinggang orang dewasa. Selanjutnya tanggal 30 Januari 2002 banjir merendam berbagai kawasan di jakarta, tangerang, dan bekasi selama 3 hari terakhir menyebabkan aktivitas ekonomi dan perkantoran ibukota lumpuh. Lalu lintas di hampir semua wilayah Jakarta, baik jalan tol, maupun ruas jalan besar, macet total sepanjang hari. Banjir juga telah menyebabkan beberapa kawasan gela gulita karena PLN mematikan sekitar 120 gardu listrik demi keselamatan rakyat. Beberapa perjalanan Kereta Api dibatalkan karena stasiun dan rela terendam banjir, akibatnya masyarakat menumpuk di stasiun. Sementara Sutiyoso baru menyatakan status satu bagi kawasan sekitar sungai Ciliwung dan Kali Pesanggrahan. Warga sekitar Manggarai mulai mendatangi pintu air untuk membuka pintu air karena rumah mereka sudah terendam air. Sebanyak 3000 petugas Banpol dan Hansip DKI Jakarta dikerahkan untuk membantu pengamanan tanggul dan pintu air tersebut agar tidak dibuka secara paksa oleh warga.

13 Februari 2002 wilayah DKI Jakarta kembali digempur banjir kiriman dengan debit yang besar sehingga mencapai 2 meter.

JAKARTA UTARA

Kelurahan

Ketinggian

Keterangan

Semper Timur

100 cm

Semper Barat

100 cm

33 orang mengungsi

Ancol

100 cm

Pluit

80 cm

Penjaringan

70 cm

180.866 orang mengungsi

Roa Malaka

80 cm

Penjagalan

130 cm

Sunter Jaya

60 cm

Tugu Selatan

50 cm

Rawa Badak

2 m

2000 orang mengungsi

Kelapa Gading

1-1.5 m

Pendongkelan

Terserang sakit demam berdarah dan diare, 750 orang mengungsi

JAKARTA TIMUR

Kelurahan

Ketinggian

Keterangan

Pulo Gadung

100 cm

300 orang mengungsi

Kopi Rawadas

100 cm

Rawaterate, Cakung

20 cm

500 orang mengungsi

Cakung Barat

20 cm

165 orang mengungsi

Pulo Mas

1.5-2 m

2000 orang mengungsi

Kampung Melayu

30-80 cm

197 orang mengungsi

Cipinang Muara

30 cm

200 orang mengungsi

Cipinang Elok

40 cm

Cipinang Indah

2.5-3 m

2000 orang mengungsi

Cipinang Pulo

700 orang mengungsi

Cipinang Jaya

250 orang mengungsi

Cipinang Besar Selatan

45 cm

1500 orang mengungsi

Cipinang Besar Utara

30-90 cm

200 orang mengungsi

Cipinang Melayu

30-110 cm

360 orang mengungsi

Pondok Bambu, Duren Sawit

20 cm

50 orang mengungsi

Prumpung Tengah

150 orang mengungsi

Tanjung Lengkong

1.5-2 m

2000 orang mengungsi

Kebon Pala

1.5-2 m

500 orang mengungsi

Makassar

10 cm

Lubang Buaya

30 cm

190 orang mengungsi

Dukuh Atas

5-6 m

500 orang mengungsi

Permai, Pasar Rebo

1200 orang mengungsi

JAKARTA SELATAN

Kelurahan

Ketinggian

Keterangan

Kebayoran Lama

50

Setiabudi

10-30

186 orang mengungsi

Guntur

20

385 orang mengungsi

Tebet

75

602 orang mengungsi

Pancoran

150

944 orang mengungsi

Pejaten

11-51

76 orang mengungsi

Jatipadang

17-67

374 orang mengungsi

Cilandak Timur

9-47

187 orang mengungsi

Pondok Labu

12

1.063 orang mengungsi

Pesanggrahan

30

573 orang mengungsi

USNI Kebayoran Lama

200 orang mengungsi

Cipulir Utara

10

225 orang mengungsi

Petogogan

20-40

4.410 orang mengungsi

JAKARTA BARAT

Kelurahan

Ketinggian

Keterangan

Kembangan Selatan

100 cm

Kembangan Utara

100 cm

Rawa Buaya

100 cm

Pegadungan

70 cm

Tegal Alur

100 cm

Tambora

50 cm

Cengkareng Timur

60 cm

Jembatan Lima

80 cm

Grogol

2-3 m

5.000 orang mengungsi

Daan Mogot

1-1.5 m

675 orang mengungsi

Tanjung Duren

90 cm

Semanan

120 cm

Wijaya Kusuma

90 cm

Korban yang menjadi Wakil Kelas

Nama

Status

Akibat yang di Derita

Gun Subasri

Wakil Kelas I

Anaknya meninggal dunia

Nuraeni

Wakil Kelas II

Sakit

Casminah

Wakil Kelas III

Sakit

Rahmat

Wakil Kelas IV

Sakit

Ika Kartika

Wakil Kelas V

Kehilangan Harta Benda

Denny Tjakra Adisurya

Wakil KelasVI

Kehilangan Harta Benda

Mansur

Wakil KelasVII

Kehilangan Harta Benda

M. Siringo Ringo

Wakil Kelas VIII

Kerusakan Harta Benda

Jamaluddin

Wakil Kelas IX

Kerusakan Harta Benda

Nurhikmah

Wakil Kelas X

Kerusakan Harta Benda

Gatot Sudarto

Wakil Kelas XI

Kerusakan Harta Benda

Admir Sagrul

Wakil Kelas XII

Kerusakan Harta Benda

Yacob Mulya

Wakil Kelas XIII

Kehilangan manfaat yang diharapkan

Sariam al Salim

Wakil Kelas XIV

Kehilangan manfaat yang diharapkan

Chairuddin

Wakil Kelas XV

Kehilangan manfaat yang diharapkan

Objek gugatan dalam kasus ini adalah Perbuatan Melawan Hukum yaitu Pasal 1365 KUHPerdata jo. Pasal 1367 KUHPerdata.

BAB IV

ANALISIS

A. Prosedur Class Action

Gugatan Perwakilan Kelas atau sering disebut dengan Gugatan Class Action adalah gugatan dapat diajukan oleh masyarakat atau sekelompok orang yang mempunyai kepentingan yang sama (sama-sama dirugikan dan melalui perwakilan), yang disebut gugatan perwakilan atau gugatan kelompok (sistem hukum Anglo Saxon). Akan tetapi, gugatan kelompok dapat diajukan juga oleh pihak yang secara tidak langsung disrugikan misalnya Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia atau Greenpeace di luar negeri.

Gugatan melalui sistem class action pada dasarnya telah diakui dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (vide Pasal 37)[14], Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (vide pasal 46)[15] dan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kuhutanan (vide BAB IX)[16], tetapi belum ada peraturannya dan belum pula ada persepsi yang sama diantara para penegak hukum tetang penerapan prosedur class action, sehingga penerapannya tidak seragam. Dengan pertimbangan bahwa peraturan hukumnya tidak ada maka banyak gugatan class action yang tidak diterima (niet ontvankelijk verklaard). Mengingat hakim wajib memeriksa dan mengadili perkara (pasal 16 ayat (1) Undang-Undang No. 4 Tahun 2004[17]) disini dibutuhkan melakukan penemuan hukum (rechtvinding), artinya aparat penegak hukum seperti Hakim Pengadilan Negeri berusaha menggali kebenaran yang sejati sehingga hakim berfungsi sebagai pengisi atau pelengkap dalam perlindungan hukum (aanvullende rechtsbescherming)[18]

Mengingat ada dan persyaratan class action tidak jelas, dengan kewenangan untuk membuat peraturan yang prosesuil, pada tanggal 16 April 2002 MA mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 1 tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan kelompok bahwa penyelesaian pelanggaran hukum yang merugikan secara serentak atau sekaligus terhadap orang banyak yang memiliki fakta, dasar hukum dan tergugat yang sama. Apabila dibandingkan dengan cara konvensional dengan menggugat satu orang yang dilimpahkan dengan berkas yang tersendiri akan memakan biaya, waktu, dan tenaga yang besar sehingga karakteristik pengadilan yang dinilai sederhana, cepat dan biaya ringan (vide Pasal 4 ayat (2) UU No. 4 Tahun 2004) akan tidak tercapai. Oleh karena itu, gugatan ini diajukan serta diselesaikan sendiri-sendiri ataupun bersama-sama dalam satu gugatan dengan perkataan lain; demi kepastian, ketertiban dan kelancaran dalam memeriksa, mengadili dan memutus gugatan perwakilan kelompok.

Gugatan perwakilan kelompok (oleh Perma No. 1 tahun 2002) ialah suatu tata cara pengajuan gugatan, dalam mana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk diri atau diri-diri mereka sendiri dan sekaligus mewakili sekelompok orang yang jumlahnya banyak, yang mewakili kesamaan fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok (satu orang atau lebih yang menderita kerugian mengajukan gugatan dan sekaligus mewakili kelompok orang yang lebih banyak jumlahnya (pasal 1 huruf b Perma no. 1/2002) dan anggota kelompok dimaksud (pasal 1 huruf a Perma no. 1/2002), sedangkan Persyaratan dalam mengajukan gugatan perwakilan kelompok ialah;

a. Jumlah anggota kelompok sedemikian banyaknya sehingga tidaklah efektif dan efesien apabila gugatan dilakukan secara sendiri-sendiri atau secara bersama-sama dalam satu gugatan

b. Terdapat kesamaan fakta atau peristiwa dan kesamaan dasar hukum yang digunakan yang bersifat substansial, serta terdapat kesamaan jenis tuntutan diantara wakil kelompok dengan anggota kelompoknya

c. Wakil kelompok memiliki kejujuran dan kesungguhan untuk melindungi kepentingan anggota kelompok yang diwakilinya (Pasal 2 Perma No. 1/2002).

Mengenai sahnya gugatan perwakilan kelompok dituangkan dalam suatu penetapan pengadilan (pasal 5 (3) Perma No. 1/2002). Jika penggunaan prosedur gugatan perwakilan kelompok diputuskan atau dinyatakan oleh hakim maka kemudian hakim memerintahkan penggugat mengajukan usulan model pemberitahuan untuk memperoleh persetujuan hakim (pasal 5 (4) Perma No. 1/2002). Apabila penggunaan prosedur gugatan perwakilan dinyatakan tidak sah, maka pemeriksaan gugatan dihentikan dengan suatu putusan hakim (pasal 5 (5) Perma No. 1/2002). Bahwa tatacara gugatan perwakilan kelompok dinyatakan sah wajib diberitahukan kepada anggota kelompok (pasal 7 (2) Perma No. 1/2002).

Dalam kasus Banjir Jakarta diketemukan fakta bahwa prosedur pengajuan gugatan dilakukan dengan cara gugatan class action yang tediri dari beberapa Wakil Kelas, yaitu Gun Subasri, Nuraeni, Casminah, Rahmat, Ika Kartika, Denny Tjakra Adisurya, Mansur, M. Siringo Ringo, Jamaluddin, Nurhikmah, Gatot Sudarto, Admir Sagrul, Yacob Mulya, Sariam al Salim, Chairuddin dengan jenis sitem notifikasi yang dipilih oleh para wakil kelas adalah Opsi Keluar (Option Out) yaitu pilihan bagi para anggota kelas untuk tidak ikut dalam gugatan ini atau dengan gugatan ini, sehingga apapun yang menjadi keputusan atas gugatan ini tidak akan mengikat bagi Para Anggota Kelas yang sudah menyatakan diri keluar melalui pihak Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dimana kasus ini diperiksa.

Jika dihubungkan dengan penegakan hukum perdata yang diatur dalam H.I.R maka gugatan class action ini belum mengakomodasi hak-hak dari warga negara, karena H.I.R. masih menggunakan konsep hukum belanda yang berguna dalam hal perdagangan dan perbuatan hukum perdata yang belum melingkupi masalah gugatan yang berkaitan dengan lingkungan hidup. Class action ini belum juga menjawab keragu-raguan bagi aparat penegak hukum dalam menyelesaikan masalah yang terjadi dalam lapangan, sehingga dibutuhkan sosialisasi yang lebih mengenai gugatan class action ini.

Dalam hal ini masih banyak warga masyarakat yang tidak mengetahui gugatan “rame-rame” ini sebagai salah cara bagi pencari keadilan mendapatkan perlakuan yang sama di depan hukum. Akan tetapi, prosedur gugatan ini harus di dasarkan pada surat kuasa khusus, yang selanjutnya sebagai dasar untuk menyerahkan kepada lembaga yang memberikan jasa advokasi guna menyelesaikan perkara lingkungan hidup. Dengan demikian, class action ini merupakan suatu cara yang harus dilaksanakan bagi siapapun, dimanpun, dan kapanpun ketika beberapa orang hak-haknya dilanggar oleh pihak lain, yang pada akhirnya penegakan hukum terutama hukum lingkungan terus terbina dengan baik.

B. Unsur Perbuatan Melawan Hukum

Unsur perbuatan melawan hukum dalam bidang perdata dapat dilihat dalam Pasal 1365 KUHPerdata yang berisi:

“Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk mengganti kerugian tersebut.”

Konsekuensi logis dengan adanya gugatan perbuatan melawan hukum, para wakil kelas yang di dampingi kuasa hukumnya harus mendalilkan dalam gugatannya adalah:

  1. Adanya pelanggaran hukum
  2. Adanya kesalahan (dalam bentuk kelalaian dan kealpaan)
  3. Adanya kerugian
  4. Adanya hubungan kausal antara kerugian dengan pelanggaran hukum

Artinya, bahwa suatu perbuatan dinyatakan sebagai perbuatan yang melawan hukum sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1365 KUHPerdata adalah bilamana perbuatan tersebut telah memenuhi salah satu darii 4 kriteria:

  1. bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku;
  2. bertentangan dengan hak seubjektif orang lain;
  3. bertentangan dengan kesusilaan;
  4. bertentangan dengan asas kepatutan, ketelitian serta kehati-hatian.

Dari fakta-fakta yang terdapat dalam kasus ini disimpulkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menilai tidak diketemukan unsur melawan hukum dengan salah satu pertimbangan yang menyatakan “Menimbang, bahwa atas uraian-uraian tersebut Majelis Hakim berpendapat Pihak Tergugat telah berdaya upaya sesuai dengan daya yang dimiliki untuk penanggulangan dan pengendalian bencana banjir Januari-Februari 2002 dan yang melalaikan kewajiban hukumnya dalam penanggulangan dan pengendalian banjir adalah walikota sewilayah propinsi DKI Jakarta selaku Ketua Pelaksana Penanggulangan Bencana.”[19]

Dari perumusan tersebut dapat diambil benang merah yaitu perbuatan para Tergugat adalah tidak melawan hukum. Suatu konsekuensi yang sangat besar harus diambil oleh masyarakat yang menjadi korban banjir Jakarta yaitu timbul ketidakpercayaan para korban terhadap pemerintah, khususnya kebijakan yang diambilnya menjadi pudar. Artinya, pertanggungjawaban tetap pada badan pemerintahan, meskipun tanggung jawab dalam melaksanakan Prosedur Tetap (Protap) No. 222 Tahun 1998 tentang bencana alam di DKI Jakarta berada pada tanggung jawab Walikota, akan tetapi Gubernur DKI Jakarta seharusnya tidak lepas dari tanggung jawab layaknya “pengecut” yang bersembunyi ketika bencana seperti banjir melanda Jakarta. Inilah kekurangan dan kelemahan pemerintahan DKI Jakarta yang selalu menyalahkan orang lain tanpa introspeksi diri, kegunakan protap tersebut dibuat untuk apa, ataupun protap itu dibuat mempunyai daya guna dan daya laku yang memadai ataukah dibuat sebagai formalitas sebatas realisasi janji-janji untuk menanggulangi banjir.

Sebagai masyarakat yang tinggal di DKI Jakarta, semua orang harus menghormati putusan yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, akan tetapi perlu dikaji lagi bahwa hakim seharusnya menggali nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat dengan batasan yang wajar dan patut, artinya hakim berusaha mengidentifikasi kerugian dan kesalahan yang dilakukan oleh pihak Tergugat untuk menilai tidak hanya dari unsur yuridis saja. Dalam kenyataannya Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak sama sekali mempertimbangkan sebesar apa kesalahan dan kerugian yang dialami oleh para korban.

Menurut analisa kelompok kami, kami menilai putusan ini belum lengkap tanpa mempetimbangkan seluruh norma-norma hukum serta nilai-nilai sosiologis yang menjadi acuan dari penegakan hukum lingkungan. Dalam putusan tidak terjadi kesalahan, sedangkan menurut Yurisprudensi di Nederland yang telah diterapkan oleh Mahkamah Agung RI menyatakan adanya dasar pergeseran dari pertanggungjawaban atas dasar kesalahan ke arah pertanggungjawaban atas dasar risiko.[20] Sedangkan kerugian dalam kasus lingkungan dapat dilakukannya kombinasi kerugian bersifat materiil dan imateriil akibat kesalahan pihak lain. Selain itu, hubungan kausal antara kerugian dengan pelanggaran hukum sering dikenal dengan teori kausalitas, artinya ada hubungan sedemikian rupa yang menciptakan akibat-akibat hukum bagi orang yang dirugikan. Apabila ditelaah lebih lanjut maka dalam kasus banjir Jakarta diketemukan fakta adanya hubungan antara kelalaian dari pemerintah propinsi dari atas hingga ke bawah yang tetap membiarkan banjir terjadi lebih parah lagi, dimana bantuan cepat datang dari pihak TNI bukanlah pihak pemerintah daerah setempat yang seharusnya sigap dalam menjalankan tugasnya.

Berdasarkan pendapat ahli Eko Teguh Paripurno, Ir. Rio Tambunan, dan Hamento Kusuma Widjaja menyatakan bahwa banjir di wilayah Jakarta adalah akibat dari perbuatan alam dan ulah manusia, adanya perubahan rencana tata ruang wilayah yang mengakibatkan lahan resapan air beralih fungsi menjadi fasilitas umum yang bersifat bisnis. Selain itu, penderitaan korban banjir disebabkan sarana dan prasarana yang tidak memadai, aparatur tidak bekerja optimal dan tidak profesional.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kesalahan juga dapat diperkirakan oleh manusia, karena salah satu perangkat pemerintahan yaitu Gubernur DKI Jakarta seharusnya lebih tanggap ketika musim hujan datang ke Jakarta, dan juga APBD yang telah dianggarkan menjadi tidak dipergunakan sebagai mestinya yang memunculkan praktek korupsi dikalangan pejabat pemerintah DKI Jakarta. Isu teratas di DKI Jakarta yang menjadi tugas awal Sutiyoso tidak dilakukan dengan maksimal, anggaran yang tidak tepat dibelanjakan, semakin banyak izin usaha yang tidak memperhatikan lingkungan dan hal ini membutuhkan izin dari Gubernur DKI Jakarta, sehingga DKI Jakarta turut terlibat atas kejadian banjir.

C. Usaha Realisasi Pengembangan Rencana Induk Mengalami Kendala

Tercatat beberapa permasalahan yang menjadi Rencana Induk mengalami gangguan, antara lain:

  1. Tidak efektifnya Keppres Nomor 114 Tahun 1999 tentang Penataan Ruang Kawasan Bogor, Puncak, dan Cianjur (Bopunjur);
  2. Perda Nomor 6 tahun 1999 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DKI Jakarta yang belum berorientasi pada pembangunan berkelanjutan dan belum memberi fokus pada pencegahan banjir sebagai sebuah “krisis”
  3. lack of champion & strong leadership di tingkat pusat yang mampu memfasilitasi solusi win-win antara pemda terkait; dan
  4. Daya penegakan (enforceability) yang sangat lemah di sektor tata ruang; dan
  5. korupsi di tingkat perizinan dan pengawasan yang membiarkan kawasan Bopunjur menjadi sangat tidak terkendali. Berbagai faktor tersebut harus diantisipasi oleh para perumus kebijakan diatas agar berbagai dokumen tersebut tidak hanya berlaku diatas kertas kelak.
  6. korupsi di tingkat perizinan dan pengawasan yang membiarkan kawasan Bopunjur menjadi sangat tidak terkendali. Berbagai faktor tersebut harus diantisipasi oleh para perumus kebijakan diatas agar berbagai dokumen tersebut tidak hanya berlaku diatas kertas kelak.

Selain itu, setidaknya ada 7 (tujuh) kelemahan peraturan perundang-undangan yang mendasari Pengembangan Rencana Induk:

a. Izin-izin pembangunan yang telah diterbitkan walaupun tidak sesuai dengan tata ruang Bopunjur, diberi justifikasi untuk tetap berdiri sampai dengan masa berlaku izin habis (pasal 31 Keppres).

b. Keppres dan juga UU No. 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang (sebagai induknya), tidak menyediakan ancaman hukuman pidana.

c. RTRW 2010’ DKI (Perda No. 6/1999) tidak melihat pencegahan banjir sebagai masalah extra ordinary.

· Persentase luas keseluruhan kawasan hijau lindung dan hijau binaan sampai tahun 2010 (di atas kertas) hanya ditetapkan 13,94 % dari luas wilayah kota Jakarta. Sedangkan menurut WALHI, untuk wilayah Jakarta yang membutuhkan banyak daerah resapan air, ruang terbuka hijau minimal adalah 27, 5 %.

· Pembangunan penampungan air bawah tanah skala besar (deep tunnel reservoir)),

· Kolam-kolam retensi (retarding basin) di bagian tengah dan hulu dari 13 sungai yang mengalir ke jantung kota Jakarta (Maryono, 2007), dan

· Pembangunan situ-situ baru tidak tampak.

d. ‘RTRW 2010’ memang tidak memiliki orientasi pembangunan berkelanjutan yang menempatkan aspek ekonomi, sosial dan ekologi sama pentingnya.

e. Mandeknya Rencana Induk (Master Plan) Penanganan banjir Jakarta dan tersendatnya pembangunan Banjir Kanal Timur, serta tidak terkendalinya tata ruang Bopunjur

f. Sanksi administrasi yang mengandalkan aparat kabupaten terkendala oleh pengaruh dan kekuatan pemilik-pemilik villa.

g. tidak adanya ‘nyali’ pada diri aparat Pemda sebagai pengawas, dan korupsi dalam penerbitan izin. Di Indonesia, apapun ketentuannya bisa diterobos apabila ada “kerjasama” antara aparat pemberi izin dengan pencari izin.



[1] Theo Huijbers, Filsafat Hukum, (Yogyakarta: Kanisius, 1995), hal. 39.

[2] Karl Mannheim, Sociology of Law, (London: Butler and Atnner Ltd., 1947), hal. 47.

[3] Soerjono Soekanto. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta: Rajawali, 1986), hal 3.

[4] Ibid.

[5] Satipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum: Suatu Tinjauan Sosiologis, (Bandung: Sinar Baru, Tanpa Tahun), hal. 24-29.

[6] R. Abdussalam, Penegakan Hukum di Lapangan oleh Polri, (Jakarta: Gagas Mitracatur Gemilang. 1997), hal. 18.

[7] Niniek Suparni, Pelestarian, Pengelolaan dan Penegakan Hukum Lingkungan Hidup, (Jakarta: Sinar Grafika, 1992), hal. 160-161.

[8] Enviromental Services Australia. “Investigation and Enforcement”, Materi dalam Bapedal Investigation and Enforcement Training Course, (Meulborne: Enviromental Protection Authority, 1999), hal. 1.

[9] DR. M. Said Saile, Penegakan Hukum Lingkungan Hidup, (Jakarta: C.V. Restu Agung, 2003), hal. 21.

[10] Koesnadi Hardjasoemantri, Asas-asas Hukum Lingkungan, Seminar Lingkungan Hidup di PTIK, Jakarta 20 Januari 1994, hal. 3.

[11] Mas Achmad Santosa, Potensialitas Pendekatan Command & Control serta Voluntry Compliance/Market Orientes di Indonesia, (Leiden: CELA Course, 1998), hal. 8

[12] Prof. DR. Koesnadi Hardjasoemantri, S.H., Aspek Hukum Peran Serta Masyarakat dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1986) hal. 17.

[13] Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 2005), hal. 32.

[14] Indonesia (a), Undang-Undang tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 23 Tahun 1997, LN No. 68 Tahun 1997, TLN No. 3699.

[15] Indonesia (b), Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 8 Tahun 1999, LN No. 42, TLN No. 3821.

[16] Indonesia (c), Undang-Undang tentang Kehutanan, UU No. 41 Tahun 1999, LN No. 167, TLN No. 3888.

[17] Indonesia, Dalam Pasal 16 ayat (1) tersebut menyatakan Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya

[18] Dr. Paulus Effendi Lotulung, S.H., Penegakan Hukum Lingkungan oleh Hakim Perdata, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993), hal. 6.

[19] Pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Putusan No. Register Perkara 83/PDT.G/2002/PN/JKT/PST halaman 162.

[20] Effendi, op. cit. hal. 30.

0 komentar: